Mohon tunggu...
Javier Notatema Gulo
Javier Notatema Gulo Mohon Tunggu... Konsultan - hidup harus menyala

master student

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kepastian Hukum Tindak Pidana Korupsi Menjadi Hak Ekslusif KPK

19 September 2019   15:12 Diperbarui: 19 September 2019   17:49 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN 

Substansi hukum yang berkaitan dengan upaya pemberatasan tindak pidana korupsi yang pertama kali muncul sejak reformasi dan dimulainya masa transisi dari kehidupan politik yang otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis adalah di keluarkannya Tap MPR. No. IX/MPR/1998  tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan  Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Kemudian, dalam kurun waktu kurang dari setahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas Negara.[1]

Pasal 27 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pemerintahan Gus Dur telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan Pemerintah tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (5) yang menentukan penyidik berwenang pula untuk meminta keterangan mengenai keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka, membuka/memeriksa/menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalan, dan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya.

Perluasan kewenangan tersebut juga terlihat dalam Pasal 12 ayat (4) Peraturan Pemerintah tersebut yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan, dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Perintah Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3). Adanya perluasan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah tersebut menunjukan bahwa ada political will dari pemerintah untuk merespon realitas yang berkembang dalam masyarakat kaitannya dengan tindak pidana korupsi  sebagai kejahatan yang tergolong dalam extra ordinary crime.

Oleh karena itu apabila di lihat dari teori hukum responsive dari Nonet dan Selznik, maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk hukum yang bersifat responsif.

Kecurigaan adanya upaya menggagalkan semangat memberantas tindak pidana korupsi dengan upaya Judicial review terhadap PP Nomor 19 Tahun 2000 terilihat dari pendapat Jimly Asshiddiqie[3] Dalam pendapatnya lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan : Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP Nomor 19 Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh TGTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim tersebut memang tidak bersalah.

Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut norma hukum yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Yaitu sebatas kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dan tidak secara langsung berkaitan dengan materi PP No. 19 Tahun 2000.[4]

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka eksistensi pengadilan tipikor saat ini hanya efektif sampai di bentuknya Pengadilan Tipikor yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri yang lepas dari Undang undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh Mahkamah Konstitusi keputusan tersebut dikatakan sebagai  Smooth transition, sebab keputusan sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi keputusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan harusnya telah inkracht van gevijsde, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lebih lanjut dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang tersebut juga ditentukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun