Mohon tunggu...
Javier Notatema Gulo
Javier Notatema Gulo Mohon Tunggu... Konsultan - hidup harus menyala

master student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tindak Pidana Akses Ilegal dalam Perspektif Keadilan Bermartabat Berdasarkan 10 Kasus

23 Mei 2021   18:05 Diperbarui: 23 Mei 2021   18:18 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putusan Nomor 650/Pid.Sus/2019/PN Jmr. Dalam putusan ini Mejelis Hakim menerapkan Dakwaan tunggal, yaitu Pasal 30 Ayat (2) jo Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsure-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah penggunaan nomor kartu kredit milik orang lain dalam transaksi perdagangan di internet secara tidak sah.

Putusan Nomor 322/Pid.B/2019/PN Sby. Dalam putusan ini Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Ketiga yaitu Pasal 30 ayat (1) Jo. Pasal 46 ayat (1) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh karena unsure-unsur dalam pasal tersebut telah terpenuhi. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah pembajakan data nasabah atau akun milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.

Putusan Nomor 497/Pid.Sus/2020/PN.Plg. Dalam pututsan ini Majelis Hakim menerapkan Dakwaan Pertama: Pasal 30 ayat (2) jo pasal 46 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana. Majelis Hakim menilai bahwa yang dimaksud dengan akses ilegal dalam sistem hukum Indonesia adalah penggunaan nomor kartu kredit milik orang lain dalam transaksi perdagangan di internet secara tidak sah.

Penerapan pasal oleh hakim dalam memutus kesepuluh perkara akses ilegal di atas membuktikan bahwa tidak terdapat kekosongan ataupun tidak adanya pengaturan mengenai akses ilegal di Indonesia. Hakim dalam memutus perkara akses ilegal yaitu mengacu pada UU ITE sebagai landasan hukum. Uraian di atas juga sekaligus membuktikan bahwa tidak terdapat pententangan atau konflik pengaturan mengenai akses ilegal baik secara horizontal maupun secara vertikal. Oleh karena hakim dalam memutus perkara tersebut menguraikan secara cermat dengan memperhadapkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan sehingga melahirkan kesimpulan bahwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan seseorang telah melakukan tidak pidana akses ilegal tanpa mengurangi atau mempertentangkan ketentuan mana yang harus diterapkan karena ada pengaturan yang konflik atau terjadi kontradiksi.

Secara praktis, isu mengenai konflik atau pertentangan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu permasalahan yang terjadi dalam penerapan norma hukum positif. Pertentangan norma secara vertikal disebut dengan istilah disharmonisasi peraturan perundangan. Sedangkan pertentangan secara sederajat atau horizontal disebut dengan istilah disinkronisasi peraturan perundang-undangan. Terkait dengan konflik norma hukum, Gert Frederick Malt, menyatakan, bahwa: ”teken leteraly (prima facie) there are millions of conflict between norm, i.e. between single provision, in positive law. But most of these conflict are never comprehended as such” (terdapat berjuta-juta konflik antara norma-norma, misalnya provisi-provisi (ketentuan-ketentuan) tunggal dalam hukum positif). Sesungguhnya kasus demikian sudah merupakan fenomena yang lazim ditemukan dalam setiap penerapan hukum dimanapun.

Hal di atas menunjukan bahwa hanyalah hakim yang dapat menyelesaikan masalah pertentangan hukum in qasu tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan perbelaan Terdakwa yang dilakukan oleh kuasa hukumnya. Dasar putusan Hakim tersebut adalah dengan melakukan penemuan hukum. Hakim memperhadapkan kedua argumen yakni JPU dengan Penasehat Hukum dan kemudian memberikan putusan berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan melihat unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh JPU dan yang dibantah oleh Penasehat Hukum Terdakwa.

 Teori keadilan bermartabat memandang bahwa dalam sistem tidak dikehendaki adanya konflik atau pertentangan antar unsur-unsur yang ada di dalam sistem tersebut. Teori keadilan bermartabat sebagai suatu sistem juga menganut pandangan bahwa manakala suatu konflik tidak terelakkan di dalam sistem itu, maka konflik atau ketidaksesuaian, pertentangan maupun kesalingtumpangtindihan antar unsur-unsur dalam sistem itu segera dapat diselesaikan oleh sistem itu sendiri. Teori Keadilan Bermartabat menjauhkan sedini mungkin konflik dalam hukum (conflict within the Law).

Ketiga, norma yang sudah dianggap ketinggalan jaman, dalam arti sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Norma-norma yang demikian dapat saja dikesampingkan atau disimpangi atau dilakukan rekonstruksi disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum yang berkembang.

Penulis berargumen bahwa norma hukum yang ketinggalan jaman atau usang jika tidak diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara. Secara a contrario norma hukum tidak akan dianggap ketinggalan jaman apabila dapat diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Pasal-pasal mengenai akses ilegal dihidupkan oleh hakim dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat di mana suatu perbuatan terjadi. Kesepuluh putusan sebagai telah diuraikan di atas (sub-bab hasil penelitian), menggambarkan bahwa isu ketinggalan jaman dan usang telah terjawab karena hakim dalam memutus perkara tersebut, telah menerapkan pasal mengenai akses ilegal.

Keempat, isu tentang norma yang tidak/kurang jelas yaitu multi intepretasi. Jazim Hamidi berpendpat bahwa:

penemuan hukum selalu berkonotasi hukum sudah ada, jadi hakim atau petugas hukum lainnya hanya menerapkan dalam peristiwa konkrit; Sedangkan Penciptaan hukum, berkonotasi hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai penyempurnaan dan/atau pengganti hukum yang sudah ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun