JUMATAN DI MASJID AGUNG BANDUNG
Jumat tadi, 04 Desember 2015, saya jumatan di Masjid Agung Bandung. Ketika pertama datang sekitar pukul 11.00 WIB, meski masih agak kosong, namun tampak di bagian tengah shaf pertama hingga shaf ke empat sudah ditandai agar dikosongkan, biasanya ada tamu penting atau pejabat yang akan shalat jumat di Masjid Agung Bandung sehingga diberikan tempat khusus.
Ternyata dugaan saya benar, sekira pukul 11.30 ketika hampir masuk waktu adzan dzuhur, masuklah serombongan orang yang bergamis dan memakai thurbah di kepala. Kemudian diumumkan oleh pengurus Masjid Agung Bandung, bahwa orang-orang yang masuk tersebut merupakan rombongan dari Lebanon yang antara lain adalah Wakil Mufti Agama Islam Lebanon dan Syaikh Al Azhar cabang Lebanon, didampingi oleh Duta Besar Indonesia untuk Lebanon.
Begitu masuk Masjid dan menempati bagian tengah shaf pertama, rombongan tersebut langsung shalat tahiyatul masjid dua rakaat. Beberapa menit kemudian penanda waktu dari jam dinding berbunyi tiit tiit tiit tanda sudah masuk waktu dzuhur.
Lalu terdengarlah suara khas tabuhan bedug berpadu dengan kohkol (kentongan) dibunyikan yang disusul lantunan adzan pertama dengan muadzinnya salah seorang dari rombongan Wakil Mufti Lebanon tadi. Lantunan adzannya mirip dengan adzan mesir yang banyak dilantunkan di Masjid-masjid Indonesia, namun agak berbeda langgamnya, maklum orang Arab asli yang melantunkannya.
Selesai lantunan adzan pertama, sebagaimana biasa jamaah mengatur barisan, shaf depan yang masih kosong diisi oleh jamaah dibelakangnya hingga shaf menjadi rapat dan rapi, lalu sebagian besar jamaah melaksanakan shalat qobla jumat. Demikian pula rombongan dari Lebanon semuanya ikut melaksanakan shalat qobla jumat.
Usai jamaah melaksanakan shalat qobla jumat, lalu muroqi yang biasa bertugas ngunggahkeun (menaikkan khatib) membaca taklimat dalam bahasa arab yang berisi himbauan agar jika khatib sedang berkhutbah maka jamaah dilarang bicara karena terancam tidak mendapatkan pahala jumat, serta bacaan shalawat dan doa mohon ampunan bagi muslimin muslimat baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Setelah muroqi membaca doa, khatib naik mimbar. Ternyata yang menjadi khatib kali ini adalah wakil Mufti Agama Islam Lebanon. Setelah khatib membaca salam dan duduk, lalu muroqi bertugas menjadi muadzin yang melantunkan adzan jumat kedua.
Inilah pengalaman pertama saya jumatan dengan khatib jumatnya orang Arab asli, dan pastinya khotbah jumatnya pun seluruhnya berbahasa arab.
Berbeda dari pengalaman saya sebelumnya jumatan di Masjid yang khotbah jumatnya total berbahasa arab tapi khatibnya bukan orang Arab asli (orang Indonesia). Biasanya Masjid di daerah pinggiran atau pedesaan yang menyelenggarakan jumatan dengan khotbah jumat bahasa arab.
Tapi lain dengan kali ini, yakni meski khotbah jumatnya total berbahasa arab, tapi dari mimik wajah, gerak tangan sebagai isyarat, dan ritme suara khatib, meski kurang dimengerti oleh sebagian besar jamaah, tetapi khotbah terasa hidup.
Sedangkan jika khotbah jumat berbahasa arab oleh bukan orang arab yang seperti saya sebutkan biasanya Masjid di daerah pinggiran atau pedesaan, cenderung kaku dan membosankan, bahkan khotbahnya terkadang itu-itu saja dari jumat ke jumat karena membaca kitabnya yang itu-itu juga, tanpa mimik wajah yang mendukung, tanpa gerak tangan yang aktif sebagai isyarat, dan ritme suara khatib yang datar saja tidak disesuaikan dengan konteks bacaan, sehingga khotbah terasa hanya sebagai seremonial yang kaku.
Meskipun begitu, terkadang jika lama jumatan terus di masjid yang khotbah jumatnya terjemah, saya rindu juga ingin sesekali jumatan di masjid yang khotbah jumatnya berbahasa arab. Mungkin kebiasaan saya sejak lama yang setiap jumat tidak menetap jumatan di satu Masjid saja, melainkan suka berkeliling ke lain Masjid berganti-ganti ke tiap daerah. Selain itu meski khotbahnya terasa kaku, jumatan di Masjid yang khotbah jumatnya berbahasa arab, biasanya khotbahnya pendek dan tidak lama.
KEUNIKAN DARI KHOTBAH WAKIL MUFTI AGAMA ISLAM LEBANON
Selain dari yang telah saya sebut diatas bahwa khotbah yang disampaikan oleh wakil Mufti Agama Islam Lebanon tersebut terasa hidup karena disampaikan dengan gerak dan mimik yang mendukung, meski sebagian besar jamaah kurang memahaminya. Ada pula beberapa keunikan lain dari khotbah jumat tersebut, diantaranya adalah :
1. Rukun Khotbah yang Runut ala Madzhab Syafii
Sudah ladzim bagi sebagaian besar Masjid di Indonesia dalam khotbah jumatnya memperhatikan syarat dan rukun khutbah sesuai dengan madzhab Syafi’i, begitu pun yang dibacakan oleh khatib wakil Mufti Lebanon, yakni hamdallah-syahadat-shalawat-wasiat taqwa-ayat quran. Kecuali pada khutbah kedua hanya hamdallah-ayat quran-doa. Tetapi tidak masalah karena dalam madzhab Syafi’i, rukun khutbah tidak usah lengkap pada kedua-duanya dari khutbah yang disampaikan, yang penting ada pada salah satu khutbah, atau sebagian rukun pada khutbah pertama dan sebagian lagi pada khutbah kedua.
Hal ini menarik bagi saya, karena di Indonesia sendiri, terutama di perkotaan, terkadang khotib-khotibnya kurang memperhatikan rukun khutbah sesuai madzhab Syafi’i, memang dalam madzhab lainnya selain madzhab syafi’i, ada yang lebih longgar dalam hal rukun khutbah tidak harus lengkap seperti madzhab Syafi’i.
Biasanya khatib yang demikian dari golongan muda. Saya pernah mengalami sendiri ketika jumatan di satu Masjid di Bandung, meski tata caranya masih tata cara lama, mulai dari adzannya dua kali, peran muroqi, dan tongkat khotbah, tapi khotibnya seorang anak muda membawakan khotbah tanpa memperhatikan syarat rukun khotbah sesuai madzhab Syafi’i. Ketika naik mimbar, Khotib tersebut hanya membaca hamdallah, lalu dzikir subhanallah walhamdullillah wa lailahaillaallahuwalllohuakbar, tanpa membaca syahadat-shalawat-wasiat taqwa.
Memang hal tersebut tidak menjadi masalah karena sesuai kaidah fiqh : “sepanjang ada ulama yang membenarkan, maka tidak boleh dianggap ingkar suatu perbuatan”. Tetapi belajar dari sang Mufti Lebanon ketika menjadi khatib di Masjid Agung yang runut membaca rukun khutbah sesuai madzhab Syafi’i, hendaklah diperhatikan bahwa ketika menjadi khatib, meski tidak bermadzhab Syafi’i tetapi jika jamaah yang menghadiri sebagian besar bermadzhab Syafi’i, maka sangat baik jika menyesuaikan rukun khutbah sesuai dengan madzhab Syafi’i untuk menghormati jamaah, serta agar jamaah yang awam tidak merasa ragu akan sah atau tidak jumatannya karena rukun khutbahnya tidak lengkap (menurut pemahamannya).
2. Pembacaan Hamdallah Lebih dari Sekali
Di Indonesia memang biasa dalam khotbah jumat, khotib mengucap hamdallah lebih dari satu kali, biasanya diulang dua kali. Hal yang sama dilakukan oleh wakil Mufti Agama Islam Lebanon yang menjadi khotib jumat, ia mengulang bacaan hamdallah bahkan hingga tiga kali. Tiga kali pada khutbah pertama dan tiga kali pula pada khutbah kedua
3. Membaca Syahadat dan Shalawat dengan Sayidina
Di masjid-masjid pedesaan yang tradisional, sudah biasa membaca syahadat dan shalawat pada khutbah jumat, didahului dengan bacaan “Sayidina” sebelum nama Muhammad. Berbeda dengan di perkotaan, meski tata cara jumatannya tradisional, khatib kadang-kadang tidak memakai “Sayidina”, mungkin agar khatib dianggap tidak kuno, atau memang berdasarkan kepercayaan bahwa pantang menambah-nambah apa yang tidak dilakukan Nabi SAW.
4. Khatib Membaca Surat Al Baqarah Ayat 143
Lumrah memang dan menjadi salah satu rukun jumat bahwa khatib membaca salah satu ayat Al Quran. Pada khutbahnya khatib membacakan beberapa ayat, diantaranya Surat Al Baqarah Ayat 143 tentang ummatan washatan, yakni umat pertengahan yang merupakan umat unggulan pilihan Alloh dibanding umat-umat sebelumnya.
Ini saya anggap unik, karena ayat ini merupakan ayat andalan dari Nahdlatul Ulama, setidaknya dalam masa sekarang karena sering dibacakan dalam ceramah-ceramah Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradz. Yang dimaknai bahwa ummatan washatan adalah umat moderat, pertengahan dari liberal dan ekstrim, pertengahan dari progressif dan konservatif, menatap masa depan dengan tidak melupakan sejarah, mengikuti langkah kemajuan jaman dengan tidak meninggalkan nilai-nilai lama yang masih dominan untuk dipertahankan.
Sebagai bandingan, ayat yang menjadi andalan dari golongan Islam Modern di Indonesia terutama yang saya tahu Persatuan Islam (PERSIS), ayat andalannya adalah Surat Al Isra Ayat 36 : “dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak ada pengetahuan atasnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban”.
Yang dimaknai bahwa jangan mudah terpengaruh dan mengikuti begitu saja kebiasaan orang lain terutama dalam hal ibadah, jika tidak mengetahui apakah hal tersebut dilakukan oleh Nabi SAW dan Salafussalih, apalagi jika jelas-jelas tidak ada contohnya, maka terlarang untuk mengikutinya.
5. Pada Khutbah Kedua Khatib Membaca Ayat 56 Surat Al Ahzab dan Mengkhususkan Khutbah Kedua untuk Berdoa
Pada khutbah kedua, lagi-lagi khatib membaca ayat yang familiar di telinga warga NU dan sering dibaca oleh para khotib NU pada khotbah kedua, yakni Surat Al Ahzab Ayat 56 tentang perintah bagi orang beriman agar ber shalawat kepada Nabi SAW. Selain itu, seperti kebiasaan para Khotib NU, sang Mufti Lebanon yang menjadi khotib, menyambung Ayat 56 Al Ahzab ini dengan doa.
Mengkhususkan khutbah kedua dengan doa, memang bukan tuntunan dari Imam Syafi’i, melainkan kebiasaan di Indonesia terutama para khatib NU. Bahkan sementara kalangan memakruhkan hingga melarang kebiasaan khutbah kedua dikhususkan hanya untuk doa saja.
MEMETIK HIKMAH DARI CARA KHUTBAH WAKIL MUFTI AGAMA ISLAM LEBANON
Hikmah yang dapat dipetik dari cara khutbah Wakil Mufti Agama Islam Lebanon adalah, toleransi sesama pemeluk agama yang berbeda madzhab, serta menghargai adat istiadat masyarakat di luar tempat tinggalnya.
Dalam satu madzhab yang sama, akan berbeda tata caranya jika berbeda tempatnya. Muslim madzhab Syafi’i di Mesir umpanyanya, akan berbeda tata caranya dengan muslim di Indonesia meskipun sama madzhabnya.
Saya yakin, sang Wakil Mufti Lebanon, jika ia menjadi khotib jumat di negaranya, maka tata caranya tidak akan seperti demikian ketika menjadi khotib di Masjid Agung Bandung.
Dugaan saya, Wakil Mufti Lebanon ini selain banyak bertanya berbagai hal tentang tata cara muslim Indonesia kepada Dubes Indonesia untuk Lebanon, juga banyak bertanya dan bahkan belajar tentang muslim Indonesia kepada PBNU dan MUI, karena sebelumnya rombongan Wakil Mufti Lebanon ini bertandang ke PBNU dan MUI Pusat.
Sehingga secara singkat dapat dikatakan jika, sang Wakil Mufti Agama Islam Lebanon ini kemungkinan menyesuaikan tata cara khutbahnya dengan tata cara khutbah para khatib Nahdlatul Ulama (NU).
Sekali lagi menjadi pelajaran bagi khatib di Indonesia, bahwa jika menjadi khatib harus memperhatikan jamaahnya yang mayoritas, sehingga jika khotib berbeda pemahaman dengan jamaah misalnya, sebaiknya khatib memperhatikan jamaah dan mengikuti pemahaman jamaah.
Cerita menarik mengenai Buya Hamka seorang tokoh Muhammadiyah, yakni ketika Masjid Al Azhar didatangi oleh Ulama betawi yang NU pada suatu jumat, maka adzan jumat yang biasanya satu kali saja, atas perintah Buya Hamka, khusus pada jumat itu menjadi dua kali untuk menghormati Ulama betawi yang datang bertamu tersebut.
Jika Buya Hamka untuk menghormati satu orang saja, ia mengalah dalam pemahaman fiqih yang bersifat khilafiyah, maka seorang khatib yang berbeda pemahaman dengan jamaah mayoritas, tentu harus lebih mengalah lagi.
Dengan demikian akan melahirkan toleransi dan kebersamaan yang erat, serta akan menumbuhkan rasa saling mengalah diantara penganut pemahaman fiqih yang berbeda.
Orang yang menghormati orang lain tidak akan menjadi hina, justru menjadi lebih mulia, karena kerendahan hati itu menunjukkan kebesaran jiwa, yang kebesarannya tersebut akan diakui oleh orang yang kita hormati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H