Pengaturan hukum tentang akses ilegal di Indonesia dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Pasal 1 angka 15 UU ITE, akses didefinisikan sebagai kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. Sedangkan kata ilegal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu tidak legal, tidak sah, tidak menurut hukum. Akses informasi secara ilegal merupakan bagian dari cybercrime. Dimasukkanya pengertian ilegal menurut KBBI menjadi pertanda bahwa ada ketidakjelasan konsep dalam peraturan perundang-undangan tentang akses ilegal.
Pemaknaan cybercrime dikemukakan oleh ahli hukum siber misalnya, Susan Brenner yang menyatakan bahwa: “crimes in which the computer is the target of the criminal activity, crimes in which the computer is a tool used to commit the crime, and crimes in which the use of the computer is an incidental aspect of the commission of the crime.”(Artinya: Berbagai kejahatan atau tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai sasaran dari perbuatan pidana, tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai alat untuk berbuat kejahatan dan tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai aspek insidental untuk melakukan kejahatan).
Cybercrime adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Menurut Kim Kwang Raymond Choo, kegiatan akses ilegal dalam cybercrime adalah kejahatan yang menjadikan sistem informasi dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran atau objek, misalnya: pencurian data pribadi, pembuatan dan penyebaran virus, pembobolan situs atau website.
Gambaran makna kejahatan tersebut memberikan gambaran bahwa penggunaan komputer berbasis jaringan internet memiliki klasifikasi tindak pidana yang berdiri sendiri secara khusus. Setiap kejahatan siber berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga ketika terjadi tindak pidana dan dibawa ke pengadilan, maka hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut harus memilah dan menguraikan unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum sehingga menghadirkan keadilan bagi korban dan juga terdakwa. Namun demikian, pada hakikatnya pengaturan mengenai akses ilegal yang diatur di dalam UU ITE selalu tidak lengkap maupun jelas. Hal ini merupakan permasalahan yang tidak pernah selesai dan selalu terus ada dalam ilmu hukum. Isu tidak lengkap dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat ditemukan melalui persoalan mengenai kekosongan, konflik hukum, ketinggalan jaman, dan multi intepretasi.
Walaupun peraturan perundang-undangan suatu negara pada hakikatnya ditegakan dalam sebuah sistem yang artinya esensi dari sebuah sistem adalah untuk menunjuk satu kesatuan dari bagian-bagian. Akan tetapi, empat persoalan di atas selalu melekat bagaikan kutukan yang tidak bisa hilang. Meskipun sebagai sebuah sistem peraturan perundang-undangan harus dipersepsikan secara ideal sebagaimana nampak dalam pandangan di atas namun keterbatasan tak terelakkan.
Kenyataannya, hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara/keadaan yang timbul dalam dinamika masyarakat suatu negara. Hal itu dapat menyulitkan para penegak hukum untuk menyelesaikan hal tersebut. Dalam hal ini perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada perkembangan peraturan perundang-undangan menjadi masalah berkaitan dengan hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga memungkinkan terjadinya keadaan dimana aturan yang ada di suatu Negara dianggap tidak lengkap dan tidak menjamin kepastian hukum warganya yang berakibat adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) di masyarakat.
Masalah kontradiksi atau pertentangan suatu peraturan perundang-undangan juga tidak dapat dihindarkan. Pertentangan dapat terjadi secara vertikal maupun secara horizontal. Pertentangan undang-undang dengan undang-undang dasar merupakan pertentangan secara vertikal, atau pertentangan secara horizontal seperti pertentangan antara satu jenis peraturan yang sama. Selain itu, masalah tentang ketinggalan jaman. Tidak ada satu peraturan pun yang dapat memenuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan masyarakat. Ketika hari ini suatu peraturan disahkan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, maka di hari berikutnya peraturan tersebut tidak lagi sesuai dengan perbuatan manusia yang terjadi setelah peraturan tersebut dibentuk. Terakhir adalah masalah terkait ketidakjelasan pasal dalam UU ITE yang menimbulkan multitafsir. Masyarakat mengenal dengan istilah “pasal karet”. Pasal karet adalah pasal yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya sehingga dapat menimbulkan tafsiran yang beragam (multitafsir).
Untuk mengatasi semua persoalan tersebut, teori Keadilan Bermartabat hadir. Menurut teori Keadilan Bermartabat hanyalah hakim yang dapat menyelesaikan semua persoalan yang ada. Hakim dapat menyelesaikan persoalan kekosongan hukum, konflik hukum, ketinggalan jaman dan multi intepretasi. Hakim dapat membuat suatu norma baru ketika tidak diatur secara jelas dan lengkap. Hakim dapat memilah norma yang seharusnya diterapkan terhadap suatu kasus ketika terjadi kontradiksi. Hakim dapat menghidupkan kembali pasal-pasal yang termuat di dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan cara menerapkan terhadap kasus konkrit yang terjadi. Hakim dapat menyelesaikan persoalan terkait multi intepretasi atas suatu pasal dan menyelesaikan setiap persoalan yang dibawa ke dalam persidangan. Kesemuanya itu dapat dibuktikan melalui sepuluh (10) putusan pengadilan terkait perkara akses ilegal yang sudah diputus oleh Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Putusan No.132/Pid.B/2012/PN.PWK. dalam perkara ini, Pasal yang diterapkan Hakim dalam memutus adalah Pasal 30 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 36 UU ITE jo. Pasal 51 ayat (2) UU ITE. Kedua, Putusan No.268/Pid.Sus/2012/PN.Skh. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 51 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 35 UU ITE. Ketiga, Putusan No.253/Pid.B/2013/PN.Jmr. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Keempat, Putusan No.86/Pid.sus/2018/PN.Lmg. pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 52 ayat (2) UU ITE. Kelima, Putusan No.6/ Pid.Sus/2019/PN.Mlg. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Keenam, Putusan No.294/Pid.Sus/2019/PN.Dps. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim dalam memutus adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE.Ketujuh, Putusan No.604/Pid.Sus/2019/PN.Dps. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Kedelapan, Putusan No.650/Pid.Sus/2019/PN Jmr. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Kesembilan, Putusan No.2322/Pid.B/2019/PN Sby. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Kesepuluh, Putusan No.497/Pid.Sus/2020/PN.Plg. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 30 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 46 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Putusan-putusan tersebut di atas mengidentifikasikan bahwa pada dasarnya hukum yang mengatur tentang akses ilegal di Indonesia tidaklah lengkap selengkap-selengkapnya dan jelas sejalas-jelasnya. Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan di atas, maka teori Keadilan Bermartabat dapat menjustifikasi suatu kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat yang terus selalu berkembang melalui penemuan hukum atau recht vinding yang termuat dalam ke-10 putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diuraikan di atas dengan membuat keputusan yang adil bagi pihak-pihak yang berpekara.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Perspektif Teori Keadilan Bermartabat dalam Tindak Pidana Akses Ilegal Siber?
penulis hendak menjawab isu hukum yang ada dalam penelitian ini. Sebagaimana telah di-breakdown sebelumnya bahwa terdapat empat isu penting dalam ilmu hukum yang tidak pernah selesai dan akan selalu ada. Adapun isu hukum tersebut adalah isu tentang kekosongan hukum, konflik hukum atau kontradiksi, ketinggalan jaman atau usang dan isu tentang multi intepretasi atau multi tafsir.
Keempat persoalan tersebut di atas tidak hanya terbatas pada bidang-bidang hukum tertentu, seperti misalnya hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum tata negara, akan tetapi pengaturan hukum mengenai sesuatu baik secara luas maupun yang lebih spesifik. Pengaturan yang spesifik dimaksud berkaitan dengan pengaturan mengenai akses ilegal siber sebagaimana diatur di dalam UU ITE. Sebab pada hakikatnya pengaturan tersebut tidak lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, penulis akan breakdown persoalan tersebut dengan menanyakan kepada teori Keadilan Bermartabat dan menganalisa persoalan yang ada karena kerangka kerja analisa teori Keadilan Bermartabat pada prinsipnya adalah analisis lapisan-lapisan ilmu hukum untuk menemukan hukum.
Sebagai suatu teori, hasil berpikir secara kefilsafatan, maka teori keadilan bermartabat juga mempunyai metode pendekatan dalam mempelajari dan menjelaskan atau menguraikan objek pengkajian teori tersebut. Berpikir secara kefilsafatan, termasuk berpikir dalam pengertian berteori Keadilan Bermartabat, adalah berpikir secara sistemik. Sistemik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dan sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan, suatu peranan tertentu. Sehubungan dengan teori keadilan bermartabat yang hanya mempelajari objeknya yaitu hukum dengan pendekatan sistem, maka perlu ditambahkan bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berinteraksi satu sama lain.
Sub-sistem dari sistem yang dimaksud adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk mengidentifikasi sistem hukum karena putusan pengadilan sendiri notebene merupakan hasil dari formulasi kaidah hukum. Dalam memutuskan kasus hakim harus memberikan argumentasi hukum untuk menjustifikasi putusannya. Putusan pengadilan berfungsi untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika apa yang terjadi seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut terjadi.
