Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Orang Koplak Naik Haji (2)

14 November 2014   12:53 Diperbarui: 30 Oktober 2015   08:41 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bab Petugas yang Galak, tapi........

Ketika jutaan manusia tumpleg-bleg di Masjid Al Haram, apalagi menjelang wukuf  di Arafah 9 Dzulhijjah (tahun ini ditetapkan Pemerintah Saudi pada hari Jumat 3 Oktober 2014), tentu saja benturan kepentingan yg menyebabkan benturan fisik  sering terjadi. Dan fungsi para petugas keamanan terasa amat sentral, karena memang ternyata tidak semua jema’ah itu mau dan sudi bersabar.

Secara fisik rerata para petugas itu bertubuh ‘mungil’ tak jauh beda dengan fisik jema’ah asal Asia Tenggara. Meski omongannya galak dan kasar (untung gag ngerti bahasanya), dalam mengusir jema'ah yg 'ndeprok'  menggelar sajadah seenaknya dan menyumbat jalur yg sengaja dikosongkan untuk sirkulasi 'emergency', tapi, mereka tak dibekali dengan senjata apapun dan gag pernah melakukan kekerasan fisik kepada jema’ah.

Meskipun demikian, mereka terbukti sangat terlatih. Ketika benturan fisik antar jema’ah yg keluar masjid usai shalat Jum’at dan jema’ah yg memaksa masuk masjid terjadi, mereka dengan tenang menyeruak kerumunan itu dan berteriak-teriak garang untuk membelokkan arah arus jema’ah yg memaksa masuk masjid dan menyetop arus itu samasekali.

Siang itu usai melempar jumrah Aqabah, masih dalam pakaian ihram, si orang Koplak bersama isterinya minggir di ujung terowongan Mina, sekadar minum, istirahat dan menyiapkan fisik untuk perjalanan etape terakhir berjarak 1 km diarea terbuka, jalanan umum di bawah panggangan matahari menyengat dengan kelembaban sangat rendah dan tanpa angin samasekali.

Karena tempat yg dipake itu adalah ujung jalur evakuasi yg cukup strategis, eh...... ada segerombol orang Turki ikut-ikutan berhenti, menggelar tikar,  membuka bekal dan bercakap riuh. Tindakan mereka ternyata menyumbat dan membuat kemacetan arus manusia yg sedang padat-padatnya. Hal itu memancing datang beberapa Petugas yg dengan galak dan tensi tinggi, mengusir para pembuat kemacetan itu.

Si Orang Koplak dan isterinya, sebagai orang timur yg beradab (hiyaaaaaaah...) yang juga merasa ikut bikin andil kemacetan itu lalu ikut bangkit serta mengemasi barang bawaan. Tapi teriakan lebih kencang terdengar :

”Indone-es! Don’t mind! You can wait until you finisssssh!”. Addduh maaak, meski nadanya galak dan bahasanya koplak, artinya ngarti dah ah!

Dan si Orang Koplak bersama isterinya pun duduk kembali, melanjutkan berhubungan intim. (Hish, bukan berhubungan intim yg ‘itu’ yak, masih dalam pakaian ihram nih!), maksudnya cuma ngobrol dan berbagi jeruk........ Addduuuh, manisnyaaa (……….. jeruknya maksudnya). Setelah merasa fisik segar kembali, sang isteri mengemasi sampah dan membuang di tempat sampah terdekat. Si Orang Koplak pun bangkit, sedikit melawan arus mendekati si Petugas. Wajah si Petugas langsung menyala marah.

Sambil sedikit menepuk bahu si Petugas, si Orang Koplak bilang : “Syukron!” (cuma itu bahasa Arab yg tau). Wajah garang itu lalu sedikit melunak dan seulas senyum menghiasi bibirnya : “Sammassamma…”

Berbagi senyum dengan orang yg jenuh di tengah tugas, sedikit berbahaya, eh...... berpahala juga kan?

Bab Elevator atawa Lift, Siapa yang Punya?.

Maktab atau tempat mukim rombongan si Orang Koplak selama di Mekkah (kurang lebih sebulan) adalah di sebuah hotel berbintang 3, yg terdiri dari 3 blok bangunan berlantai 15. Masing-masing blok dilengkapi 5 buah lift atawa elevator sebagai sarana sirkulasi vertikal. Jumlah lift ini sangat tidak cukup. Pada jam-jam sibuk (menjelang dan usai waktu shalat) sering terjadi antrian panjang atau adegan berebut  lift. Disamping, memang, jumlah penghuni yg luarbiasa besar (maklum sekamar isinya 4-6 orang), budaya para pengguna lift itu juga banyak yang cukup koplak.

Para penghuni lantai 3, umpamanya, untuk turun ke lantai G (Groundfloor, Lobby), bukannya menunggu lift yg turun, tapi dengan kesadaran penuh masuk lift yg sedang naik. Akibatnya para pengantre lift di lantai 15 hanya mendapati lift yg terbuka di hadapannya sudah penuh. Dan orang-orang yang berjubel dalam lift itu sambil melambaikan tangan (maksudnya : "Penuh! Gak bisa masuk!") rame-rame bilang  "Dadaaaaaaah!".............

Apalagi ketika di tengah keributan antrian itu (adaaaa saja) ibu-ibu yg jejeritan koplak, karena menganggap lift itu sebagai lift khusus perempuan, sehingga dengan sadis dan diskriminatif mengusir para bapak yg ikut antri. Enak aja, emang ini KRL Commuterline  djoeroesan Tjileboet-Pasar Minggoe apa?................

Menjelang jam 02.00 pagi itu, si Orang Koplak bersama isterinya pulang 'dugem' dari Masjid Al Haram. Lift memang gag ngantri, tapi di dalam lift ada seorang kakek yg cukup renta 'ndepipis' di pojok sendirian, tanpa teman. Tanpa basa-basi, si Orang Koplak lantas memencet tombol lantai 11 (letak kamar si Orang Koplak bersama isteri, beda kamar tapiiiii........). Tapi loh, kok cuma lampu indikator lantai 11 yg menyala? Kemana pulak tujuan si Kakek ini? Ketika ditanya si Kakek cengengesan bilang kalau dia penghuni lantai 5. Karena sudah terlewat, dan gak tega meninggalkan si Kakek sendirian di dalam lift, si Orang Koplak terpaksa kembali turun dan mengantarkan si Kakek kembali ke kamarnya.

Setelah sampai dan si Orang Koplak mohon diri, si Kakek dengan cengengesan bilang : "Saya sih benernya cuma pengen puas-puasin naik-turun, pakliiiiik. Uuuwwwenaaaaak tenaaaan, grrruuuaaaaatiiiisss........ Habis sih, mumpung di Mekkah, kapan lagi bisanyaaa?  Kan di Indonesia gak ada yg punyaaaa?"

Owalah, owalaaaaaaah....... ngobrol dong dari tadi, pakdheeeeee !.......

Bab Tanjung Perak yang Kapalnya Kobong.

Usai pelontaran jumrah dan mabit (bermalam) di Mina, para jema'ah pun diangkut kembali ke Mekkah untuk melakukan Thawaf Ifadhah di Ka'bah (di Masjid Al Haram), sebagai akhir kewajiban ritual berhaji. Masih ada kewajiban satu lagi, Thawaf Wada (perpisahan), sebelum meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Tapi diantara 2 thawaf itu terbentang waktu kurang lebih 10 hari lamanya. Dan para jema'ah pun mengisi waktunya dengan ibadah, ibadah dan ibadah.........

Hanya ibadah, atau juga "ibadah" ?

Kepulangan beberapa kloter awal, membuat hotel tempat mukim rombongan si Orang Koplak itu semakin lengang. Lift tidak lagi jadi barang yg harus diperebutkan. Banyak kamar yg kemudian menjadi kosong.

Padahal seusai Thawaf Ifadhah, tahallul tsani pun sudah berlaku. Artinya, hubungan suami-isteri yg "itu" sudah tidak jadi hal terlarang lagi. Kamar kosong dan realita bahwa kamar si suami dan si isteri yg sejak awal dipisah (ada yg berlainan lantai, bahkan berlainan blok) menimbulkan ide 'cemerlang'.

Ssssst, ssssst, sumprit, tapi ini rahasia ya?. Jangan cerita-cerita ke orang lain ya?

Hanya dengan beberapa riyal untuk sang OpisBoi, dan kunci kamar kosong pun di tangan. Cukup nyanyian kode di depan kamar isteri, lalu sejam-dua menghilang dari 'garis edar', dan 'kebutuhan' yg ditahan-tahan kurang lebih sebulan, tunai sudah...........

Tapi ternyata sang OB, biar sudah makan 'duit haram', masih juga doyan duit yg lain. Beberapa riyal berikutnya sudah cukup membuka aib, siapa-siapa saja pasangan yg melakukan 'skandal-jepit' itu.

Tapi, eh, ...... setelah pelaku skandal-jepit terbuka, lantas kenapa?

Ya tidak kenapa-kenapa, karena meski tanpa berjanji, ternyata  ide "cemerlang' itu direalisasikan oleh buaaaaanyak pasangan. Ada yg mengaku terang-terangan sambil ngakak (lebaaaaaar......), ada yg mengaku samar-samar, tapi sambil ngekek (lebeeeeer......., eh salah yak?), tapi ada pula yg ngeyel bilang kalau sedang ibadah, tapi ketika diancam akan di 'sumpah-pocong', barulah ngikik (hish, bukan 'lebiiiiir' ! ...........).

"One accident leads to another", kata orang yg sok bahasa Enggres. Dan yg telat punya 'ide' pun dengan langkah lebaaar, lebeeer, atau lebiiir, kemudian ikut-ikutan 'menghilang' pula.  Untungnya gag ada skandal betulan, sekamar dgn suami/isteri orang lain misalnya .........

".............. Tapi itu memalukan!" Kata seorang teman yg berangkat berhaji sendirian, dengan separuh geram (separuh lagi nganan, eh, salah.............ngiri ) : "Seharusnya mereka merasa malu ketika ketahuan, bukannya malah ketawa-ketiwi begitu. Itu kan seharusnya masalah yg amat-sangat-sangaaaaaaat pribadi".

"Sabarlah, kawan!....... Mereka kan pasangan-pasangan muda yg susah menahan diri. Perbanyak saja kesabaran sebanyak bulu di badan" jawab si Orang Koplak sok alim, biasaaaa........... "Tapi, esh, jangan ikut-ikutan mencabut jenggot saya, yak?........".

Tapi kemudian si teman bertanya, apa benar hanya pasangan-pasangan muda yg melakukannya?  Naaaaah, pertanyaan yg ini gag perlulah dijawab................. Betul tidak?

Lantas saja si Orang Koplak jadi inget parikan di jaman kecil dulu : "Tanjung Perak, pak, kapalnya kobong. Monggo pinarak, bu, .......kapalnya kobong, eh, salah,......... kamarnya kosong!"

Bab Kotang Lambur.

Kondisi di dalam Masjid Al-Haram, apalagi beberapa hari menjelang wukuf 9 Dzulhijjah, benar-benar dan betul-betul 15 Z (Zungguh Zezak Zekali, Zehingga Zhalatpun Zulit, Zedakep Zaza Zenggol Zana Zini, Zujud Zuga Zuzahnya Zetengahmodar)....... Zaaaammmpp....... (hish, mau memaki lagi ya?).......eh, ......... zeriuz!.

Tapi kondisi Masjid Nabawi di Medinah gag seperti itu. Mungkin karena memang jadwal kedatangan jema’ah yg gag terkonsentrasi di suatu waktu tertentu. Juga gag ada hal yg membuat jema’ah memaksa masuk masjid (kecuali makam Nabi dan para sahabat yg nun juaaaaaaauuuuuh di sana, di ujung masjid). Pelataran masjid juga terlindung dari cuaca dengan adanya payung raksasa dengan kipas angin superbesar (plus semburan uap air dingin) dibawahnya, sehingga shalat di pelataran masjidpun oka-oke sajalah.

Kelakuan para Petugas pun berbeda. Di Haram dgn garang melarang jema’ah masuk masjid (kalo masjid sudah penuh), di Nabawi justru dgn galak mengusir jema’ah yg menggelar shalat di pelataran agar segera masuk masjid.

Tapi akal para jema’ah nakal dan koplak pun gag kurang. Mereka hanya menunggu di luar pagar area pelataran masjid dan baru masuk setelah Iqamah dikumandangkan, shalat sedekat mungkin dgn pintu keluar dan lari secepatnya begitu Imam mengucap salam (mengejar lift, tau! ......telat dikit, ngantrinya itu hlo!).

Ah, jadi ingat dengan jabatan asli di masjid lingkungan dekat rumah. Pelindung dari gerombolan Kotang Lambur (Komat datang, salam kabur). Tapi yg punya jabatan itu,........ tetangga si Orang Koplak yaaa. Sekali lagi tetangggggaaaa...........

Bab Nama Julukan.

Orang alim senang berkumpul dengan sesama orang alim. Orang jaim pun membentuk kelompoknya sendiri. Para koplak pun dari sononya ditakdirkan untuk berserikat dengan koplakers lain. Soal ibadah ya tetap serius, tapi berhahahihi itu, sungguh enak dibacem dan perlu...............

Susahnya, para koplakers itu lantas mengembangkan semacam bahasa rahasia, menjuluki seseorang dengan nama yg ditahbiskan bersama, untuk sekadar memudahkan mengingat. Nama julukan ini aneh dan lucu tentu saja. Kadang yg punya nama gag tau kalo namanya dirubah seenak jidat oleh para Koplakers dibelakang punggungnya. Sering juga ada yg protes, tapi yaaaaa..... yg menjuluki pun sak benernya ikut prihatin, tapi dengan amat prihatin pula nama julukan itu tetap berlaku. Sudah terlanjur menyebar sih, kan susah ngerubahnya?

Kadang pemberian nama ini berhubungan dengan kelakuan atau penampilan ybs seperti misalnya Komandan Kapal Keruk (karena seringnya menggaruk badan kegatelan), Uztad Cap Keris (Hobinya mengeluarkan rokok hanya untuk dirinya sendiri, mirip mencabut keris). Haji Ali bin Abu Rokok (namanya memang Ali dan perokok berat), dst, dst.

Tapi ada nama julukan yang samasekali gag ada hubungan apapun. Baik dengan penampilan fisik, dengan sifat dan kelakuan atau kemiripan yg lain, misalnya Umar bin Kenthir (padahal, namanya Ujang), Sersan Haddock (namanya Hamid), dll, dll .  Yg seperti ini benar-benar dan betul-betul menguji kesabaran. Coba saja, apa hubungan si Orang Koplak ini dengan nama julukan yg disematkan gerombolan koplakers itu untuknya,............. Syeh Puji?

Cuma Koplak?

Ah, tentu tidak. Berkoplak ria selama perjalanan ini hanyalah sebuah intermezzo di tengah beratnya perjuangan fisik dan pergulatan bathin dalam perjalanan ini. Nyatanya si Orang Koplak hampir selalu menangis dan mewek setiap kali. Cuma, masalah itu rasanya terlalu personal untuk diceritakan.

Dan sebutan sebagai Haji, apalagi seorang Haji yg Mabrur dari sesama, rasanya bahkan menjadi satir buat si Orang Koplak ini. Karena sesungguhnyalah si Orang Koplak belumlah se-sempurna itu............. Perjalanan menuju pintu SurgaNya, seperti yg dijanjikanNya masih panjang dan berat. Masih perlu diperjuangkan sampai hayat berakhir..

Mampukah?  (Bolehkah si Orang Koplak menjawabnya dengan) .......... Insya Allah!.

Syeh AJ (Ini yg betul!),  KoplakYoBand laaaaah.............

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun