Mohon tunggu...
Kertaning Tyas
Kertaning Tyas Mohon Tunggu... Human Resources - Pendiri Lingkar Sosial Indonesia

Panggil saja Ken. Penggerak inklusi di Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyikapi Polemik Komisi Nasional Disabilitas

5 Juli 2020   04:39 Diperbarui: 6 Juli 2020   21:29 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerahan salinan Perpres KND oleh Ketua Linksos, Kertaning Tyas (kanan) kepada Kepala Desa Bedali, Dewi Buyati, 1 Juli 2020 di Kantor Desa (dokpri)

Kontroversi mewarnai pengesahan Peraturan Presiden RI Nomor 68 Tahun 2020 Tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND). Ada yang menilai sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam upaya pemenuhan, pelindungan dan penghormatan hak-hak penyandang disabilitas, namun sebagian lainnya menilai sebagai sebuah kemunduran, lalu muncullah gerakan petisi yang mendesak Presiden merevisi Perpres tersebut.

Ada pula yang menyatakan adanya KND justru bertentangan dan menjadi sebuah ketidakkonsistenan gerakan inklusi. Saya sendiri memilih untuk melakukan sosialiasi KND kepada Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah dan lintas organisasi difabel. 

Menengok beberapa pendapat para tokoh soal KND yang dimuat di beberapa media. Dimulai dari Fajri Nursyamsi, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), jauh hari sebelum Perpres disahkan tepatnya pada Februari 2020, dalam tulisannya di Kolom Hukum Online yang berjudul Komisi Nasional Disabilitas untuk Siapa, di antaranya menyebutkan ada tiga poin kesalahan perspektif Pemerintah dalam penyusunan Perpres KND ini.

Pertama, menempatkan KND melekat secara keuangan kepada Kementerian Sosial, menempatkan sekretariat KND setara dengan esselon III, dan membagi kategori pengisian jabatan pimpinan KND antara disabilitas dan non disabilitas.

Pandangan lainnya dari anggota Komisi Nasional Perempuan, Bahrul Fuad dalam liputan Tempo (1/7) yang berjudul Paradigma Berbeda Tentang Keberadaan Komisi Nasional Disabilitas, justru menilai pembentukan Komisi Nasional Disabilitas justru bertentangan dan menjadi sebuah ketidakkonsistenan gerakan inklusi.

Dikatakannya, lembaga yang mengurus atau terkait dengan penegakan hak asasi manusia, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Anak, bisa jadi merasa tidak perlu mengurus isu disabilitas karena sudah ada Komisi Nasional Disabilitas itu. Dampaknya, lembaga-lembaga tersebut tidak akan belajar tentang isu disabilitas.

Sementara itu Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyampaikan beberapa hal yang menjadi critical points terhadap Perpres Nomor 68 tahun 2020, diantaranya soal independensi Komisi Nasional Disabilitas sebagai lembaga HAM.

Ia sampaikan dalam dalam webinar yang dilaksanakan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Selasa (30/06) bahwa menempatkan sekretariat pada Kementerian yang merupakan lembaga eksekutif negara, dikhawatirkan dapat mengurangi independensinya. 

Menurutnya, akan lebih ideal untuk menempatkan kesekretariatan Komisi Nasional Disabilitas pada lembaga HAM yang telah eksis dibandingkan menempatkannya pada lembaga eksekutif.

Mensikapi petisi lintas organisasi penyandang disabilitas kepada Presiden, bahwa yang pertama saya memberikan apresiasi sebagai bentuk dukungan menghidupkan semangat demokrasi dan mendorong pengakuan publik terhadap kesetaraan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara.

Selanjutnya adalah menyampaikan kekhawatiran, apakah dukungan warga masyarakat difabel terhadap petisi revisi Perpres didasari oleh pengetahuan? Selama ini proses advokasi kebijakan yang dilakukan oleh penggiat difabel di level pusat tidak dipahami oleh sebagian warga masyarakat di daerah. Sehingga terdapat potensi gejolak masyarakat difabel di level daerah menyikapi Perpres KND didasari pemahaman yang minim alias ikut-ikutan.

Dari kekhawatiran inilah yang melandasi saya untuk melakukan sosialisasi perpres KND kepada Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah dan lintas organisasi difabel. Caranya dengan menemui Kepala Desa setempat lokasi organisasi Lingkar Sosial, menyebarkan soft file ke kontak handphone para pejabat dinas-dinas serta grup-grup whatsapp komunitas difabel. 

Persoalan pelibatan dan partisipasi kerap kali relatif. Seperti termuat dalam petisi revisi Perpres KND, bahwa proses pembentukan Perpres KND dinilai tidak membuka partisipasi secara penuh bagi penyandang disabilitas. Sama halnya ketika kerap kali saya yang ada di daerah merasa hanya menonton saja apa advokasi yang dilakukan teman-teman di Jakarta. 

Nah, relativitas ini bisa juga menjadi kemungkinan bahwa berbagai kesempatan pertemuan kelompok difabel dengan lintas lembaga/kementrian selama ini, sudah dianggap Pemerintah sebagai proses pelibatan dan penyera[an aspirasi difabel. 

Demikian pun soal keberatan dilekatkannya KND pada Kementrian Sosial, yang kemudian dikatakankan lebih ideal untuk menempatkan kesekretariatan Komisi Nasional Disabilitas pada lembaga HAM yang telah eksis dibandingkan menempatkannya pada lembaga eksekutif. Namun bagi saya juga belum ada yang ideal, jika menengok masih banyaknya kasus-kasus diskriminasi HAM difabel di tingkat desa. 

Juga soal jatah anggota KND dari penyandang disabilitas sebanyak 4 dari total 7 orang, yang dinilai menutup peluang anggota KND seluruhnya berasal dari penyandang disabilitas.

Prinsip "nothing about us without us" yang memberikan makna bahwa para penyandang disabilitaslah yang paling memahami persoalan apa yang mereka hadapi, dan bagaimana cara menyelesaikannya, tidak berarti non disabilitas atau orang yang tidak mengalami disabilitas tidak memahami masalah disabilitas.

Mari lihat praktik di lapangan, utamanya di pedesaan dalam kondisi rendahnya SDM penyandang disabilitas, keberadaan aktivis yang notabenenya non difabel banyak menjadi aktor penggerak perubahan. 

Adanya non difabel dalam KND justru menguatkan perjuangan mencapai masyarakat inklusif. Yang perlu dilakukan adalah mengikis adanya kemungkinan  kekhawatiran KND akan didominasi non disabilitas sehingga menutup ruang partisipasi penyandang disabilitas. Difabel selain berkesempatan mengisi tampuk pimpinan KND juga lowongan di 4 kelompok kerja seperti telah diatur dalam Perpres. 

Sekali lagi saya mengapresiasi adanya petisi revisi Perpres KND ini, sebagai pemupuk semangat demokrasi dan menguatkan eksistensi kelompok difabel sebagai fungsi kontrol kebijakan Pemerintah. Sikap kita juga cukup komplit dalam mensikapi polemik ini.

Pe-er bersamanya adalah bagaimana menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai hal positif. Sebab memang bangsa ini tengah mengalami transformasi pemahaman dari sebelumnya penyandang disabilitas sebagai obyek rehabilitasi menjadi subyek yang setara sebagai warga negara. 

Maka yang penting dilakukan saat ini adalah memastikan proses rekrutmen calon anggota KND dilakukan secara transparan, profesional dan akutabel dengan mempertimbangkan masukan dari masyarakat terkait kelayakan calon. Hal ini selain menjadi poin tuntutan revisi juga termuat dalam Pasal 16 Perpres KND.

Komitmen dan dedikasi orang-orang yang bekerja dalam komisi tersebut nantinya sangat penting dalam mewujudkan cita-cita KND, termasuk melakukan reformasi internal yang nantinya diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun