Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela kamar tidur Dani. Bunyi alarm yang berdering keras membuatnya terbangun dengan enggan. Dia mengulurkan tangan untuk mematikan alarm dan menghela napas panjang. Hari ini adalah hari pertama setelah sebulan lamanya ia cuti karena sakit.
Dengan langkah malas, Dani menuju dapur dan mulai menyiapkan sarapan. Seperti biasa, dia menyeduh secangkir kopi hitam pekat. Aroma kopi yang kuat mengisi ruangan, namun ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Saat menyesap kopi, rasa pahitnya terasa lebih menusuk dari biasanya.
Dani duduk di meja makan, menatap cangkir kopinya yang masih mengeluarkan asap tipis. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian yang membawanya ke titik ini. Sebulan yang lalu, hidupnya berantakan. Dia kehilangan pekerjaan yang dicintainya, hubungannya dengan pacarnya, Maya, juga kandas. Semua terasa begitu berat.
Sejak saat itu, pagi-pagi Dani selalu diisi dengan kopi pahit dan pikiran-pikiran yang membebani. Dia merasakan kehampaan yang dalam, seakan semua yang diusahakannya tidak berarti. Tapi pagi ini, dia memutuskan bahwa sudah waktunya untuk berubah.
Pukul 8 tepat, Dani tiba di kantor. Rekan-rekannya menyambutnya dengan senyum hangat dan beberapa pelukan. Meskipun senyum mereka memberinya sedikit semangat, Dani tetap merasa canggung. Dia tahu, banyak yang berubah selama dia pergi.
"Dani, senang kamu kembali," sapa Rudi, teman dekatnya di kantor. "Kita semua merindukanmu."
Dani tersenyum tipis. "Terima kasih, Rudi. Aku juga merindukan kalian."
Hari itu, Dani berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang sempat ditinggalkannya. Meski sulit, dia terus berusaha, mencoba untuk tidak tenggelam dalam rasa putus asanya.
Saat istirahat makan siang, Dani duduk sendirian di sudut kafetaria. Dia memandangi ponselnya, tergoda untuk mengirim pesan pada Maya, namun ia ragu. Apakah Maya masih mau bicara dengannya setelah semua yang terjadi?
Sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya. "Dani, bolehkah aku duduk di sini?"
Dani mengangkat wajahnya dan melihat Nadia, seorang rekan kerja yang baru dikenalnya. "Tentu, duduklah," jawabnya sambil tersenyum.
Nadia adalah sosok yang ceria dan penuh energi. Kehadirannya membawa keceriaan tersendiri di kantor. "Aku dengar kamu baru kembali dari cuti. Bagaimana perasaanmu?"
Dani berpikir sejenak sebelum menjawab. "Jujur saja, masih sulit. Tapi aku berusaha untuk kembali normal."
Nadia mengangguk pengertian. "Aku mengerti. Aku juga pernah berada di posisi yang sama. Tapi ingatlah, kita tidak sendirian. Ada teman-teman yang siap membantu."
Percakapan mereka berlanjut, dari topik pekerjaan hingga hal-hal ringan. Perlahan, Dani merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Ada sesuatu tentang Nadia yang membuatnya merasa lebih baik.
Malam harinya, setelah pulang kerja, Dani kembali merenung di dapur. Kali ini, dia membuat secangkir teh hangat, mencoba sesuatu yang berbeda. Sambil menyesap tehnya, dia memutuskan untuk menulis pesan pada Maya.
"Hai Maya, aku berharap kamu baik-baik saja. Aku ingin minta maaf atas semua yang terjadi. Aku tahu ini mungkin tidak cukup, tapi aku berusaha untuk memperbaiki diri. Semoga kita bisa bicara suatu saat nanti."
Dani menekan tombol kirim dan merasakan kelegaan. Entah Maya akan membalas atau tidak, setidaknya dia telah mencoba. Dia menatap cangkir tehnya yang kosong dan tersenyum. Pahitnya kopi pagi tadi mulai terasa jauh.
Hari-hari berikutnya, Dani terus bekerja keras. Dia mulai merasa nyaman kembali di kantor, dan hubungan dengan rekan-rekannya semakin baik. Nadia sering mengajaknya berbicara dan mendukungnya di setiap langkah. Perlahan, hidupnya mulai berwarna lagi.
Suatu pagi, ketika sedang menikmati secangkir kopi yang kali ini tidak terasa terlalu pahit, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Maya.
"Hai Dani, aku menerima pesanmu. Aku senang kamu berusaha memperbaiki diri. Aku juga ingin kita bicara. Mungkin kita bisa bertemu minggu depan?"
Dani tersenyum lebar, rasa pahit di hatinya perlahan tergantikan dengan harapan baru. Kopi pagi itu masih terasa pahit, tapi kini dia tahu bahwa pahitnya hanyalah awal dari perjalanan menuju sesuatu yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H