Aku memang terlambat hadir di pesta itu.
Pesta untuk melepas keberangkatan keduabelas mahasiswa pilihan dari berbagai fakultas  oleh universitas setjara resmi. Dan atjara formal itu sudah selesai. Anak-anak itu sudah diperkenalkan di atas panggung. Mereka akan berangkat sebagai gelombang pertama ke Kalimantan Utara. Sebagai sukarelawan bela negara, puntjak dari latihan berat Wadjib Latih Mahasiswa.
Band Eka Sapta mengisi panggung dengan lagu mars. Entah siapa penjanjinya. Aku masih sadja berdiri di podjok gelap dan belum ingin bergabung, meskipun hampir semua jang hadir kukenal. Aku sebenarnja enggan hadir malam ini. Universitas terlalu berlebihan menghormati anak-anaknja. Mereka berduabelas memang tulus berniat membela negaranja, aku tahu itu. Tapi sebenarnja negaranja sedang tidak terantjam. Pemimpinnjalah jang terlalu suka mentjari perkara.
Ah, ......aku memang skeptis. Meskipun berbeda sudut pandang, tapi mereka kawan-kawanku juga. Aku harus ikut bergembira bersama mereka.
Kunjalakan Bentoel kretekku jang terachir. Bobby si bordjuis , jang ke kampus mengendarai Karmann Ghia mengkilap itu, tampak dikerumuni gadis-gadis. Nilainja pasti naik lebih tinggi, karena dia salah seorang jang besok berangkat. Berangkat meninggalkan semua hal jang ada padanja, demi idealismenja.
Pembawa atjara meneriakkan nama Irman dan David. Dua anak jang sebelumnja tidak pernah akur. Radjin berdebat membawa pandangan politik mereka di setiap kesempatan. Mereka berdua lantas sadja naik panggung. Riang gembira menjatakan bahwa mungkin ini kesempatan terachir mereka berdebat. Belum tentu mereka berduabelas bisa kembali  pulang dengan selamat. Satir.....
Perhatianku teralih ketika seorang gadis berambut sebahu mendekat. Mendekati medja hidangan, tepatnja. Aku baru ingat bahwa sehari ini, aku sama sekali belum makan. Akupun bergeser mendekatinja. Kanthi, anak Kedokteran jang baru sadja  judisium naik tingkat 2. Gadis tjantik bunga kampus jang sudah lama kuintjar. Tapi tidak punja kesempatan. Saat terakhir dia sering berdjalan bersama Rudi, anak Ekonomi  lichtingku.
"Selamat malam, Calon Dokter. Mau makan?. Aku juga belum makan. Baru sadja datang" sapaku berbasa-basi, sekadar membuka pertjakapan.
"Tidak, mas. Sudah makan tadi. Hanja ingin mengambil minum" sahutnja sambil tersenjum. Maaak......., manisnja lesung pipi itu.
"Saja Seno" aku mengulurkan tangan. Formal mengadjaknja berkenalan. Dia mendjabat tanganku. Halus tangannja membuat darahku tersirap. Tapi dia tidak membalas salamku. Hanja........
"Sudah tahu, mas. Siapa jang tidak mengenal mas Seno di sini?" gumamnja sambil melebarkan senjum.
"Sebenarnja saja djuga sudah tahu kalau gadis tjantik ini bernama Kanthi, tapi......." Gombal, tapi biasanja efektif.
"Mana Rudi?" tanjaku memastikan. Vulgar, tapi perlu dan harus ditanjakan. Agar tidak terdjadi hal jang tak diinginkan nantinja.
"Tidak tahu, mas. Mungkin tidak datang". Meski senjumnja menghilang, tapi, nah.... ini undangan. Hanja lelaki goblok jang tidak tahu kalau djawaban ini bukan undangan. Dan rasanja aku tidak termasuk.
Dan kamipun bergeser menjauhi medja hidangan. Lupa aku pada tuntutan perut. Lupa aku kalau harus menjalami kawan-kawan jang berangkat besok. Â Lupa..... lupa semua. Ada prioritas lain jang harus didahulukan. Dan di panggung, Bing Slamet jang biasa menabuh bongo, merebut microphone dan mulai memperdengarkan suara emasnja. Hadirin berdjingkrak bersama melantunkan lagunja. Nurlaila memang tjantik. Siapa kena lirik, hati bak didjentrik....
"Terlalu ramai di sini. Bagaimana kalau kita ke luar sadja?" adjakku. Dia mengangguk. Kamipun duduk berdua di tangga teras. Hanja berdua, jang lain apalah artinja?. Sedikit heran, mengapa bulan purnama malam ini djadi sangat indah.
Pertemuan malam ini tak kulupakan. Pertemuan kali ini membawa kesan. Aku enggan untuk pulang, walau pagi  t'lah mendjelang...... Dari dalam ruang sajup terdengar Anna Mathovani menjanji. Keterlaluan anak-anak panitia itu. Gadis ketjil pra remadja seperti dia disuruh menjanji djelang tengah malam seperti ini.
Dan waktupun berlari luar biasa tjepat. Dan akulah jang punja kesempatan pertama untuk mengantarnja pulang. Kami naik betjak berdua dari Salemba ke Tjikini, rumahnja. Heran sungguh, si abang mengajuh betjaknja sangat tjepat. Bisa lewat Mester sebenarnja, biar agak lama.....
Usai mengantarkan si gadis kembali pada orang tuanja, akupun bergegas pulang. Sudah lewat tengah malam. Ke Pegangsaan, asrama jang djadi rumahku. Djalan kaki sadja. Ada kemungkinan bisa ditangkap melanggar djam malam. Meski tidak djadi soal besar, tapi tjukup buang waktu. Ah biarlah...
Biarlah, karena masih ada hari esok. Pertjajalah esok akan tjerah, kawan!. Â Aku akan segera judisium tingkat achir, lantas lulus dan bekerdja!. Dan aku akan segera datang kembali, resmi ke orangtuanja untuk ......., untuk...........
Lamunanku bujar seketika karena bunji detjit rem  mobil di seberang. Beberapa kepala muntjul dari mobil terbuka itu, berteriak-teriak. Mobil itupun berputar balik. Karmann Ghia Bobby rupanja. Lalu Irman, David dan semuanja berteriak berebutan.
"Sennooooo....gila kamu! Dasar buaja! Semua sudah mengepak ranselnja ketjuali kamu! Djam tiga pagi ini kita harus berangkat dari Halim, bukan?. Â Kamu Kepala Regu atau bukan, sih?"
Ah kawan, .......Â
Di kepalaku lantas sadja terngiang njanjian Anna Mathovani tadi,......... aku ingin hidup s'ribu tahun lagi................
* Latar belakang cerita (dalam EYD):
Tahun 1961 Inggris, yang ingin meninggalkan jajahannya secara terhormat ingin membentuk Federasi Malaya (yang kemudian dikenal sebagai Malaysia), termasuk Sabah dan Serawak (meskipun akhirya Brunei dan Singapura memisahkan diri). Indonesia yang saat itu jadi pemimpin negara-negara nonblok menginginkan Sabah dan Serawak merdeka. Tapi jalan perundingan ternyata buntu.
Indonesia menyatakan perang lewat operasi Dwikora. Malaysia, jelas dibantu Inggris, Amerika Serikat dan Australia, versus Indonesia yang pede punya kekuatan udara dan laut terkuat di belahan bumi selatan serta jumlah penduduk yang luar biasa besar. Perang ini memporakporandakan ekonomi dan, diakui atau tidak, adalah salah satu pemicu peristiwa September 1965.
Tapi itu soal lain. Yg berkaitan di cerita ini hanyalah mobilisasi umum. Semua warga negara yang berusia 18-40 tahun ketika itu, harus ikut wajib militer dan harus siap diberangkatkan sebagai sukarelawan. Kapanpun dibutuhkan.
Cerita ini hanya fiksi. Bersetting tahun 1964-1965, di puncak masa konfrontasi. Jam malam, VW Karmann Ghia, Eka Sapta, Bing Slamet, Anna Mathovani. Kampus Salemba dan asrama Pegangsaan, Dan tentunya sistim kuliah di perguruan tinggi yang belum kenal dengan SKS (Sistim Kebut Semalam, yang baru diujicobakan di ITB, 1973). Kuliah masih menggunakan sistim judicium, ujian kenaikan tingkat seperti anak-anak SD, SMP dan SMA sekarang.
Hanya berusaha untuk sedikit memperhatikan detil........
Termasuk ejaannya.......
*ilustrasi dipinjam dari hak milik mbah Ukik, terimakasih......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H