Mohon tunggu...
Javier Notatema Gulo
Javier Notatema Gulo Mohon Tunggu... Konsultan - hidup harus menyala

master student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tindak Pidana Akses Ilegal dalam Perspektif Keadilan Bermartabat Berdasarkan 10 Kasus

23 Mei 2021   18:05 Diperbarui: 23 Mei 2021   18:18 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengaturan hukum tentang akses ilegal di Indonesia dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Pasal 1 angka 15 UU ITE, akses didefinisikan sebagai kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. Sedangkan kata ilegal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu tidak legal, tidak sah, tidak menurut hukum. Akses informasi secara ilegal merupakan bagian dari cybercrime. Dimasukkanya pengertian ilegal menurut KBBI menjadi pertanda bahwa ada ketidakjelasan konsep dalam peraturan perundang-undangan tentang akses ilegal.

Pemaknaan cybercrime dikemukakan oleh ahli hukum siber misalnya, Susan Brenner yang menyatakan bahwa: “crimes in which the computer is the target of the criminal activity, crimes in which the computer is a tool used to commit the crime, and crimes in which the use of the computer is an incidental aspect of the commission of the crime.”(Artinya: Berbagai kejahatan atau tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai sasaran dari perbuatan pidana, tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai alat untuk berbuat kejahatan dan tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai aspek insidental untuk melakukan kejahatan).

Cybercrime adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Menurut Kim Kwang Raymond Choo, kegiatan akses ilegal dalam cybercrime adalah kejahatan yang menjadikan sistem informasi dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran atau objek, misalnya: pencurian data pribadi, pembuatan dan penyebaran virus, pembobolan situs atau website.

Gambaran makna kejahatan tersebut memberikan gambaran bahwa penggunaan komputer berbasis jaringan internet memiliki klasifikasi tindak pidana yang berdiri sendiri secara khusus. Setiap kejahatan siber berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga ketika terjadi tindak pidana dan dibawa ke pengadilan, maka hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut harus memilah dan menguraikan unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum sehingga menghadirkan keadilan bagi korban dan juga terdakwa. Namun demikian, pada hakikatnya pengaturan mengenai akses ilegal yang diatur di dalam UU ITE selalu tidak lengkap maupun jelas. Hal ini merupakan permasalahan yang tidak pernah selesai dan selalu terus ada dalam ilmu hukum. Isu tidak lengkap dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat ditemukan melalui persoalan mengenai kekosongan, konflik hukum, ketinggalan jaman, dan multi intepretasi. 

Walaupun peraturan perundang-undangan suatu negara pada hakikatnya ditegakan dalam sebuah sistem yang artinya esensi dari sebuah sistem adalah untuk menunjuk satu kesatuan dari bagian-bagian. Akan tetapi, empat persoalan di atas selalu melekat bagaikan kutukan yang tidak bisa hilang. Meskipun sebagai sebuah sistem peraturan perundang-undangan harus dipersepsikan secara ideal sebagaimana nampak dalam pandangan di atas namun keterbatasan tak terelakkan.

Kenyataannya, hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara/keadaan yang timbul dalam dinamika masyarakat suatu negara. Hal itu dapat menyulitkan para penegak hukum untuk menyelesaikan hal tersebut. Dalam hal ini perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada perkembangan peraturan perundang-undangan menjadi masalah berkaitan dengan hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga memungkinkan terjadinya keadaan dimana aturan yang ada di suatu Negara dianggap tidak lengkap dan tidak menjamin kepastian hukum warganya yang berakibat adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) di masyarakat. 

Masalah kontradiksi atau pertentangan suatu peraturan perundang-undangan juga tidak dapat dihindarkan. Pertentangan dapat terjadi secara vertikal maupun secara horizontal. Pertentangan undang-undang dengan undang-undang dasar merupakan pertentangan secara vertikal, atau pertentangan secara horizontal seperti pertentangan antara satu jenis peraturan yang sama. Selain itu, masalah tentang ketinggalan jaman. Tidak ada satu peraturan pun yang dapat memenuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan masyarakat. Ketika hari ini suatu peraturan disahkan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, maka di hari berikutnya peraturan tersebut tidak lagi sesuai dengan perbuatan manusia yang terjadi setelah peraturan tersebut dibentuk. Terakhir adalah masalah terkait ketidakjelasan pasal dalam UU ITE yang menimbulkan multitafsir. Masyarakat mengenal dengan istilah “pasal karet”. Pasal karet adalah pasal yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya sehingga dapat menimbulkan tafsiran yang beragam (multitafsir). 

Untuk mengatasi semua persoalan tersebut, teori Keadilan Bermartabat hadir. Menurut teori Keadilan Bermartabat hanyalah hakim yang dapat menyelesaikan semua persoalan yang ada. Hakim dapat menyelesaikan persoalan kekosongan hukum, konflik hukum, ketinggalan jaman dan multi intepretasi. Hakim dapat membuat suatu norma baru ketika tidak diatur secara jelas dan lengkap. Hakim dapat memilah norma yang seharusnya diterapkan terhadap suatu kasus ketika terjadi kontradiksi. Hakim dapat menghidupkan kembali pasal-pasal yang termuat di dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan cara menerapkan terhadap kasus konkrit yang terjadi. Hakim dapat menyelesaikan persoalan terkait multi intepretasi atas suatu pasal dan menyelesaikan setiap persoalan yang dibawa ke dalam persidangan. Kesemuanya itu dapat dibuktikan melalui sepuluh (10) putusan pengadilan terkait perkara akses ilegal yang sudah diputus oleh Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Putusan No.132/Pid.B/2012/PN.PWK. dalam perkara ini, Pasal yang diterapkan Hakim dalam memutus adalah Pasal 30 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 36 UU ITE jo. Pasal 51 ayat (2) UU ITE. Kedua, Putusan No.268/Pid.Sus/2012/PN.Skh. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 51 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 35 UU ITE. Ketiga, Putusan No.253/Pid.B/2013/PN.Jmr. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Keempat, Putusan No.86/Pid.sus/2018/PN.Lmg. pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 52 ayat (2) UU ITE. Kelima, Putusan No.6/ Pid.Sus/2019/PN.Mlg. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Keenam, Putusan No.294/Pid.Sus/2019/PN.Dps. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim dalam memutus adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE.Ketujuh, Putusan No.604/Pid.Sus/2019/PN.Dps. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Kedelapan, Putusan No.650/Pid.Sus/2019/PN Jmr. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Kesembilan, Putusan No.2322/Pid.B/2019/PN Sby. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 46 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Kesepuluh, Putusan No.497/Pid.Sus/2020/PN.Plg. dalam perkara ini, pasal yang diterapkan hakim adalah Pasal 30 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 46 ayat (2) UU ITE jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. 

Putusan-putusan tersebut di atas mengidentifikasikan bahwa pada dasarnya hukum yang mengatur tentang akses ilegal di Indonesia tidaklah lengkap selengkap-selengkapnya dan jelas sejalas-jelasnya. Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan di atas, maka teori Keadilan Bermartabat dapat menjustifikasi suatu kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat yang terus selalu berkembang melalui penemuan hukum atau recht vinding yang termuat dalam ke-10 putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana diuraikan di atas dengan membuat keputusan yang adil bagi pihak-pihak yang berpekara.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Perspektif Teori Keadilan Bermartabat dalam Tindak Pidana Akses Ilegal Siber?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun