Kembali dari luar negeri, dia berjualan lagi, bermain sebagai pemusik keliling, dan menjadi buruh tani. Namun, bagi Zulkaidah, uang tidak menjadi kendala untuk menghidupi kembali Opera Batak.
"Jadi Seniman tradisional seperti kami ini, ya ngeri-ngeri sedaplah. Bagaimana tak sedap, waktu di Jepang dan Amerika, semua orang hormat. Tidur di hotel mewah, makan tak kurang. Awak merasa kayak Presiden saja, padahal cuma penjual kacang goreng.Â
Tapi begitu pulang kerumah, habis dari hotel mewah tidur di tikar. Air kadang tak ada, makan sehari-hari pun terancam. Belum lagi awak dicemeeh orang kampung. Ha-ha-ha. Kadang-kadang awak berpikir, macam mana pula ini. Tapi sudahlah, darah kita kan sudah di kesenian." (Nurhan, 2007)
Ironis memang, tetapi konteks ucapan Zulkaidah tersebut adalah realita yang dialami seorang 'seniman penjual kacang goreng,' seorang seniman yang tak lagi menikmati hidup lewat kemewahan seperti dimasa keemasannya dahulu.Â
Tetapi bagi Zulkaidah, hidup dalam seni tradisi dan menghidupi seni itu sendiri seperti dua sisi dari keping mata uang. Sejak bergabung sebagai tukang masak sampai pada satu masa menjadi tauke grup tersebut, Opera Batak bagai sudah mengalir dalam darahnya (Nurhan, 2007).Â
Terakhir Zulkaidah tak lagi berjualan secara keliling. Di Lumbanri, Tigadolok ada sebuah kedai gorengan. Kalau tidak musim ke sawah, ia hanya berjualan goreng dan minuman manis bagi orang - orang yang lalu lalang (Thompson Hutasoit, wawancara 7 Februari 2014).Â
Awal Maret 2006 Thompson Hs mengajak Zulkaidah Harahap untuk bergabung bersama PLOt (Pusat Pelatihan Opera Batak), suatu wadah baru dalam revitalisasi Opera Batak yang akhirnya bermetamorfosis menjadi Opera Batak Transisi. Zulkaidah menerima PLOt dengan harapan dapat rekaman menyanyikan kembali lagu-lagu Opera Batak.Â
Semakin sering diajak terlibat ke pentas Opera Batak, harapan itu tak lagi di singgungnya (Thompson Hutasoit, wawancara 7 Februari 2014). Bersama PLOt Zulkaidah Harahap dengan rekan segrupnya Alister Nainggolan memperoleh Penghargaan Maestro Opera Batak dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.Â
Selain memperoleh penghargaan Maestro, mereka juga menerima bantuan uang satu juta rupiah setiap bulan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Ris, 2007).
"Terima kasih pada Allah, kami mantan pemain Opera Batak ini ternyata masih di perhatikan pemerintah. Kami bertekad akan menghidupkan dan mewariskan seni Opera ini kepada generasi penerus." (Ris, 2007)
Penghargaan ini tidak datang dengan gratis, tetapi dengan syarat membantu menjaga kelestarian seni dengan melatih generasi muda. Zulkaidah harus memotong tunjangannya sebanyak dua puluh persen sebagai kontribusi kepada pihak PlOt atas pengajuan dirinya sebagai Maestro Seni Tradisi dan juga atas keikutsertaan kembali dipanggung Opera Batak.Â