Dalam rangka untuk menuliskan ulang sejarah keislaman di Nusantara, para sejarawan Barat di masa kolonial beralih pada sumber-sumber luar mengenai Nusantara terutama para pendatang dari Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara. Terdapat beberapa masalah mengenai keterangan yang diberikan para pendatang dari Eropa. Pertama pelancong tersebut bukanlah para ahli melainkan pengembara, wartawan, misionaris. Kedua, mereka hanya singgah di Nusantara dalam jangka waktu pendek dan tempat yang mereka amati adalah wilayah perkotaan, sementara masyarakat pedesaan luput dari pengamatan sehingga mereka tidak menggambarkan kondisi Nusantara secara keseluruhan. Ketiga, keterangan yang diberikan oleh misionaris sangat tidak objektif dan bernada negatif terhadap agama yang dipeluk oleh masyarakat Nusantara, kepercayaan penduduk pribumi dianggap sesat, sementara para pemeluknya disebut bodoh dan laknat. Georg Rumphius seorang pedagang dan ahli botani mengolok-olok orang Islam di Nusantara sebagai "orang suci palsu" yang banyak menipu orang, dia mencela praktik keagamaan yang dijalankan penduduk Nusantara sebagai "sebuah perilaku durhaka kekafiran". Terdapat seorang pedagang lainnya yang terbilang senior berkomentar negatif terhadap Islam di Nusantara "orang-orang Moor betul-betul musuh bebuyutan kita yang terlihat ramah dari luar namun sebenarnya hatinya busuk". Van Linschoten dalam laporan berjudul itinerario memberikan pernyataan yang menghina kaum muslimin Indonesia sebagai takhayul dan meniru gerakan shalat kaum muslimin saat melakukan ibadah sebagai bentuk ejekan. Keempat, orang-orang yang dikirim ke Nusantara sebagai petugas kompeni adalah orang yang mendapat pendidikan teologi untuk mengkristenkan pribumi yang dianggap kafir dan membungkam "orang-orang Muhamedist" salah satu petugas kompeni itu ialah Pieter Both. Seorang teolog bernama Valentijn menyebut agama Islam sebagai agama ciptaan perpaduan berbagai unsur agama Saba dan Saracen masa awal, Ia juga menganggap remeh orang Arab yang berdakwah mengislamkan Maluku sebagai orang-orang yang bodoh dan tidak mengerti dasar-dasar agama yang mereka sebarkan. Kelima, terdapat juga beberapa tulisan orang-orang yang sama sekali tidak pernah ke Hindia namun menyatakan bahwa mereka mengetahui segala hal berkaitan dengan Hindia hingga seluk beluk penduduknya seperti P.J. Veth yang tidak pernah bepergian ke Timur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber-sumber luar juga tidak terlalu bisa diandalkan karena berasal dari berbagai kalangan yang bukan ahli serta terlalu banyak mispersepsi yang mengandung prasangka dan kebencian terhadap Islam ketimbang kebenaran yang diungkap.
Husein Djajadiningrat sejarawan di masa kolonial dari Indonesia mencoba untuk mengambil jalan tengah mengenai permasalahan sumber dalam menuliskan sejarah Islam di Nusantara. Seperti dituturkan olehnya dalam tulisannya berjudul Local Traditions and the Study of Indonesian History :Â
"However, legends should not be dismissed out of hand as of no historical value, at the same time, the historical parts should be verified by western records such as Portuguese and, later, Dutch Reports. Western accounts should be compared and related with local traditions in order to get a historical picture."
"tradisi lokal tidak bisa dikesampingkan sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai historisitas, beberapa bagian yang mengandung nilai sejarah harus dipastikan kebenarannya dengan melihat sumber luar yang dicatat oleh orang Portugis, Belanda, maupun para penjelajah dari Arab"Â
Husein Djajadiningrat berpendapat bahwa catatan yang dilaporkan Barat mengenai Indonesia haruslah dibandingkan dengan tradisi lokal untuk mendapatkan gambaran mengenai sejarah Nusantara.
Secara metodologi penulisan sejarah di masa kolonial masih terbilang konvensional. Sejarawan di masa kolonial berhasil menyusun banyak data namun cara pemaparan kisahnya masih terbilang naratif-deskriptif. Penulisan sejarah naratif-deskriptif hanya menyajikan peristiwa sejarah sebagai sebuah rentetan kejadian tanpa menunjukkan hubungan sebab-akibat antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Corak penulisan seperti ini juga tidak dapat memberi kejelasan mengenai faktor-faktor kondisional yang melatarbelakangi rangkaian peristiwa itu dapat terjadi.Â
Dengan demikian dapat disimpulkan beberapa ciri serta permasalahan historiografi di masa kolonial. Pertama, aktor dalam penulisan sejarah sangat bercorak Eropa-sentris atau Neerlando-sentris sementara masyarakat Nusantara diabaikan. Kedua, komentar bernada negatif para sejarawan Barat di masa kolonial terhadap Islam. Ketiga, sejarawan Barat di masa kolonial kurang mengapresiasi sumber internal yang berasal dari historiografi tradisional Nusantara. Keempat, dilihat dari metodologi yang digunakan, penulisan sejarah di masa kolonial masih bercorak naratif-deskriptif dan belum menggunakan teori dalam pemaparan kisahnya. Namun dengan segala kekurangannya, sejarawan di masa kolonial perlu diapresiasi karena menyuguhkan data yang melimpah dalam mengkaji Islam. Tidak sedikit sejarawan di masa kolonial menguraikan mengenai kedatangan Islam di Nusantara, kita bisa sebut satu persatu Snouck Hurgronje, Crawfurd, Van Leur, Schrieke dan lainnya.Â
3. Historiografi Pascakemerdekaan dan setelahnya
Setelah memperoleh kemerdekaan politik terjadi peralihan kekuasaan dari penjajah Eropa ke para pemimpin lokal. Hal ini berlaku pula pada penulisan sejarah di Indonesia, sejarah Indonesia menempatkan masyarakat Indonesia sebagai subjek dalam sejarah dan bukan lagi objek seperti di masa kolonial. Tradisi baru dalam penulisan sejarah ini disebut sebagai Indonesiasentris yang dapat disebut sebagai reaksi terhadap historiografi di masa kolonial. Penulisan sejarah sangat berorientasi untuk menguatkan kepribadian bangsa atau identitas bangsa sesuai dengan perkembangan di masa awal kemerdekaan. Lebih jauh lagi penelusuran terhadap seminar sejarah Nasional perlu dilakukan untuk mengetahui perkembangan penulisan sejarah Indonesia.
Pada tahun 1957 diselenggarakan Seminar Sejarah Nasional I. Adapun persoalan yang dibahas ialah mengenai filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Terdapat perdebatan antara Soedjatmoko dan Yamin mengenai fungsi sejarah. Soedjatmoko mengatakan bahwa penelusuran masa lalu Indonesia harus disesuaikan dengan kaidah ilmu pengetahuan sedangkan Muhammad Yamin beropini bahwa penelitian sejarah harus mengarah pada penguatan kesadaran nasional. Muhammad Ali mengatakan bahwa seminar sejarah pertama ini tidak memberikan kejelasan mengenai acuan penulisan sejarah Indonesia tetapi malah menambah perdebatan mengenai fungsi sejarah apakah untuk pembangunan karakter bangsa atau demi kepentingan kebenaran peristiwa masa lalu itu sendiri. Terlepas dari perselihan seperti ini, pada Seminar ini terjadi yang Kuntowijoyo sebut sebagai "nasionalisasi" atau "pribumisasi" historiografi Indonesia.Â
Pada tahun 1970 diadakan seminar sejarah Nasional II di Yogyakarta. Pertemuan kali ini menghasilkan kesimpulan pertama persoalan Neerlando-sentris atau Indonesiasentris. Kedua, peristiwa masa lalu harus dijelaskan dengan perangkat ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejarah tidak semata-mata hanya bersifat deskriptif tetapi harus menggunakan pendekatan ilmu bantu sosial dan analitik. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi orang-orang yang menekuni ilmu sejarah.