penulis hendak menjawab isu hukum yang ada dalam penelitian ini. Sebagaimana telah di-breakdown sebelumnya bahwa terdapat empat isu penting dalam ilmu hukum yang tidak pernah selesai dan akan selalu ada. Adapun isu hukum tersebut adalah isu tentang kekosongan hukum, konflik hukum atau kontradiksi, ketinggalan jaman atau usang dan isu tentang multi intepretasi atau multi tafsir.
Keempat persoalan tersebut di atas tidak hanya terbatas pada bidang-bidang hukum tertentu, seperti misalnya hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum tata negara, akan tetapi pengaturan hukum mengenai sesuatu baik secara luas maupun yang lebih spesifik. Pengaturan yang spesifik dimaksud berkaitan dengan pengaturan mengenai akses ilegal siber sebagaimana diatur di dalam UU ITE. Sebab pada hakikatnya pengaturan tersebut tidak lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, penulis akan breakdown persoalan tersebut dengan menanyakan kepada teori Keadilan Bermartabat dan menganalisa persoalan yang ada karena kerangka kerja analisa teori Keadilan Bermartabat pada prinsipnya adalah analisis lapisan-lapisan ilmu hukum untuk menemukan hukum.
Sebagai suatu teori, hasil berpikir secara kefilsafatan, maka teori keadilan bermartabat juga mempunyai metode pendekatan dalam mempelajari dan menjelaskan atau menguraikan objek pengkajian teori tersebut. Berpikir secara kefilsafatan, termasuk berpikir dalam pengertian berteori Keadilan Bermartabat, adalah berpikir secara sistemik. Sistemik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dan sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan, suatu peranan tertentu. Sehubungan dengan teori keadilan bermartabat yang hanya mempelajari objeknya yaitu hukum dengan pendekatan sistem, maka perlu ditambahkan bahwa sistem merupakan satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berinteraksi satu sama lain.
Sub-sistem dari sistem yang dimaksud adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk mengidentifikasi sistem hukum karena putusan pengadilan sendiri notebene merupakan hasil dari formulasi kaidah hukum. Dalam memutuskan kasus hakim harus memberikan argumentasi hukum untuk menjustifikasi putusannya. Putusan pengadilan berfungsi untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika apa yang terjadi seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut terjadi.
Sebagai salah satu komponen dari sistem hukum, maka isu mengenai kekosongan, kontradiksi, ketinggalan jaman, dan multi intepretasi dapat diselesaikan oleh sistem hukum itu sendiri melalui pertimbangan hukum oleh hakim dalam memberikan penilaian atas suatu perkara yang dibawa kepadanya. Atas dasar itu, maka tesis yang hendak dipertahankan dalam penelitian ini adalah bahwa teori Keadilan Bermartabat berpandangan hukum yang mengatur mengenai akses ilegal di Indonesia tidaklah lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Namun demikian, teori ini juga memberikan pernyataan yang tegas atas isu ini bahwa penyelesaiannya dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam hukum yang tidak lain melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Untuk memahami secara mendalam mengenai benar bahwa teori Keadilan Bermatabat dapat menyelesaikan keempat isu hukum di atas, penulis hendak mengidentifikasi dan mengelompokan kesepuluh putusan tersebut dengan pasal yang diterapkan hakim. Putusan pengadilan yang menerapkan Pasal 30 ayat (1) UU ITE adalah Putusan No. 132/Pid.B/2012/PN.PWK, Putusan No. 253/Pid.B/2013/PN.Jmr, Putusan No. 294/Pid.Sus/2019/PN.Dps. Putusan No. 604/Pid.Sus/2019/PN.Dps, dan Putusan No. 2322/Pid.B/2019/PN Sby. Putusan Pengadilan yang menerapkan Pasal 30 ayat (2) adalah Putusan No. 6/Pid.Sus/2019/PN.Mlg, Putusan No. 650/Pid.Sus/2019/PN Jmr, dan Putusan No. 497/Pid.Sus/2020/PN.Plg. Putusan Pengadilan yang menerapkan Pasal 30 ayat (3) adalah Putusan No. 86/Pid.sus/2018/PN.Lmg. Sedangkan Putusan Pengadilan yang menerapkan Pasal Pasal 35 UU ITE adalah Putusan No. 268/Pid.Sus/2012/PN.Skh.
Bedasarkan pada pengelompokan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima kasus yang menerapkan Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Terdapat tiga kasus yang menerapkan Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Terdapat dua kasus yang menerapkan Pasal 30 ayat (3) UU ITE dan satu kasus yang menerapkan Pasal 35 UU ITE. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah mengenai akses ilegal di Indonesia. Berikut ini adalah unsur dalam Pasal 30 ayat (1) yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 132/Pid.B/2012/PN.PWK, yaitu:
Pertama, unsur setiap orang. bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah setiap orang yang tunduk dan dapat bertanggungjawab sebagai subyek hukum pidana di Indonesia, artinya orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum; Menimbang, bahwa dalam perkara ini yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah terdakwa LUKMAN Bin ABDUL KHODIR yang berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan saksi-saksi maupun pengakuan terdakwa dari identitas diri terdakwa menunjukkan bahwa orang yang diajukan itu tidaklah keliru sebagai orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum dan orang yang identitasnya sebagaimana yang terdapat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum; Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimbangan tersebut di atas maka Hakim menilai unsur ”setiap orang” telah terpenuhi.
Kedua, unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun. Fakta yang terungkap di persidangan ternyata benar terdakwa telah melakukan akses internet secara gratis dengan cara terdakwa mengetahui dari saksi AHMAD HANAFI Alias IFANQ berupa APN Campina dan mengganti APN standar ke APN Campina, sehingga terdakwa dapat melakukan akses internet gratis ke internet Telkomsel dengan menggunakan APN Campina tanpa ijin/illegal. Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis Hakim menilai unsur ”dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun” telah terpenuhi.
Ketiga, unsur yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang dalam undang-undang ini adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum, bahwa benar berdasarkan keterangan saksi-saksi didepan persidangan PT. Telkomsel, Tbk bergerak dalam bidang layanan jaringan dan jasa telekomunikasi, bentuk produk jasa adalah kartu halo, simpati dan As serta sebagai penyedia jasa internet service provider, secara real produk tersebut dijual dalam bentuk pulsa prabayar dan pulsa pasca bayar dan untuk jasa internet dijual sesuai pemakaian bandwith maka berdasarkan keterangan saksi AHMAD HANAFI dan pengakuan terdakwa telah menggunakan akses internet secara gratis dengan cara ilegal hal mana telah mengakibatkan kerugian bagi PT. Telkomsel, sedangkan keseluruhan kerugian yang dialami oleh pihak PT.Telkomsel sesuai hasil audit intenal didapat kerugian sebesar Rp.11,7 Miliar lebih dari hasil seluruh pencurian pulsa yang dilakukan secara tidak sah/melawan hukum atau tanpa ijin dari pihak PT.Telkomsel,Tbk dan perbuatan terdakwa juga merugikan kegiatan yang ada didalam jaringan komputer milik PT. Telkomsel, Tbk; Menimbang, bahwa dari uraian tersebut di atas, Hakim menilai unsur ”yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain” telah terpenuhi.
Unsur dalam Pasal 30 ayat (2) UU ITE yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No. 6/Pid.Sus/2019/PN.Mlg. Pertama, unsur Setiap Orang. Menurut Hakim yang dimaksud dengan “setiap orang” atau “barangsiapa” disini adalah untuk menentukan siapa pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum yang telah melakukan tindak pidana tersebut dan memiliki kemampuan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Subjek hukum yang memiliki kemampuan bertanggung jawab adalah didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwanya (geestelijke vermorgens), yang dalam doktrin hukum pidana ditafsirkan “sebagai dalam keadaan sadar”. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri di persidangan didapati fakta bahwa dalam perkara ini yang diajukan di persidangan adalah terdakwa MOHAMMAD DENI KURNIA RIADI dan bukan orang lain sesuai dengan identitas yang diuraikan dalam surat dakwaan, dimana terdakwa telah membenarkan identitasnya seperti yang tersebut di dalam surat dakwaan, dan berdasarkan keterangan saksi-saksi bahwa benar identitas terdakwa yang didakwa melakukan perbuatan pidana adalah MOHAMMAD DENI KURNIA RIADI sehingga terdakwa adalah orang sebagai subyek hukum yang didakwa melakukan perbuatan pidana. Pada saat melakukan perbuatannya tersebut, terdakwa berada dalam keadaan sadar, tidak berada dalam pengaruh dan tekanan dari pihak manapun juga, oleh karenanya terhadap diri terdakwa haruslah dianggap mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) atas perbuatannya tersebut. Dari uraian pertimbangan tersebut, terdakwa telah nyata sebagai pelaku dari tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan dan bukan orang lain, sehingga menurut Majelis Hakim unsur “setiap orang atau barangsiapa“ di dalam dakwaan ini telah terpenuhi.