Sudah menjadi wacana lama sejak awal terciptanya manusia, Tuhan sengaja menitipkan akal dan nafsu kepada manusia  dengan harapan menjadikannya sebagai pemimpin (leader) di muka bumi supaya memiliki loyalitas beribadah secara taat kepada-Nya.
Akal dan Nafsu ini seharusnya diseret untuk menopang keimanan seorang hamba agar lebih menjalin kedekatan kepada Tuhan-Nya bukan sebaliknya justru manusia teralienasi (terasingkan) dari Tuhan-Nya.
Belum lagi ketika manusia itu dihadapkan dengan tsunami perkembangan zaman yang ditandai dengan puncak kemajuan teknologi didukung (support) oleh jaminan sarana-prasaran memadai agar seluruh aspek kehidupan manusia terasa lebih nyaman.
Dan sampailah kepada paradigma baru bahwa bagi mereka yang tidak mencoba teknologi seperti komputerisasi, robotisasi maka akan dikenakan fatwa ketinggalan zaman.
Kecanggihan teknologi membuktikan betapa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan hadir ditengan-tengah masyarakat global. Tentunya manusia dituntut agar harus  menggunakan teknologi dengan baik dan benar, disinilah titik manusia merasa membutuhkan perangkat akal dan nafsu sebagai sistem kemudi (power steering) untuk membantu manusia itu menyetir dirinya.
Berbicara tentang teknologi maka Kemudian teringatlah kita tentang filosofi pisau,  jika pisau dipakai untuk mengupas mangga maka orang tersebut dikatakan melakukanya dengan baik dan benar, sesuai fungsi pisaunya. Namun jika digunakan untuk menusuk perut maka  orang tersebut telah menyalahgunakan pisau, yang jelas itu bukan salah pisau tapi salah pengguna pisau.
Kira-kira seperti itu analogi pisau terhadap teknologi bisa memberi dampak positif dan negatif, sesuai kemauan pengguna tersebut.
Bagian lain, ambil contoh pada mereka generasi milenial sebagai mayoritas  penikmat teknologi, ketika mengerjakan tugas kampus, hanya dengan bermodalkan mesin pencari (gogle search)  melalui teknologi internet, maka semuanya akan merasa jadi lebih enteng tetapi disisi lain hal ini bisa menimbulkan kedangkalan akal sehat dan mengurangnya (reduksi) rasa percaya diri.
Karena segala sesuatunya digantungkan pada teknologi, apalagi jika mengerjakan tugas dengan dorongan aktivitas penjiplakan karya orang lain (plagiarisme) melalui media internet, tegas dianggap melanggar hak cipta dan dikenai sangsi pengebirian intelektual.
Positifnya jika kita menerawang dalam segi aspek ekonomi maka kita akan melihat ada pahaman keyakinan (optimisme) bahwa generasi milenial memiliki potensi untuk memilih teknologi sebagai ladang ekonomi.
Misalnya dengan pilihan menjadi seorang penggiat youtube (youtuber) dengan meng-upload hasil kreativitas terbaiknya, tentunya akan memancing ribuan bahkan jutaan orang untuk berlangganan (subscribe) menontonya, pemasangan iklan pada media sosial, dan aktivitas perdagangan media online lainnya yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Namun faktanya juga ada banyak youtuber  dan pengguna media sosial (medsos) menayangkan hasil buah tangannya dengan berbau ujaran kebencian dan sifatnya provokatif terhadap golongan lain demi kepentingan syahwat individunya.
Demikian halnya belum lama ini, lagi tren prostitusi online hingga mencuat memberikan kabar segar pada pekerja seks komersil (PSK) karena hanya dengan bermodal teknologi internet dan gadget bisa menarik pelanggan untuk menggunakan jasanya.
Yang jelas  dalam hal ini penulis bukan pelanggan PSK tapi sejatinya  hanya seorang pria yang masih setia menghormati kehormatan wanita walaupun dihadapan penulis masih saja terjadi aktivitas PSK yang semakin menggurita dan menjamur di simpang kiri jalan.
Banyak faktor yang mempengaruhi tapi penulis melihat ada dua faktor mendominasi hal ini yaitu  diakibatkan oleh akal yang lemah dan nafsu yang tak terkendali (uncontrollable) sehingga terjadi krisis psikologis sebagai akibat dari unggulnya sikap perilaku buruk tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, kita bisa menganalisa bahwa sistem pengemudi (power steering) yang tergabung dari perangkat akal dan nafsu ini masih saja terlihat kebingungan atau kacau menentukan arah saat meniti perjalanan pada arus perkembangan zaman ditandai dengan canggihnya teknologi, dalam arti lain masih belum memenuhi standar pengoperasian diri sebagai manusia utuh jika hanya mengandalkan akal dan nafsu semata.
Demi terpenuhinya kriteria standar operasional manusia (SOM) tersebut, maka manusia harus membutuhkan peta yang memuat aturan secara gamblang. Manusia mengenalnya dengan sebutan Agama, perangkat inilah yang mendorong manusia supaya tidak tersesat di jalan dan tidak mengalami kebingungan menentukan arah kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kesalahan saat menjalani kehidupan baik di dunia maupun keyakinan hidup di akhirat.
Agama juga merupakan salah satu titipan Tuhan, namun kebanyakan dari kita sering mencampakannya apalagi memasuki era postmodern menggambarkan fenomena sosial-budaya makin kekinian lebih menghantarkan manusia ke zona materialistis (pecinta harta benda), atas dasar itulah sehingga manusia akan berlari kepada pencarian spiritual untuk menjawab problematika hidupnya.
Terkhusus pada mayoritas generasi milenial masih sangat rentan terombang-ambing oleh pengaruh negatif teknologi  dan sering mengalami kegalauan atau kebingungan (confused), hal inilah yang akan menyadarkan manusia tentang pentingnya muatan spiritual melalui pedoman agama beserta kitab suci-Nya.
Terlepas dari warna agamanya, apakah itu agama islam, Kristen, hindu, budha, dan konghucu. Sebab Persoalan terpenting menurut Eric Fromm, misalnya menyatakan bukan beragama apa, tapi beragama bagaimana. Dan mengutip kalimat bijak oleh gusdur sang guru bangsa "Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah Tanya apa agamamu".
Dengan hadirnya agama maka akan terjadi keseimbangan kerja antara perangkat akal dan nafsu, sehingga ketiga komponen ini tanpa mengesampingkan komponen pendukung lain, salah satunya seperti alam jasmaniah akan bersatu mencapai standar operasional manusia (SOM) dan akan terbentuk pula sistem kemudi (power steering) yang lebih handal dalam menghadapi arus kemajuan teknologi serta akan mampu mewujudkan terciptanya kemurnian manusia lebih matang.
 Power steering ini akan mengantarkan manusia pada puncak kepuasan psikologis akan pentingnya komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan menggiring manusia pada telaga cinta yang medambakan kesejukan dan kedamaian yang tidak tergilas oleh teknologi.
Selanjutnya  mungkin sudah saatnya kita kembali memeriksa diri, sudah layakkah kita disabut manusia otentik (asli) yang memenuhi  standar operasional manusia (SOM) atau belum. Jika belum layak maka penulis ingin mengingatkan sekali lagi. Mari kita menjadi manusia.
Wallahu A'lam bi'al-Shawwab
Oleh : Jaya Nug Miharja (Pemerhati Kewarasan Berpikir)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H