Sebagai salah satu komponen dari sistem hukum, maka isu mengenai kekosongan, kontradiksi, ketinggalan jaman, dan multi intepretasi dapat diselesaikan oleh sistem hukum itu sendiri melalui pertimbangan hukum oleh hakim dalam memberikan penilaian atas suatu perkara yang dibawa kepadanya. Atas dasar itu, maka tesis yang hendak dipertahankan dalam penelitian ini adalah bahwa teori Keadilan Bermartabat berpandangan hukum yang mengatur mengenai akses ilegal di Indonesia tidaklah lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Namun demikian, teori ini juga memberikan pernyataan yang tegas atas isu ini bahwa penyelesaiannya dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam hukum yang tidak lain melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Untuk memahami secara mendalam mengenai benar bahwa teori Keadilan Bermatabat dapat menyelesaikan keempat isu hukum di atas, penulis hendak mengidentifikasi dan mengelompokan kesepuluh putusan tersebut dengan pasal yang diterapkan hakim. Putusan pengadilan yang menerapkan Pasal 30 ayat (1) UU ITE adalah Putusan No. 132/Pid.B/2012/PN.PWK, Putusan No. 253/Pid.B/2013/PN.Jmr, Putusan No. 294/Pid.Sus/2019/PN.Dps. Putusan No. 604/Pid.Sus/2019/PN.Dps, dan Putusan No. 2322/Pid.B/2019/PN Sby. Putusan Pengadilan yang menerapkan Pasal 30 ayat (2) adalah Putusan No. 6/Pid.Sus/2019/PN.Mlg, Putusan No. 650/Pid.Sus/2019/PN Jmr, dan Putusan No. 497/Pid.Sus/2020/PN.Plg. Putusan Pengadilan yang menerapkan Pasal 30 ayat (3) adalah Putusan No. 86/Pid.sus/2018/PN.Lmg. Sedangkan Putusan Pengadilan yang menerapkan Pasal Pasal 35 UU ITE adalah Putusan No. 268/Pid.Sus/2012/PN.Skh.
Bedasarkan pada pengelompokan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima kasus yang menerapkan Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Terdapat tiga kasus yang menerapkan Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Terdapat dua kasus yang menerapkan Pasal 30 ayat (3) UU ITE dan satu kasus yang menerapkan Pasal 35 UU ITE. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah mengenai akses ilegal di Indonesia. Berikut ini adalah unsur dalam Pasal 30 ayat (1) yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 132/Pid.B/2012/PN.PWK, yaitu:
Pertama, unsur setiap orang. bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah setiap orang yang tunduk dan dapat bertanggungjawab sebagai subyek hukum pidana di Indonesia, artinya orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum; Menimbang, bahwa dalam perkara ini yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah terdakwa LUKMAN Bin ABDUL KHODIR yang berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan saksi-saksi maupun pengakuan terdakwa dari identitas diri terdakwa menunjukkan bahwa orang yang diajukan itu tidaklah keliru sebagai orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum dan orang yang identitasnya sebagaimana yang terdapat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum; Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimbangan tersebut di atas maka Hakim menilai unsur ”setiap orang” telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun. Fakta yang terungkap di persidangan ternyata benar terdakwa telah melakukan akses internet secara gratis dengan cara terdakwa mengetahui dari saksi AHMAD HANAFI Alias IFANQ berupa APN Campina dan mengganti APN standar ke APN Campina, sehingga terdakwa dapat melakukan akses internet gratis ke internet Telkomsel dengan menggunakan APN Campina tanpa ijin/illegal. Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis Hakim menilai unsur ”dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun” telah terpenuhi.
Ketiga, unsur yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang dalam undang-undang ini adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum, bahwa benar berdasarkan keterangan saksi-saksi didepan persidangan PT. Telkomsel, Tbk bergerak dalam bidang layanan jaringan dan jasa telekomunikasi, bentuk produk jasa adalah kartu halo, simpati dan As serta sebagai penyedia jasa internet service provider, secara real produk tersebut dijual dalam bentuk pulsa prabayar dan pulsa pasca bayar dan untuk jasa internet dijual sesuai pemakaian bandwith maka berdasarkan keterangan saksi AHMAD HANAFI dan pengakuan terdakwa telah menggunakan akses internet secara gratis dengan cara ilegal hal mana telah mengakibatkan kerugian bagi PT. Telkomsel, sedangkan keseluruhan kerugian yang dialami oleh pihak PT.Telkomsel sesuai hasil audit intenal didapat kerugian sebesar Rp.11,7 Miliar lebih dari hasil seluruh pencurian pulsa yang dilakukan secara tidak sah/melawan hukum atau tanpa ijin dari pihak PT.Telkomsel,Tbk dan perbuatan terdakwa juga merugikan kegiatan yang ada didalam jaringan komputer milik PT. Telkomsel, Tbk; Menimbang, bahwa dari uraian tersebut di atas, Hakim menilai unsur ”yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain” telah terpenuhi.
Unsur dalam Pasal 30 ayat (2) UU ITE yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 6/Pid.Sus/2019/PN.Mlg. Pertama, unsur Setiap Orang. Menurut Hakim yang dimaksud dengan “setiap orang” atau “barangsiapa” disini adalah untuk menentukan siapa pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum yang telah melakukan tindak pidana tersebut dan memiliki kemampuan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Subjek hukum yang memiliki kemampuan bertanggung jawab adalah didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwanya (geestelijke vermorgens), yang dalam doktrin hukum pidana ditafsirkan “sebagai dalam keadaan sadar”. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri di persidangan didapati fakta bahwa dalam perkara ini yang diajukan di persidangan adalah terdakwa MOHAMMAD DENI KURNIA RIADI dan bukan orang lain sesuai dengan identitas yang diuraikan dalam surat dakwaan, dimana terdakwa telah membenarkan identitasnya seperti yang tersebut di dalam surat dakwaan, dan berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa benar identitas terdakwa yang didakwa melakukan perbuatan pidana adalah MOHAMMAD DENI KURNIA RIADI sehingga terdakwa adalah orang sebagai subyek hukum yang didakwa melakukan perbuatan pidana. Pada saat melakukan perbuatannya tersebut, terdakwa berada dalam keadaan sadar, tidak berada dalam pengaruh dan tekanan dari pihak manapun juga, oleh karenanya terhadap diri terdakwa haruslah dianggap mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) atas perbuatannya tersebut. Dari uraian pertimbangan tersebut, terdakwa telah nyata sebagai pelaku dari tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan dan bukan orang lain, sehingga menurut Majelis Hakim unsur “setiap orang atau barangsiapa“ di dalam dakwaan ini telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses computer dan / atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik. Hakim mempertimbangkan bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa dan juga keterangan Ahli : AULIA BAHAR PERNAMA, S.Kom,M.ISM, dan mendengarkan keterangan terdakwa, bahwa terdakwa membeli data Kartu Kredit tersebut di akun facebook dengan nama Nanda Novriansyah. Dalam pembelian tersebut terdakwa menggunakan akun dengan username densc0der.151 dengan password Jancok123!!. Terdakwa menjelaskan kegunaan data kartu kredit tersebut dipergunakan untuk melakukan pembayaran pembelian Voucher Hotel yang terdakwa lakukan melalui website www.studentagecy.cz sesuai dengan identitas data kartu kredit yang sudah terdakwa beli, dalam transaksi pembelian voucher hotel terdakwa login ke website yang dituju kemudian memesan voucher hotel sesuai dengan identitas yang diminta oleh pelanggan terdakwa, kemudian pembayaran dari transaksi tersebut terdakwa menggunakan kartu kredit (CC) dengan pemilik United States (US). terdakwa membeli data kartu kredit (CC) yang kemudian digunakan untuk membeli voucher setiap voucher hotel adalah 50 % dari harga yang sebenarnya yang ditawarkan seperti apabila harga tiket Rp.1.000.000,- terdakwa menjualnya hanya Rp.500.000,- dan hasil penjualan barang-barang tersebut terdakwa memperoleh keuntungan yang terdakwa gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas, terdakwa telah nyata mengakses komputer dan / atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik, maka menurut Majelis Hakim unsur “dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan / atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik” di dalam dakwaan ini telah terpenuhi.
Unsur dalam Pasal 30 ayat (3) UU ITE yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 86/Pid.sus/2018/PN.Lmg. Pertama, unsur Setiap orang. Hakim mempertimbangkan bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah setiap orang sebagai subyek hukum yang dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam pemeriksaan perkara ini, baik keterangan saksi-saksi maupun Terdakwa, Terdakwa mengaku bernama TRISNA HANDYARTO alias MR.Bl4ckr053, dengan identitas sebagaimana yang dicantumkan dalam surat dakwaan sehingga dengan demikian tidak terjadi salah orang (“error in persona”). Bahwa selama pemeriksaan dipersidangan, Terdakwa dapat menjawab secara jelas, lengkap, terang, dan terperinci tentang segala sesuatu yang ditanyakan kepadanya, oleh karena itu Terdakwa adalah subyek hukum yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dengan demikian unsur pertama telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik serta Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik pemerintah dan atau yang digunakan untuk layanan public. Hakim mempertimbangkan bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa Terdakwa telah dengan sengaja melakukan perbuatannya karena menghendaki mengakses situs web/website http://bareskrim.sipp.polri.go.id mendapat link url : http://bareskrim.sipp.polri.go.id/_sisbinkar_/backup/wso.php, dengan harga Rp.20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) dari Herman. Bahwa situs web http://bareskrim.sipp.polri.go.id merupakan situs web milik Bareskrim Polri yang berisi aplikasi yang menghimpun data-data personel seluruh anggota Polri dan PNS Polri yang berada di satuan Kerja Bareskrim Polri, sehingga situs web tersebut adalah milik pemerintah dan berisi dokumen elektronik dan yang berhak masuk ke dalam situs web tersebut sebatas Anggota Bareskrim Polri. Berdasarkan fakta hukum bahwa Terdakwa bukan merupakan anggota Polri, sehingga Terdakwa tidak ada hak untuk masuk ke dalam situs web http://bareskrim.sipp.polri.go.id dan Terdakwa masuk ke dalam situs web tersebut dengan cara melawan hukum yaitu melakukannya tanpa ijin dari Bareskrim Polri sebagai pemilik situ web tersebut dan Terdakwa melakukannya dengan sebutan cara “back dor” atau pintu belakang. Berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut Majelis Hakim menyimpulkan bahwa unsur ini telah terpenuhi.
Unsur dalam Pasal 35 UU ITE yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 268/Pid.Sus/2012/PN.Skh. yaitu: Pertama, unsur Barang siapa. Menurut Hakim, yang dimaksud dengan unsur “ barang siapa “ adalah setiap orang sebagai subyek hukum yang merupakan pelaku dari tindak pidana tersebut, di mana maksud dari barangsiapa di sini adalah agar tidak adanya kesalahan orang atau error in persona antara dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan diri Terdakwa yang dihadirkan di persidangan dan orang tersebut mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut secara hukum. Bahwa identitas diri Terdakwa dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah ANDRIYANI, S, SI Bin SUMARI mana identitas tersebut adalah benar adanya sebagaimana keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa sendiri dan Terdakwalah yang memiliki identitas tersebut dan Terdakwa adalah orang yang telah dewasa yang sehat jasmani dan rohaninya, tidak dalam keadaan terganggu ingatannya serta mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan di depan persidangan, dengan demikian unsur barangsiapa dimaksud adalah diri Terdakwa, sehingga unsur ini telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum. Hakim mempertimbangkan fakta hukum yang terungkap di persidangan melalui keterangan saksi-saksi. Maka Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan manipulasi dan perubahan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi dan/atau dokumen elektronik dianggap seolah-olah data yang otentik. Akibat perbuatan terdakwa, calon mahasiswa yang ia gantikan mendapatkan hak untuk masuk sebagai mahasiswa UMS. Hak tersebut adalah hak yang tidak sah karena diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur. Berdasarkan uraian tersebut, maka dengan demikian unsur “dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum “ telah terpenuhi.
Ketiga, unsur melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik. Hakim mempertimbangkan bahwa dari keterangan saksi-saksi, bukti surat, ahli, keterangan terdakwa, dan dikaitkan dengan barang bukti yang satu sama lain saling bersesuaian terdapat fakta – fakta hukum bahwa merupakan perbuatan manipulasi dan perubahan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi dan/atau dokumen elektronik dianggap seolah-olah data yang otentik. Akibat perbuatan terdakwa, calon mahasiswa yang ia gantikan mendapatkan hak untuk masuk sebagai mahasiswa UMS. Hak tersebut adalah hak yang tidak sah karena diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur. Dengan demikian unsur ini pun telah terpenuhi.
Keempat, unsur dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tersebut seolah-olah data yang otentik. Hakim mempertimbangkan bahwa perbuatan manipulasi dan perubahan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi dan/atau dokumen elektronik dianggap seolah-olah data yang otentik. Akibat perbuatan terdakwa, calon mahasiswa yang ia gantikan mendapatkan hak untuk masuk sebagai mahasiswa UMS. Hak tersebut adalah hak yang tidak sah karena diperoleh dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur bahwa dengan demikian unsur ini pun telah terpenuhi.
Berdasarkan pada uraian mengenai unsur-unsur dalam pasal yang diterapkan hakim dalam memutus perkara tersebut maka, penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim melalui Putusan No.132/Pid B/2012/PN.PWK, Putusan No.268/Pid.Sus/2012/PN.Skh, Putusan No.253/Pid B/2013/PN Jmr, Putusan No.86/Pid.sus/2018/PN.Lmg, Putusan No.6/ Pid.Sus/2019/PN Mlg memberikan pemahaman bahwa terhadap norma yang abstrak, samar atau bahkan tidak jelas sehingga terjadi multi intepretasi dapat diselesaikan dengan cara penemuan hukum agar supaya dapat memecahkan masalah tersebut. Ilmu penemuan hukum menurut teori Keadilan Bermartabat menjelaskan selengkap-lengkapnya dan sejeles-jelasnya mengenai unsur yang termuat dalam pasal yang diajukan oleh JPU terhadap Terdakwa. Hakim kemudian mengelaborasi antara fakta yang terungkap terkait duduk perkara dalam putusan dengan memperhadapkan secara diemetral dengan unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. Ketika ditelaah oleh Hakim secara holistik, maka dengan hak dan kewajiban untuk mengadili suatu perkara diajukan kepadanya memberikan putusan yang adil berdasarkan pada Pancasila, sehingga tidak merugikan salah satu pihak.
Putusan-putusan hakim mengenai akses ilegal sebagimana telah diuraikan di atas menunjukan bahwa melalui penemuan hukum, hakim dapat menyelesaikan keempat persoalan hukum tersebut. Dalam kaitanya dengan pengaturan akses ilegal di Indonesia, kesepuluh putusan tersebut juga membuktikan bahwa tidak terdapat kekosongan oleh karena hakim dalam memutus perkara tersebut mengacu pada UU ITE sebagai landasan yurisdis, sekaligus juga mebuktikan bahwa tidak terdapat pertentangan ataupun konflik hukum yang mengatur mengenai ilegal akses di Indonesia.
Pertama, isu mengenai kekosongan peraturan perundang-undangan atau wet vakum. Secara teoritis, konsep kekosongan peraturan perundang-undangan, berarti bahwa tidak ada pengaturan mengenai ilegal akses, atau dengan kalimat lain tidak mengatur mengenai perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya. Pernyataan ini senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh Titon Slamet Kurnia bahwa: “Masalah kekosongan bersumber dari kodrat manusia yang merumuskan peraturan (legislator maupun regulator). Pandangan bahwa sistem peraturan bersifat lengkap dan mampu menjawab pertanyaan secara substansif adalah bertentangan dengan kodrat manusia.”
Titon kemudian mengkaitkan pandangannya tersebut dengan Scholten yang secara tersirat mengatakan bahwa: “Undang-undang tidak selalu jelas: tidak mungkin undang-undang memberikan penyelesaian bagi 1001 persoalan yang diajukan kepadanya dengan semudah itu. Adalah suatu impian yang selalu didambakan oleh pembentuk undang-undang bahwa ia telah mengatur dengan tuntas perkara yang diajukan kepadanya.”
Kekosongan norma hukum positif terjadi oleh adanya ketidak seimbangan antara kebutuhan praktek dengan ketersediaan hukum positif. Ketika diperhadapkan dengan persoalan yang demikian, maka teori Keadilan Bermartabat hadir untuk mengisi kekosongan tersebut melalui putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang merupakan manifestasi atau bentuk konkret dari jiwa bangsa (volkgeist). Sebagai jiwa bangsa sekaligus hukum tertinggi, maka Pancasila dapat menyelesaikan setiap persoalan hukum, kendatipun belum diatur atau recht vakum tetapi tetap setiap subyek hukum harus tunduk dan mengacu pada Pancasila.
Dalam hal terjadi kekosongan hukum, maka hakim harus melakukan penemuan hukum. Dari penemuan hukum ini maka melahirkan putusan hakim yang menjadi yurisprudensi, sekaligus memiliki dua fungsi, di samping menyelesaikan peristiwa hukum konkrit dalam masyarakat, juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hukum mayarakat, serta merupakan petunjuk sejauh mana hukum telah berkembang. Sebagaimana kita ketahui bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, independent dan bebas dalam intervensi manapun, merdeka dapat diartikan bahwa hakim diberikan kewenangan yang sangat luas oleh undang-undnag untuk menjalankan peradilan dan mengadilinya termasuk jika diperlukan melakukan inovasi dengan cara penemuan dan pembentukan hukum baru dengan tetap menegakan serta menerapkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila.
Sistem hukum berdasarkan Pancasila sebagai suatu filsafat hukum, sistem hukum positif Indonesia, juga dilihat sebagai suatu kesatuan yang hakiki dan terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalamnya setiap masalah atau persoalan harus dapat menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Sistem hukum berdasarkan Pancasila dapat menyelesaikan persoalan kekosongan hukum karena melihat dari norma hukum tertinggi in qasu Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh. Sila-sila dalam Pancasila sebagai suatu sistem yang dapat menjawab isu kekosongan suatu peraturan perundang-undangan yang tidak atau belum diatur.
Terkait dengan akses ilegal, dapat diketahui bahwa telah diatur di dalam UU ITE. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui kesepuluh putusan sebagaimana penulis telah uraikan, yaitu Putusan Nomor 132/Pid.B/2012/PN.PWK. Dalam putusan ini, Majelis Hakim menerapkan dakwaan ketiga yaitu Pasal 30 ayat (1) jo. Pasal 36 jo. Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan tersebut telah terpenuhi. Hakim melihat bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah penjebolan Server Telkomsel dengan menyusup ke dalam sistem jaringan komputer secara tidak sah tanpa sepengetahuan pemilik sistem jaringan komputer, sehingga telah memenuhi ketentuan tersebut.
Putusan Nomor 268/Pid.Sus/2012/PN.Skh. Dalam putusan ini, Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 51 ayat 1 jo. Pasal 35 Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan tersebut telah terpenuhi. Hakim menjustifikasi bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pemalsuan data pada dokumen-dokumen penting yang terdapat di internet yang dimiliki oleh lembaga Perguruan Tinggi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Putusan Nomor 253/Pid.B/2013/PN.Jmr. Dalam putusan ini Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Kedua yaitu Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsur-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim mejustifikasi bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah penjebolan atau penerobosan Server techscape.co.id dengan menyusup ke dalam sistem jaringan computer secara tidak sah tanpa sepengetahuan pemilik sistem jaringan computer tersebut.
Putusan Nomor 86/Pid.sus/2018/PN.Lmg. Dalam Putusan ini Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Pertama yaitu Pasal 46 ayat (3) jo Pasal 30 ayat (3) jo Pasal 52 ayat (2) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsure-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pembajakan situs web milik Pemerintah in qasu POLRI.
Putusan Nomor 6/Pid.Sus/2019/PN.Mlg. Dalam putusan ini, Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Kesatu: Pasal 46 ayat (2) jo Pasal 30 ayat (2) UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo UU RI No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsure-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pengunaan nomor kartu kredit milik orang lain dalam transaksi perdagangan di internet.
Putusan Nomor 294/Pid.Sus/2019/PN.Dps. Dalam Putusan ini Majelis Hakim menerapkan Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsur-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pembajakan data nasabah atau akun milik orang lain.
Putusan Nomor 604/Pid.Sus/2019/PN.Dps. Dalam putusan ini Majelis Hakim menerapkan Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsur-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pembajakan data nasabah atau akun milik orang lain.
Putusan Nomor 650/Pid.Sus/2019/PN Jmr. Dalam putusan ini Mejelis Hakim menerapkan Dakwaan tunggal, yaitu Pasal 30 Ayat (2) jo Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsure-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah penggunaan nomor kartu kredit milik orang lain dalam transaksi perdagangan di internet secara tidak sah.
Putusan Nomor 322/Pid.B/2019/PN Sby. Dalam putusan ini Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Ketiga yaitu Pasal 30 ayat (1) Jo. Pasal 46 ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsure-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pembajakan data nasabah atau akun milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.
Putusan Nomor 497/Pid.Sus/2020/PN.Plg. Dalam pututsan ini Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Pertama: Pasal 30 ayat (2) jo pasal 46 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah penggunaan nomor kartu kredit milik orang lain dalam transaksi perdagangan di internet secara tidak sah.
Penerapan pasal oleh hakim dalam memutus kesepuluh perkara akses ilegal di atas membuktikan bahwa tidak terdapat kekosongan ataupun tidak adanya pengaturan mengenai akses ilegal di Indonesia. Hakim dalam memutus perkara akses ilegal yaitu mengacu pada UU ITE sebagai landasan hukum. Uraian di atas juga sekaligus membuktikan bahwa tidak terdapat pententangan atau konflik pengaturan mengenai akses ilegal baik secara horizontal maupun secara vertikal. Oleh karena hakim dalam memutus perkara tersebut menguraikan secara cermat dengan memperhadapkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan sehingga melahirkan kesimpulan bahwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan seseorang telah melakukan tidak pidana akses ilegal tanpa mengurangi atau mempertentangkan ketentuan mana yang harus diterapkan karena ada pengaturan yang konflik atau terjadi kontradiksi.
Secara praktis, isu mengenai konflik atau pertentangan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu permasalahan yang terjadi dalam penerapan norma hukum positif. Pertentangan norma secara vertikal disebut dengan istilah disharmonisasi peraturan perundangan. Sedangkan pertentangan secara sederajat atau horizontal disebut dengan istilah disinkronisasi peraturan perundang-undangan. Terkait dengan konflik norma hukum, Gert Frederick Malt, menyatakan, bahwa: ”teken leteraly (prima facie) there are millions of conflict between norm, i.e. between single provision, in positive law. But most of these conflict are never comprehended as such” (terdapat berjuta-juta konflik antara norma-norma, misalnya provisi-provisi (ketentuan-ketentuan) tunggal dalam hukum positif). Sesungguhnya kasus demikian sudah merupakan fenomena yang lazim ditemukan dalam setiap penerapan hukum dimanapun.
Hal di atas menunjukan bahwa hanyalah hakim yang dapat menyelesaikan masalah pertentangan hukum in qasu tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan perbelaan Terdakwa yang dilakukan oleh kuasa hukumnya. Dasar putusan Hakim tersebut adalah dengan melakukan penemuan hukum. Hakim memperhadapkan kedua argumen yakni JPU dengan Penasehat Hukum dan kemudian memberikan putusan berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan melihat unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh JPU dan yang dibantah oleh Penasehat Hukum Terdakwa.
Teori keadilan bermartabat memandang bahwa dalam sistem tidak dikehendaki adanya konflik atau pertentangan antar unsur-unsur yang ada di dalam sistem tersebut. Teori keadilan bermartabat sebagai suatu sistem juga menganut pandangan bahwa manakala suatu konflik tidak terelakkan di dalam sistem itu, maka konflik atau ketidaksesuaian, pertentangan maupun kesalingtumpangtindihan antar unsur-unsur dalam sistem itu segera dapat diselesaikan oleh sistem itu sendiri. Teori Keadilan Bermartabat menjauhkan sedini mungkin konflik dalam hukum (conflict within the Law).
Ketiga, norma yang sudah dianggap ketinggalan jaman, dalam arti sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Norma-norma yang demikian dapat saja dikesampingkan atau disimpangi atau dilakukan rekonstruksi disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum yang berkembang.
Penulis berargumen bahwa norma hukum yang ketinggalan jaman atau usang jika tidak diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara. Secara a contrario norma hukum tidak akan dianggap ketinggalan jaman apabila dapat diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Pasal-pasal mengenai akses ilegal dihidupkan oleh hakim dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat di mana suatu perbuatan terjadi. Kesepuluh putusan sebagai telah diuraikan di atas (sub-bab hasil penelitian), menggambarkan bahwa isu ketinggalan jaman dan usang telah terjawab karena hakim dalam memutus perkara tersebut, telah menerapkan pasal mengenai akses ilegal.
Keempat, isu tentang norma yang tidak/kurang jelas yaitu multi intepretasi. Jazim Hamidi berpendpat bahwa:
penemuan hukum selalu berkonotasi hukum sudah ada, jadi hakim atau petugas hukum lainnya hanya menerapkan dalam peristiwa konkrit; Sedangkan Penciptaan hukum, berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai penyempurnaan dan/atau pengganti hukum yang sudah ada.
Interpretasi berkaitan dengan perihal memberikan artikulasi makna dari sebuah norma samar. Interpretasi bersifat subjektif, pengambil keputusan dalam memberikan interpretasi dapat saja menyimpang dari tujuan pembentuk undang-undang. Sebab penggunaan norma samar membuka peluang bagi lahirnya diskresi (kebebasan bertindak), baik yang bersifat kebebasan kebijaksanaan (beleids vrijheids), maupun kebebasan penilaian (beoordeling vrijheids). Kedua jenis kebebasan ini sama-sama berpeluang untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, dalam penggunaan interpretasi pengemban kewenangan harus mampu membebaskan diri dari segala pengaruh buruk yang berujung pada penyalahgunaan kewenangan (abuse de dro’it atau abuse to pwer) yang dapat merugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H