Mohon tunggu...
Semar Kuncung
Semar Kuncung Mohon Tunggu... wiraswasta -

marhaen yang bercita-cita sederhana, senang mencari ilmu yang bermanfaat, hoby naik gunung dan menjelajah alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Khotbah Jumat Bahasa Arab di Masjid Agung oleh Wakil Mufti Lebanon dan Hikmah yang Dapat Dipetik

5 Desember 2015   01:58 Diperbarui: 5 Desember 2015   02:41 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam satu madzhab yang sama, akan berbeda tata caranya jika berbeda tempatnya. Muslim madzhab Syafi’i di Mesir umpanyanya, akan berbeda tata caranya dengan muslim di Indonesia meskipun sama madzhabnya.

Saya yakin, sang Wakil Mufti Lebanon, jika ia menjadi khotib jumat di negaranya, maka tata caranya tidak akan seperti demikian ketika menjadi khotib di Masjid Agung Bandung.

Dugaan saya, Wakil Mufti Lebanon ini selain banyak bertanya berbagai hal tentang tata cara muslim Indonesia kepada Dubes Indonesia untuk Lebanon, juga banyak bertanya dan bahkan belajar tentang muslim Indonesia kepada PBNU dan MUI, karena sebelumnya rombongan Wakil Mufti Lebanon ini bertandang ke PBNU dan MUI Pusat.

Sehingga secara singkat dapat dikatakan jika, sang Wakil Mufti Agama Islam Lebanon ini kemungkinan menyesuaikan tata cara khutbahnya dengan tata cara khutbah para khatib Nahdlatul Ulama (NU).

Sekali lagi menjadi pelajaran bagi khatib di Indonesia, bahwa jika menjadi khatib harus memperhatikan jamaahnya yang mayoritas, sehingga jika khotib berbeda pemahaman dengan jamaah misalnya, sebaiknya khatib memperhatikan jamaah dan mengikuti pemahaman jamaah.

Cerita menarik mengenai Buya Hamka seorang tokoh Muhammadiyah, yakni ketika Masjid Al Azhar didatangi oleh Ulama betawi yang NU pada suatu jumat, maka adzan jumat yang biasanya satu kali saja, atas perintah Buya Hamka, khusus pada jumat itu menjadi dua kali untuk menghormati Ulama betawi yang datang bertamu tersebut.

Jika Buya Hamka untuk menghormati satu orang saja, ia mengalah dalam pemahaman fiqih yang bersifat khilafiyah, maka seorang khatib yang berbeda pemahaman dengan jamaah mayoritas, tentu harus lebih mengalah lagi.

Dengan demikian akan melahirkan toleransi dan kebersamaan yang erat, serta akan menumbuhkan rasa saling mengalah diantara penganut pemahaman fiqih yang berbeda.

Orang yang menghormati orang lain tidak akan menjadi hina, justru menjadi lebih mulia, karena kerendahan hati itu menunjukkan kebesaran jiwa, yang kebesarannya tersebut akan diakui oleh orang yang kita hormati.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun