Mohon tunggu...
Jatmika AjiSantika
Jatmika AjiSantika Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis

Serius banget orangnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Historiografi Islam Indonesia

13 Juli 2023   16:29 Diperbarui: 13 Juli 2023   17:53 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan historiografi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan historiografi Indonesia. Awal penulisan sejarah Islam di Indonesia dapat ditemukan melalui penelusuran historiografi tradisional dengan melihat hikayat dan sejarah Melayu yang berisikan mitos mengenai silsilah raja yang bersambung pada nabi, tokoh wayang purwa. Namun, sumber-sumber ini hanya menerangkan raja ataupun elit istana yang mulai berpindah keyakinan memeluk Islam tetapi sama sekali tidak memberikan informasi rinci mengenai proses konversi rakyat kebanyakan dalam memeluk Islam. 

Di masa penjajahan Bangsa Barat hingga periode kolonial akhir, penulisan sejarah banyak dilakukan oleh orang Eropa, sejarah Nusantara dilihat melalui sudut pandang mereka atau disebut Eropa Sentris. Sejarah Indonesia hanya dianggap sebagai kelanjutan dari sejarah kolonial Eropa, pandangan Eropasentris menempatkan masyarakat Nusantara di posisi rendah dan menggambarkan penduduk Nusantara sebagai masyarakat primitif yang perlu diberadabkan oleh orang-orang kulit putih, konsep yang disebut white men's burden. 

Karya yang menjadi puncak penulisan sejarah di masa kolonial adalah karya Stapel berjudul Geschiedenis van Naderlandsch Indie. Terlihat dalam buku itu bahwa Belanda merupakan bangsa yang unggul sedangkan pribumi sebaliknya, rendah, bodoh, tersisihkan, bangsa yang tidak dapat mengatur persoalannya sendiri. 

Penulisan sejarah Islam khususnya mengenai kedatangan dan proses Islamisasi di Nusantara, pada masa ini, banyak dilakukan oleh sejarawan Barat seperti Crawfurd dengan teori Arabnya, Schrieke teori perang salib atau rivalitas Islam-Kristennya, Snouck dengan teori Gujaratnya, Van Leur yang melihat masuknya Islam didorong oleh alasan politik dan juga adanya doktrin Islam yang mewajibkan setiap individu untuk menyebarkan agamanya sehingga tiap muslim merupakan seorang penyebar ajaran Islam. 

Di masa setelah kemerdekaan, penulisan sejarah muncul dengan tujuan untuk melihat sejarah dengan sudut pandang orang Indonesia sendiri atau Indonesiasentris. Narasi Indonesia sentris sangat kental dalam sejarah Indonesia, hingga Muhammad Yamin menekankan bahwasanya siapa saja yang berada di pihak Belanda saat perjuangan kemerdekaan tidak perlu untuk menulis sejarah Indonesia. Historiografi Islam Indonesia di masa ini berangkat dari keinginan untuk mengoreksi secara menyeluruh kekeliruan buku-buku yang ada sebelumnya, khususnya yang ditulis oleh para orientalis, salah satu tokoh yang muncul pada masa ini ialah Buya Hamka. Hamka mengkritik orientalis yang membuat teori bahwa Islam Nusantara bermuara di India dan bukan di Mekkah, sebuah upaya yang menurut Hamka mencoba untuk memutuskan hubungan rohani antara Nusantara dengan Arab sebagai Asal Islam Nusantara. 

Di masa selanjutnya, historiografi Indonesia kemudian berkembang. Sejarawan yang hidup di masa ini menyadari perlu kerangka berpikir baru dalam melihat sejarah, pendekatan global pada sejarah mulai digunakan. Selain pendekatan global, para sejarawan mulai menggunakan pendekatan ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai alat bantu untuk membaca peristiwa sejarah. Contoh historiografi Indonesia yang menggunakan pendekatan global atau multidimensi adalah karya Anthony Reid berjudul Asia Tenggara dalam kurun waktu niaga 1450-1680, dan Dennys Lombard Nusa Silang Budaya Jawa. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas berikutnya.

1. Historiografi Tradisional

Indonesia memiliki tradisi penulisan sejarah di masa klasik seperti babad, tambo, hikayat, silsilah, lontar dan lain-lain, penulisan sejarah masa ini disebut sebagai "historiografi tradisional". Historiografi tradisional masih mengandung unsur mitologi dan imajinasi, namun tetap dapat digunakan untuk memahami perkembangan masyarakat zamannya. Dalam konteks keislaman, terdapat dua hal yang terkandung dalam historiografi tradisional, pertama menjelaskan bagaimana Islam diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara. Kedua, proses konversi kepercayaan agama penduduk nusantara yang dimulai dengan pelafalan dua kalimat syahadat dikalangan para penguasa. Namun, historiografi tradisional tidak dapat menjelaskan mengenai proses konversi penduduk Nusantara pada umumnya hingga Islam muncul sebagai sebuah agama yang mapan di Nusantara. 

2. Historiografi Kolonial

Di masa kolonial, penulisan sejarah banyak dilakukan oleh para sejarawan Barat. Seperti diungkap sebelumnya, di masa kolonial bangsa kulit putih memandang bahwa mereka memiliki misi untuk memberadabkan bangsa jajahan yang dianggap masih primitif, dalam kasus ini Nusantara. Seperti diungkap oleh Henk Schuldt dalam jurnal De-colonising Indonesian Historiography :

"The culmination of Dutch colonial Historiography was Stapel's Geschiedenis van Nederlandsch-Indie (5 vols, 1938-1940). The first two volumes told the story of the old Java based Hindu and Muslim kingdoms kingdoms, but this perspective chaged abruptly when the Dutch arrived. From volume 3 onwards they became the main actors while the indigenous peoples were marginalized. The Dutch remained the main actor, representing enlightment, progress and and the ability to protect the interest of the 'natives' who were represented as being incapable of running their own affairs." 

"Puncak dari historiografi kolonial tercermin dalam karya-karya Stapel berjudul Geschiedenis van Nederlandsch-Indie (sebanyak 5 volume,1938-1940). Dua volume pertama buku itu menceritakan mengenai kerajaan Hindu dan Islam Jawa, namun perspektif ini berubah setelah kedatangan Belanda. Di tiga volume buku selanjutnya Belanda menjadi aktor utama dalam narasi sejarah sedangkan orang-orang pribumi dikesampingkan. Orang Belanda digambarkan sebagai tokoh utama, perlambang kecerdasan, maju dan mampu melindungi kepentingan pribumi yang digambarkan sebagai orang yang tidak dapat mengurus urusannya sendiri." Lebih lanjut lagi, Zoetmoelder menyebut sejarah Indonesia di masa kolonial sebagai berikut :

"Indonesia's history is first and foremost the history of European in Indonesia, and their contacts with the Indonesian people, viewed from a European view-point". 

"Sejarah Indonesia terutama berisi tentang orang Eropa di Indonesia dan kontak orang Eropa dengan bangsa Indonesia dilihat dari sudut pandang Eropa."

Orang Eropa menjadi aktor utama dalam panggung sejarah sedangkan masyarakat Nusantara seringkali diabaikan. Kesan penulisan sejarah yang Eropasentris atau Neerlando-sentris ini salah satunya  untuk indoktrinasi mitos superioritas bangsa Eropa atas Hindia Belanda. Selain itu, penulisan di masa kolonial juga bertujuan untuk menjadi panduan mengenai gambaran Hindia Belanda bagi para pegawai dari Eropa yang akan bertugas di negeri Nusantara.

Latar belakang seperti ini dan faktor-faktor perbedaan rasial, agama serta kepentingan kekuasaan kolonial sangat mempengaruhi cara pandang bangsa Barat terhadap Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Nusantara. Dalam mengkaji Nusantara, terdapat usaha bangsa Barat untuk mengkerdilkan peranan Islam di Nusantara. Hal itu dapat kita lihat dari tulisan para sarjana Barat di masa kolonial yang penuh dengan komentar negatif mengenai Islam. Hal ini dapat dilihat keterangan Van Leur sebagaimana berikut :

"Islam did not bring a single innovation of a higher level of development to Indonesia, socially or economically, either in state politi or in trade. These world religions were only a thin, easily flaking glaze on the massive body of indigenous civilization". 

"Van Leur mengungkapkan bahwa semenjak kedatangan Islam di Nusantara, Islam sedikitpun tidak memberikan perkembangan ke arah yang lebih maju pada Indonesia baik secara sosial, ekonomi, bahkan dalam membuat kebijakan politis maupun perdagangan, lebih lanjut lagi Van Leur mengatakan Islam hanya bagian kecil yang mudah tercabut dari timbunan kebudayaan lokal."

  Senada dengan itu, Windstedt menyatakan Islam di Nusantara merupakan perpaduan dengan ajaran Hindu. Marsden  percaya bahwa Islam adalah pengaruh asing yang menghilangkan kebudayaan asli Nusantara dan mencabut karakter asli bangsa Nusantara (Sumatra). Senada dengan itu, De Graaf maupun Brandes berpendapat bahwa kedatangan Islam menghambat perkembangan kultural masyarakat Nusantara (Jawa). Tokoh yang paling penting saat membicarakan mengenai "marjinalisasi Islam" adalah Snouck Hurgronje yang membedakan antara hukum adat dan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Muslim Aceh, ia menggagas bahwa hukum adat harus terpisah dari hukum Islam, hal ini berakibat pada tidak adanya ruang bagi hukum Islam di dalam masyarakat kecuali ia kompatibel dengan hukum adat, itu artinya tingkatan hukum Islam berada di bawah hukum adat. Snouck, lebih lanjut lagi, mengeluarkan pernyataan sinis yang menyebut bahwa Islam di Timur Jauh ialah pakaian compang-camping yang diantara sela-selanya "orang-orang Polinesia setengah Hindu" dapat dilihat dalam bentuk sejatinya yang kafir". Secara sederhana bisa diartikan bahwa Islam di Nusantara hanya tampil di permukaan, jika ditelisik lebih jauh maka akan tampak Islam di Nusantara bukan ajaran yang murni melainkan sinkretisme dengan ajaran Hindu yang kental. Tidak jarang para sejarawan Barat di masa kolonial menganggap Islam di Nusantara tidak seperti di Timur Tengah, Islam di Nusantara dianggap bukan Islam sesungguhnya karena secara substantif masih bercampur dengan ajaran mistik Hindu-Buddha sehingga seringkali disebut Islam marjinal, pinggiran (periphery).

Permasalahan lain menyangkut sejarawan di masa kolonial adalah penolakan mereka terhadap sumber-sumber internal Indonesia yang berkenaan dengan historiografi berupa hikayat, silsilah, babad, cerita, syair yang memuat keterangan melimpah mengenai perkembangan awal Islam di berbagai wilayah Nusantara. Sejarawan Barat seperti De Graaf berasumsi bahwa tradisi historiografi di Indonesia dan Malaya berkenaan dengan permulaan Islam di Nusantara tidak bisa terlalu diandalkan karena banyak keterangan bernuansa gaib yang tidak masuk akal mengenai proses Islamisasi yang terjadi di Nusantara. Menurutnya, sebagian besar historiografi Nusantara lebih banyak memuat mitos ketimbang sejarah. Sejarawan di masa kolonial lainnya yang memiliki tingkat apresiasi rendah terhadap historiografi lokal ialah R.A. Kern, ia mengatakan : 

"Whenever a particular fact is established on the basis of other sources, one may sometimes find in the Malay chronicles, buried under heaps of fantasy, some small trace of that particular historical event, but in such cases one can just dismiss the chronicle".  

"Sebuah fakta dapat ditemukan dalam sumber-sumber yang lain, salah satunya dalam Hikayat Melayu yang hanya berisikan fantasi atau khayalan yang layak diabaikan dalam penulisan sejarah. Dengan demikian, mereka berkesimpulan bahwa historiografi tradisional Nusantara sama sekali tidak memiliki nilai historisitas."

Dalam rangka untuk menuliskan ulang sejarah keislaman di Nusantara, para sejarawan Barat di masa kolonial beralih pada sumber-sumber luar mengenai Nusantara terutama para pendatang dari Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara. Terdapat beberapa masalah mengenai keterangan yang diberikan para pendatang dari Eropa. Pertama pelancong tersebut bukanlah para ahli melainkan pengembara, wartawan, misionaris. Kedua, mereka hanya singgah di Nusantara dalam jangka waktu pendek dan tempat yang mereka amati adalah wilayah perkotaan, sementara masyarakat pedesaan luput dari pengamatan sehingga mereka tidak menggambarkan kondisi Nusantara secara keseluruhan. Ketiga, keterangan yang diberikan oleh misionaris sangat tidak objektif dan bernada negatif terhadap agama yang dipeluk oleh masyarakat Nusantara, kepercayaan penduduk pribumi dianggap sesat, sementara para pemeluknya disebut bodoh dan laknat. Georg Rumphius seorang pedagang dan ahli botani mengolok-olok orang Islam di Nusantara sebagai "orang suci palsu" yang banyak menipu orang, dia mencela praktik keagamaan yang dijalankan penduduk Nusantara sebagai "sebuah perilaku durhaka kekafiran". Terdapat seorang pedagang lainnya yang terbilang senior berkomentar negatif terhadap Islam di Nusantara "orang-orang Moor betul-betul musuh bebuyutan kita yang terlihat ramah dari luar namun sebenarnya hatinya busuk". Van Linschoten dalam laporan berjudul itinerario memberikan pernyataan yang menghina kaum muslimin Indonesia sebagai takhayul dan meniru gerakan shalat kaum muslimin saat melakukan ibadah sebagai bentuk ejekan. Keempat, orang-orang yang dikirim ke Nusantara sebagai petugas kompeni adalah orang yang mendapat pendidikan teologi untuk mengkristenkan pribumi yang dianggap kafir dan membungkam "orang-orang Muhamedist" salah satu petugas kompeni itu ialah Pieter Both. Seorang teolog bernama Valentijn menyebut agama Islam sebagai agama ciptaan perpaduan berbagai unsur agama Saba dan Saracen masa awal, Ia juga menganggap remeh orang Arab yang berdakwah mengislamkan Maluku sebagai orang-orang yang bodoh dan tidak mengerti dasar-dasar agama yang mereka sebarkan. Kelima, terdapat juga beberapa tulisan orang-orang yang sama sekali tidak pernah ke Hindia namun menyatakan bahwa mereka mengetahui segala hal berkaitan dengan Hindia hingga seluk beluk penduduknya seperti P.J. Veth yang tidak pernah bepergian ke Timur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber-sumber luar juga tidak terlalu bisa diandalkan karena berasal dari berbagai kalangan yang bukan ahli serta terlalu banyak mispersepsi yang mengandung prasangka dan kebencian terhadap Islam ketimbang kebenaran yang diungkap.

Husein Djajadiningrat sejarawan di masa kolonial dari Indonesia mencoba untuk mengambil jalan tengah mengenai permasalahan sumber dalam menuliskan sejarah Islam di Nusantara. Seperti dituturkan olehnya dalam tulisannya berjudul Local Traditions and the Study of Indonesian History : 

"However, legends should not be dismissed out of hand as of no historical value, at the same time, the historical parts should be verified by western records such as Portuguese and, later, Dutch Reports. Western accounts should be compared and related with local traditions in order to get a historical picture."

"tradisi lokal tidak bisa dikesampingkan sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai historisitas, beberapa bagian yang mengandung nilai sejarah harus dipastikan kebenarannya dengan melihat sumber luar yang dicatat oleh orang Portugis, Belanda, maupun para penjelajah dari Arab" 

Husein Djajadiningrat berpendapat bahwa catatan yang dilaporkan Barat mengenai Indonesia haruslah dibandingkan dengan tradisi lokal untuk mendapatkan gambaran mengenai sejarah Nusantara.

Secara metodologi penulisan sejarah di masa kolonial masih terbilang konvensional. Sejarawan di masa kolonial berhasil menyusun banyak data namun cara pemaparan kisahnya masih terbilang naratif-deskriptif. Penulisan sejarah naratif-deskriptif hanya menyajikan peristiwa sejarah sebagai sebuah rentetan kejadian tanpa menunjukkan hubungan sebab-akibat antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Corak penulisan seperti ini juga tidak dapat memberi kejelasan mengenai faktor-faktor kondisional yang melatarbelakangi rangkaian peristiwa itu dapat terjadi. 

Dengan demikian dapat disimpulkan beberapa ciri serta permasalahan historiografi di masa kolonial. Pertama, aktor dalam penulisan sejarah sangat bercorak Eropa-sentris atau Neerlando-sentris sementara masyarakat Nusantara diabaikan. Kedua, komentar bernada negatif para sejarawan Barat di masa kolonial terhadap Islam. Ketiga, sejarawan Barat di masa kolonial kurang mengapresiasi sumber internal yang berasal dari historiografi tradisional Nusantara. Keempat, dilihat dari metodologi yang digunakan, penulisan sejarah di masa kolonial masih bercorak naratif-deskriptif dan belum menggunakan teori dalam pemaparan kisahnya. Namun dengan segala kekurangannya, sejarawan di masa kolonial perlu diapresiasi karena menyuguhkan data yang melimpah dalam mengkaji Islam. Tidak sedikit sejarawan di masa kolonial menguraikan mengenai kedatangan Islam di Nusantara, kita bisa sebut satu persatu Snouck Hurgronje, Crawfurd, Van Leur, Schrieke dan lainnya. 

3. Historiografi Pascakemerdekaan dan setelahnya

Setelah memperoleh kemerdekaan politik terjadi peralihan kekuasaan dari penjajah Eropa ke para pemimpin lokal. Hal ini berlaku pula pada penulisan sejarah di Indonesia, sejarah Indonesia menempatkan masyarakat Indonesia sebagai subjek dalam sejarah dan bukan lagi objek seperti di masa kolonial. Tradisi baru dalam penulisan sejarah ini disebut sebagai Indonesiasentris yang dapat disebut sebagai reaksi terhadap historiografi di masa kolonial. Penulisan sejarah sangat berorientasi untuk menguatkan kepribadian bangsa atau identitas bangsa sesuai dengan perkembangan di masa awal kemerdekaan. Lebih jauh lagi penelusuran terhadap seminar sejarah Nasional perlu dilakukan untuk mengetahui perkembangan penulisan sejarah Indonesia.

Pada tahun 1957 diselenggarakan Seminar Sejarah Nasional I. Adapun persoalan yang dibahas ialah mengenai filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Terdapat perdebatan antara Soedjatmoko dan Yamin mengenai fungsi sejarah. Soedjatmoko mengatakan bahwa penelusuran masa lalu Indonesia harus disesuaikan dengan kaidah ilmu pengetahuan sedangkan Muhammad Yamin beropini bahwa penelitian sejarah harus mengarah pada penguatan kesadaran nasional. Muhammad Ali mengatakan bahwa seminar sejarah pertama ini tidak memberikan kejelasan mengenai acuan penulisan sejarah Indonesia tetapi malah menambah perdebatan mengenai fungsi sejarah apakah untuk pembangunan karakter bangsa atau demi kepentingan kebenaran peristiwa masa lalu itu sendiri. Terlepas dari perselihan seperti ini, pada Seminar ini terjadi yang Kuntowijoyo sebut sebagai "nasionalisasi" atau "pribumisasi" historiografi Indonesia. 

Pada tahun 1970 diadakan seminar sejarah Nasional II di Yogyakarta. Pertemuan kali ini menghasilkan kesimpulan pertama persoalan Neerlando-sentris atau Indonesiasentris. Kedua, peristiwa masa lalu harus dijelaskan dengan perangkat ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejarah tidak semata-mata hanya bersifat deskriptif tetapi harus menggunakan pendekatan ilmu bantu sosial dan analitik. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi orang-orang yang menekuni ilmu sejarah.

Seminar Sejarah III diselenggarakan pada tahun 1981 di Jakarta. Seminar kali ini menjawab tantangan yang diberikan Seminar Sejarah Kedua yaitu sejarah harus menggunakan pendekatan ilmu sosial. Seminar ketiga kali ini memperlihatkan semakin sadarnya seorang sejarawan akan pentingnya teori dan metodologi dalam penulisan sejarah, sejarah juga menjadi ilmu yang menekankan transdisipliner dalam penyajian cerita sejarah. Seminar Sejarah IV diselenggarakan pada tahun 1985 di Yogyakarta dengan penekanan pentingnya Tema dalam penulisan sejarah. 

Kemudian, Seminar Sejarah V diadakan pada tahun 1990 di Jakarta. Seminar kali ini bertema pengajaran sejarah, ditujukan untuk meningkatkan kualitas ilmu sejarah dan membuat sejarah menjadi ilmu yang menarik ditengah menurunnya peminat pada ilmu sejarah di sekolah-sekolah. 

Di tahun 1996 Seminar Sejarah Nasional berubah nama menjadi Konferensi Nasional Sejarah. Konferensi ke VI ini diadakan di Jakarta dengan hasil akhir berupa ketetapan penyelenggaraan Konferensi Nasional setiap lima tahun sekali. Menurut Dr. Mukhlis Paeni, M.A. (Ketua Umum MSI 2006 -- 2016), konferensi dilaksanakan secara rutin dengan harapan akan muncul ide-ide yang berkembang dan mempertajam studi sejarah setiap lima tahun sekali. Kemudian pada Konferensi Nasional Sejarah VII tahun 2001 menghasilkan rekomendasi penulisan buku Indonesia dalam Arus Sejarah. Tahun 2006, Konferensi Nasional Sejarah VIII digelar di Jakarta dengan mengusulkan agar sejarah menjadi pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar dan menengah. 

Sejarah Islam di Indonesia merupakan bagian integral dari sejarah Indonesia. Hal yang menjadi pokok persoalan bagi sejarah Indonesia secara langsung mempengaruhi kajian sejarah Islam Indonesia. Permasalahan seperti metodologi, Eropasentris-Indonesiasentris, penggunaan sumber, subjektivitas dan objektivitas turut dipersoalkan dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia. 

Penyelenggaraan Seminar sejarah tentang masuknya Islam Indonesia pada tahun 1963 di Medan dilanjutkan dengan Seminar di Aceh pada tahun 1978 serta pengukuhan tentang teori dan metodologi mengenai Islam di Indonesia pada seminar tahun 1983. Salah satu buku yang dimiliki saat itu untuk menjelaskan Sejarah Islam di Indonesia adalah karya Buya Hamka Sejarah Umat Islam IV dan Sejarah Nasional Indonesia dengan Uka Tjandrasasmita sebagai editornya. Hamka sering menggunakan sumber dari tangan kedua atau sekunder dengan mengutip karya-karya sejarawan di masa kolonial, serta banyak merujuk pada kearifan lokal berupa tradisi lisan seperti hikayat, kronik istana pada penulisan karya sejarahnya. Penulisan sejarah Islam di Indonesia ini berangkat dari keinginan untuk mengoreksi total tulisan-tulisan yang dibuat oleh sejarawan Barat di masa kolonial yang menciptakan bias sejarah saat menggambarkan Islam di Nusantara. 

Namun, tidak dapat disangkal bahwa kenyataannya kajian mengenai sejarah di Indonesia baik itu bertemakan keIndonesiaan ataupun keIslaman lebih banyak dilakukan oleh para pakar yang berasal dari kalangan Barat. Terdapat beberapa perbedaan yang menonjol dari para sarjana Barat pascakolonial saat mengkaji keislaman di Indonesia dibandingkan dengan periode kolonial. Kali ini pengkajian tentang dunia timur tidak lagi dimotivasi oleh kepentingan kolonialisme apalagi setelah karya Edward Said berjudul Orientalism muncul dan mengkritik dunia Barat yang bertanggung jawab dalam membentuk persepsi yang  tidak tepat mengenai dunia timur, semenjak buku ini terbit para cendekiawan Barat yang mengkaji dunia timur, dalam konteks ini Islam, tidak ingin lagi disebut orientalis tetapi lebih senang disebut dengan Islamolog atau Islamic Studies. Orientalisme lama, meminjam istilah Mark Woodward, telah hilang dalam debu sejarah. 

Para sarjana Barat, kali ini mengkritik historiografi masa kolonial yang bertolak pada sumber-sumber asing dalam menuliskan sejarah Islam di Nusantara. Anthony Reid misalnya mengkritik keterangan mengenai Islam yang berasal dari sumber asing yaitu Marco Polo yang bernada tidak simpatik dan penuh permusuhan terhadap Islam "unsympathetic or hostile to the Islamization process". A.C. Milner mengatakan seandainya keterangan mengenai Islam terdapat dalam sumber luar, sudah pasti keterangan tersebut berisi informasi yang tidak akurat mengenai Islam. Sarjana Barat lainnya bernama Von der Mehden, berargumen bahwa miskonsepsi mengenai Islam oleh Barat dikarenakan rasa superioritas, perbedaan agama dan kepentingan kolonial, karenanya orang yang menulis sejarah dengan menggunakan sumber kolonial harus berhati-hati agar tidak terjebak pada prasangka barat di masa kolonial terhadap Islam.

Seiring dengan itu, terdapat tingkat apresiasi terhadap tradisi historiografi lokal Nusantara yang berbeda dengan para sarjana Barat di masa kolonial. Saat menuliskan sejarah Islam di Nusantara, para sarjana Barat menekankan pentingnya sumber internal untuk menjelaskan Islam di Nusantara. Anthony Johns menyatakan "untuk mengetahui islamisasi atau pola kehidupan Islam di kawasan ini secara keseluruhan, orang perlu beralih dari sumber-sumber luar kepada sumber internal berupa produk intelektual dan spiritual peradabannya". Ia mengapresiasi historiografi tradisional berupa sejarah melayu yang memiliki nilai kesusastraan yang tinggi dan memiliki reputasi bagus. Anthony Reid menggunakan sumber historiografi tradisional berupa hikayat, sejarah Melayu saat membahas mengenai konversi keagamaan dan perilaku masyarakat Nusantara saat itu. Namun, terdapat sarjana lainnya yang menganggap bahwa sumber internal berupa historiografi tradisional masih diragukan sehingga beralih pada keterangan yang berasal dari sumber luar, Ricklefs menyebut hikayat dan babad sebagai legenda berisi dongeng-dongeng kuno yang tidak dapat dipercaya. 

Para pengamat asing memberikan pandangan positif mengenai Islam di Indonesia berbeda dengan para sejarawan di masa Kolonial. Penilaian ini datang dari John Esposito, Brune Lawrence. Hal ini dikarenakan karakter Islam di kawasan ini berbeda dengan Islam di kawasan timur tengah yang agresif. Islam di Asia Tenggara memiliki ciri lebih damai, ramah, toleran. Jika sejarawan masa kolonial beranggapan mengenai Islam di Nusantara sebagai agama sintetik karena masih kentalnya ajaran Hindu-Buddha, cendekiawan masa kini memandang dengan berbeda, fakta bahwa kearifan lokal masih eksis menjadi bukti watak tolerannya Islam Nusantara karena sangat akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Para sarjana Barat masa ini berbeda dengan sarjana di masa kolonial yang menganggap bahwa Islam di Nusantara sebagai Islam yang tidak murni dan dianggap lebih lemah "weaker Islamic Faith" dibandingkan dengan Islam Timur Tengah, kali ini sarjana seperti  Anthony Johns menyatakan bahwa meskipun terletak di wilayah pinggiran dan jauh dari Arab sebagai pusat Islam, Islam di Nusantara merupakan bagian dari Islam sebagaimana di kawasan Islam lainnya melihat bagaimana keterlibatan para ulama Islam Asia Tenggara dalam mentransmisikan ajaran Islam pada penduduk di wilayah ini.   

Meskipun demikian, bukan berarti bias atau pendapat keliru mengenai Islam di Asia Tenggara khususnya Indonesia tidak ada. Setelah kemerdekaan, Azyumardi Azra berpendapat bahwa pengurangan Islam pada tataran konsep dilakukan oleh Geertz dalam bukunya the Religion of Java dengan tipologisasi mengenai masyarakat Jawa yang dapat dikelompokkan sebagai abangan, priyayi dan santri. Gagasan ini diteruskan oleh Ricklefs dengan pengkategorian yang kurang lebih sama rumitnya seperti "priyayi-abangan-kolot modern" dan "priyayi-santri modern". William R Roff dalam bukunya Studies on Islam and Society in Southeast Asia mengkritik tipologisasi yang dilakukan Geertz dan Ricklefs sebagai suatu upaya yang terlalu mereduksi fenomena religiositas masyarakat Islam yang kompleks. Martin van Bruinessen mengatakan bahwa polarisasi santri, abangan, yang dilakukan Geertz karena informasi yang ia dapat sebagian besar berasal dari kalangan modernis sehingga ia memakai tolak ukur Islam reformis dalam menilai praktik abangan sebagai tidak Islami bahkan menyebutnya Hindu. Mark Woodmark mengkritik tipologisasi yang dilakukan Geertz dalam buku Religion of Java sebagai cara pandang yang persis sama dengan para orientalis lama dan  kekuasaan kolonial dalam melihat Islam di Indonesia, namun gambaran kolonial "colonial depiction" itu hadir  dalam formulasi yang baru. 

Pada perkembangan berikutnya terdapat perkembangan approachment dalam mengkaji sejarah di Indonesia. Kali ini peristiwa masa lalu tidak lagi hanya deskriptif-naratif melainkan juga coba dijelaskan dengan ilmu-ilmu bantu sosial lainnya. Pendekatan ilmu-ilmu sosial pada sejarah yang diperkenalkan Mazhab Annales di Prancis 1929 turut digunakan oleh para sejarawan di Indonesia. Di Indonesia, pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo sejak tahun 1957 melalui disertasinya The Peasant Revolt of Banten in 1888; Its Condition, Course and Sequel: A Case Study of Social Movement in Indonesia. Pengkajian tentang peristiwa masa lalu semakin mengarah pada perspektif global yang membahas segala aspek kehidupan manusia politik, ekonomi, sosial, antropologi, geografi dan lain-lain. Penggunaan perspektif global pada sejarah mengungkapkan bahwa perkembangan suatu masyarakat tidaklah terjadi dalam kondisi yang terisolasi, melainkan sangat terpengaruh dengan perkembangan di daerah lainnya. Karya-karya yang menjadi contoh dengan penggunaan pendekatan sejarah total adalah Nusa Silang Budaya Jawa karya Dennys Lombard  dan Asia Tenggara dalam kurun waktu niaga. 

Perkembangan metodologi dalam mengkaji sejarah ini turut mempengaruhi dalam membahas keislaman di Indonesia. Dalam menuliskan sejarah Islam di Indonesia ilmu-ilmu bantu sosial mulai digunakan. Dapat dilihat dari karya berjudul Arkeologi Islam Nusantara karya Uka Tjandrasasmita yang menggunakan ilmu bantu arkeologi dalam menjelaskan keadaan masyarakat di masa lampau. Karya lain ditulis oleh Badri Yatim berjudul Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz Mekkah dan Madinah 1800-1925 yang membahas mengenai kehidupan keseharian dan termasuk ke dalam sejarah sosial.  Selain itu dapat dilihat karya-karya lain yang menggunakan perspektif global dengan penekanan bahwa perkembangan suatu kawasan sangat terkait dengan perkembangan di kawasan lainnya. Karya-karya ini dapat disebut satu persatu seperti Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat yang ditulis oleh Martin van Bruinessen yang melihat bahwa perkembangan Islam di Nusantara sangatlah terkait dengan Timur Tengah sebagai jantung Islam. Pengaruh Timur Tengah pada Nusantara dapat terlihat melalui transmisi keilmuan yang dilakukan oleh ulama Haramayn setelah belajar ke ulama di Timur Tengah. 

Pendekatan global dan multidimensi ini membahas persoalan mengenai corak historiografi yang ada sebelumnya. Pertama, menggantikan sejarah konvensional bercorak deskriptif-naratif yang tidak relevan karena ketidakmampuan dalam menjelaskan berbagai masalah dan gejala yang sangat kompleks. Kedua, bentuk kritik terhadap sejarah konvensional deskriptif-naratif yang hanya membahas aspek politik seperti orang-orang besar sekitar istana, raja, perang, penaklukkan sementara aspek sosial, ekonomi, budaya cenderung diabaikan. Ketiga, pendekatan total pada sejarah mengkritik corak historiografi kolonial yang Eropasentris dan historiografi nasional yang cenderung mementingkan ideologisasi sejarah ketimbang mengungkap kebenaran sejarah. Keempat, pendekatan ini melihat bahwa perkembangan historis di suatu kawasan tidak terjadi dalam situasi hampa dan terisolasi, tetapi sangat erat hubungannya dengan rangkaian peristiwa yang terjadi di kawasan lain.

Dengan demikian dapat kita tarik beberapa gambaran mengenai perkembangan penulisan sejarah di Indonesia berkaca dari Seminar Sejarah yang diselenggarakan dan perkembangan pengkajian mengenai Islam. Pertama, masyarakat Nusantara bukan hanya sekedar menjadi objek tetapi kini menjadi aktor utama dalam narasi sejarah. Kedua, perubahan pandangan dari kalangan cendekiawan Barat mengenai sejarah Indonesia dan Islam di Nusantara, mereka mengapresiasi sumber internal berupa historiografi tradisional dan mengkritik para sejarawan kolonial dengan penggunaan sumber-sumber Barat serta memandang Islam di Nusantara secara positif yang berbanding terbalik dengan para sejarawan di masa kolonial. Ketiga, sejarah kini tidak hanya deskriptif-naratif tetapi mulai menjadi kajian ilmu transdisipliner dan menggunakan kerangka global dengan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai ilmu bantu untuk menjelaskan peristiwa masa lalu. Keempat, sejarawan semakin sadar dengan pentingnya teori, metodologi serta tema dalam penulisan sejarahnya.  

Daftar Pustaka

William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum Dan Sesudah Revolusi (Jakarta: LP3ES, 1982). 

Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global Dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002).

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). 

Henk Schulte Nordholt, De-colonising Indonesian Historiography (Centre for East and South-East Asian Studies Lund University, Sweden, 2004 working paper no 6) 

John Crawfurd, History of The Indian Archipelago Voll II (Edinburgh, 1820).

Schrieke, Selected Writing of Sociological Studies Second Edition (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1966). 

Van Leur, Indonesia Trade and Society Volume One Edisi Kedua (Belanda: Van Hoeve The Hauge, 1967).

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003). 

Delia Noer, Indonesia Dan Masa Lalunya (Jakarta: Mata Bangsa, 2022). 

Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: PUSTAKA PANJIMAS, 1982). 

Eileen Ka-May Cheng, Historiography An Introductory Guide, (New York, Continuum International Publishing Group, 2012). 

Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Waktu Niaga 1450-1680 Jilid Dua (Jakarta: Yayasan Obor, 2015).

Taufik Abdullah, Islam Dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1987). 

Taufik Abdullah, Ilmu Sejarah Dan Historiografi Arah Dan Perspektif (Yogyakarta: Gramedia, 1985). 

Eileen Ka-May Cheng, Historiography An Introductory Guide, (New York, Continuum International Publishing Group, 2012). 

Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Waktu Niaga 1450-1680 Jilid Dua (Jakarta: Yayasan Obor, 2015). 

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2022). 

P.J. Zoetmulder, The Significance of the Study of Culture and Religion for Indonesian Historiography An Introduction To Indonesian Historiography (New York: Equinox Publishing Cornell University Press, 2007).

Priska Marsila, "Skripsi Biografi Dan Pemikiran Mohammad Ali Dalam Historiografi Indonesia (1912-1974)," 2022.

Michael Laffan, Sejarah Islam Di Nusantara (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2015). 

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999). 

Syamsuddin Arif, "Islam Di Nusantara Historiografi Dan Metodologi," Islamia VII, no. 2 (2012). Swantoro, Dari Buku Ke Buku (Yogyakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002). 

Azyumardi Azra, Perspektif Islam Di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989). 

Hoesein Djajadiningrat, Local Tradition and the Study of Indonesian History Dalam Kumpulan Tulisan An Introduction to Indonesian Historiography (New York: Equinox Publishing Cornell University Press, 2007). 

Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda Dan Islam Di Indonesia (1596-1942) (Bandung: Mizan, 1995). 

Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984).

Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris (Yogyakarta: Ombak, 2006). 

Ratna Saptari Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 2008). 

Mohammad Ali, An Introduction to Indonesian Historiography (New York: Equinox Publishing Cornell University Press, 2007). 

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003). 

Seminar Sejarah Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat sejarah dan nilai tradisional proyek inventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional, 1985).

Seminar Sejarah Nasional V Subtema Pengajaran Sejarah.

Lukmanul Hakim, "Historiografi Modern Indonesia Dari Sejarah Lama Menuju Sejarah Baru," Khazanah Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam. 

Delia Noer Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Bangsa, Indonesia Dan Masa Lalunya (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2022). 

Azyumardi Azra Dalam Wawancara Dengan Democracy Project Tentang Orientalisme Dan Oksidentalisme.

Mark Woodward, Java Indonesia Islam (New York: Department of Religious Studies Arizona State University, 2011). 

Anthony Reid, The Islamization of Southeast Asia.

A.H. Johns, Islam Di Dunia Melayu Dalam Buku Islam Perspektif Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989). 

Anthony H. Johns, Islam in Southeast Asia: Reflection and New Direction. 

Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (London: Yale University Press New Haven, 1993). 

Anthony H.Johns, "Islamization in Southeast Asia: Reflection and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism," Southeast Asian Studies 31, no. 1 (1993). 

William R Roff, Studies on Islam and Society in Southeast Asia (Singapore: National University, 2009). 

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat Pengantar K.H.Abdurrahman Wahid, Ketiga (Yogyakarta: Gading, 2020).

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 

Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Waktu Niaga 1450-1680 Jilid Dua. 

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009).

Bambang Purwanto, "Historisisme Baru Dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis Terhadap Historiografi Indonesiasentris," Humaniora XIII, no. 1 (2021). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun