Mohon tunggu...
Jatmika AjiSantika
Jatmika AjiSantika Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis

Serius banget orangnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Huru-Hara yang Pernah Terjadi di Mekkah

12 Juli 2023   18:20 Diperbarui: 12 Juli 2023   18:32 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Huru-Hara yang pernah terjadi di Mekkah

Kota Mekkah menduduki posisi penting dalam kehidupan beragama umat Islam. Bagi umat Islam, Mekkah adalah kiblat, acuan untuk mengarahkan sujud mereka sesuai dengan letak kabah berada. 

Mekkah juga menjadi tempat melaksanakan ibadah haji, seluruh umat Islam dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang berbeda berkumpul dalam satu tempat dan melebur menciptakan nuansa persaudaraan dan kesetaraan. 

Mekkah juga memiliki nilai historis, kota ini merupakan tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW dan awal mula perjuangan beliau menyebarkan ajaran Islam. Sudah menjadi suatu hal yang lazim apabila kaum muslim dari seluruh dunia mengarahkan pandangan mereka pada Mekkah sebagai pusat umat Islam. 

Tiap insan umat Islam dari seluruh dunia ingin menginjakkan kakinya setidak-tidaknya satu kali seumur hidup di tanah suci entah untuk ibadah haji, belajar ilmu agama atau hanya sekedar pergi berumroh, mereka ingin mengalami getaran rohani yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Energi spiritual memancar di kota Mekkah yang dirasakan setiap pengunjungnya. Sejenak para peziarah merasa segala jenis egoisme dilucuti dari jasmani mereka ; kebencian, kedengkian, persaingan, ambisi, dan seluruh hasrat duniawi lenyap diganti oleh ketenangan.

Namun ironisnya, jika kita melongok masa lalu, tidak dapat dielakkan bahwa faktanya, kota suci ini juga pernah dinodai oleh beberapa peristiwa yang didorong oleh keinginan-keinginan duniawi. 

Mekkah tidak hanya menjalankan fungsi agamanya ; meningkatkan dimensi rohaniah dan spiritualitas, tetapi juga kerap menjadi lahan perebutan kekuasaan, gairah keagamaan umat Islam kadang kala terhenti dibajak dan dipaksa melayani nafsu kekuasaan. 

Peperangan,  perebutan kuasa, gerakan politik atas nama keagamaan, semuanya hilir mudik hadir mewarnai pertikaian yang pada dasarnya bukan untuk kepentingan agama melainkan hanya ambisi-ambisi politik.  Kita akan membahas Mekkah sebagai saksi bisu yang menyaksikan pertumpahan darah terjadi di tanah suci ini.

Di masa Umayyah

Saat Muawiyah meninggal, opini di kalangan masyarakat muslim terbentuk, kekuasaan harus dikembalikan pada orang seharusnya, Husein. Masyarakat Irak meminta Husein untuk datang ke Kufah dan berjanji akan membaiat Husein sebagai pemimpin mereka. 

Nyatanya, para penduduk kufah membelot dan membiarkan Husein beserta 75 pasukannya berjuang melawan balatentara Yazid dengan kekuatan penuh. Alhasil, pertempuran Karbala terjadi, sebuah peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Husein gugur dalam peperangan yang tidak seimbang tersebut dan kepalanya dipisahkan dari tubuhnya lalu dibawa ke hadapan Yazid.

Masyarakat muslim mengutuk perbuatan kejam yang dilakukan Yazid pada Husein, Cucu Nabi. Masyarakat Madinah melepaskan kesetiaan dan menyatakan tidak akan tunduk pada penguasa Umayyah. Yazid mengirim tentara untuk menyerang Madinah, ia ingin mendapatkan pengakuan Madinah atas pemerintahannya. 

Peristiwa ini disebut sebagai pengepungan Hirah. Alkisah, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 4.500 jiwa manusia.  Banyak perempuan menjadi janda, banyak perempuan diperkosa, anak kehilangan orangtuanya, sanak-famili tercerai berai dipisahkan oleh kematian, oleh peperangan. 

Kengerian ini dilakukan oleh panglima bernama Muslim bin Uqbah atas perintah Yazid. “Bujuklah mereka untuk menyerah selama tiga hari. Jika tidak menyerah juga, perangi mereka. Bila mereka takluk, segala sesuatu adalah halal bagi kalian selama tiga hari. Rebutlah harta, ternak, senjata, dan pangan mereka untuk dinikmati para tentara. Jika lewat masa tiga hari, butakanlah mata mereka.”

Keinginan untuk melawan Dominasi umayyah merembet ke masyarakat Mekkah. Pada tahun 680 Masehi, Abdullah bin Zubair di Mekkah menentang kekuasaan Bani Umayyah. 

Saat menyatakan diri sebagai khalifah, Abdullah tidak hanya mendapatkan baiat dari masyarakat Mekkah tetapi ia juga memperoleh sumpah setia dari penduduk Irak, Mesir dan beberapa wilayah Suriah. Dengan dukungan di dunia Islam yang memilih beroposisi pada dinasti Umayyah membuat gerakan perlawanan Abdullah bin Zubair tidak mudah dipadamkan.

Yazid mengirimkan tentaranya ke Mekkah untuk menyerang Abdullah Bin Zubair, Mekkah dikepung selama beberapa minggu, selama dalam pengepungan tersebut terjadi peristiwa terbakarnya Kabah. 

Pengepungan berakhir setelah tersiar kabar bahwa Yazid meninggal, pasukan yang datang dari Damaskus pun lebih memilih bernegosiasi dan bahkan menawarkan Abdullah bin Zubair untuk menyerang balik wilayah Syam. Abdullah bin Zubair sebetulnya memiliki kesempatan untuk menyerang pusat kekuasaan Umayyah dan mengambil alih pucuk pimpinan umat Islam (amir al-muminin), namun ia memilih untuk berdiam diri di Mekkah. 

Perlawanan Abdullah bin Zubair berhasil ditumpas saat dinasti Umayyah dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan. Abd Malik mengutus Hajjaj bin Yusuf untuk melawan Ibn Zubair di Mekkah. 

Menurut Baladhuri dan Ibn Atham, sebelum Abdul Malik mengirim Hajjaj bin Yusuf Mekkah, seorang bernama al-Haytham ibn al-swad datang kepada Abdul Malik dan berpesan “Wahai pemimpin orang yang beriman janganlah menodai kesucian Kabah, jangan menyentuh batu hajar aswad, jangan ganggu burung-burung yang hidup di sana, tolong perintahkan Hajjaj hanya untuk memblokade wilayah pegunungan dan perairan yang mengarah ke Mekkah agar mengisolir Ibn al-Zubair hingga ia mati kelaparan.” 

Raja menuruti saran tersebut dan memerintahkan agar Hajjaj bin Yusuf berangkat ke Thaif untuk menghormati kesucian kota Mekkah. Tetapi sebenarnya, di Thaif, Hajjaj bin Yusuf mengumpulkan kekuatan, setelah semua keperluan tersedia ia pergi ke Mekkah dan meletakkan senjata katapel di gunung Abu Qubays untuk menghujani kota Mekkah dari sana, Mekkah di bombardir serangan bahkan saat kaum muslimin melakukan ibadah haji.  

Beberapa orang yang menyaksikan penyerangan ini memberikan gambaran seperti berikut, salah satunya adalah ayah dari Hisham ibn Urwa “Batu yang dilemparkan dari senjata katapel ke Kabah merobek kiswah seperti robekan pada pakaian blus wanita”. (The stones of the mangonel were thrown at the Ka'ba until became rent like the openings at the bosom of a woman's blouse) Keterangan lain diberikan oleh seorang bernama Uwana yang mengatakan dahsyatnya serangan yang bertubi-tubi terhadap Kabah membuat bangunan ini goyah dan rapuh.

Hajjaj bin Yusuf memblokade kota tersebut selama enam bulan, alhasil banyak tentara Ibn Zubair menyerah dan Ibn Zubair sendiri terbunuh dalam perang di luar kota Mekkah. Terbunuhnya Ibn Zubair, mengembalikan kestabilan kekuasaan dinasti Umayyah dan Abdul Malik bin Marwan menjadi satu-satunya khalifah umat Islam.

Di masa Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah sudah mengalami kemerosotan politik sejak abad ke-9. Hal ini mempengaruhi kontrol atas wilayah Hijaz. Di abad ke-10, Syiah mulai menancapkan kekuasaan politiknya, dinasti-dinasti politiknya mulai tersebar di kawasan Timur Tengah, Fathimiyah di Mesir dan Afrika Utara, Dinasti Buwaiyah mengontrol Irak, Iran dan sekitarnya. Di Hijaz, dengan merosotnya cengkraman dinasti Abbasiyah yang Sunni,  Syiah Qamathiyah muncul sebagai sekte radikal yang mengancam kehidupan muslim Sunni di wilayah ini. 

Kaum Qaramita tidak menerima pandangan bahwa Mekah adalah kota suci, bahkan beranggapan melaksanakan haji merupakan praktik yang tidak Islami sehingga pada tahun 929 Masehi kelompok Syiah Qamathiyah menyerang Mekkah dan membantai 30.000 jemaat haji dan warga sipil. Tidak berhenti sampai disitu, kelompok yang dipimpin oleh seorang bernama Thahir al-Qarmathi ini turut membawa Hajar al-Aswad ke markas mereka di al-Hijr (Arabia Barat), yang sekarang disebut Bahrain. Hajar Aswad ini menghilang selama 22 tahun dan dapat dikembalikan setelah seorang pemimpin sekte Qarmathiyah di Afrika Utara memohon untuk memulangkan Hajar Aswad ke tempat seharusnya berada, ke Kabah.

Masa Ottoman

Di masa pemerintahan Dinasti Ottoman, wilayah Hijaz berada di bawah kekuasaan dinasti Ottoman. Penguasa Ottoman kemudian mendirikan kantor Gubernur di Jeddah dan menempatkan posko tentaranya di situ untuk menjaga keamanan dan sebagai simbol bahwa wilayah Hijaz dibawah kontrol Ottoman.

Meskipun demikian, penguasa Turki ini melimpahkan wewenangnya kepada seorang Sharif untuk mengatur daerah Hijaz. Sehingga dapat dikatakan yang menjalankan fungsi administrasi di wilayah Hijaz adalah seorang Sharif dan kenyataannya seorang Sharif memiliki kuasa yang berlebih dan seringkali tidak dapat dikendalikan oleh penguasa dinasti Ottoman.

Seorang penjelajah bernama Ewliya Celebi melaporkan pergesakan antara penguasa Ottoman dan seorang Sharif yang mengatur wilayah Hijaz. Pada tahun 1670 seorang Gubernur yang baru ditunjuk merasa tersinggung oleh seorang Sharif, hal ini memicu konflik di antara keduanya. Buntut dari persoalan ini adalah gubernur Ottoman mengirim regu kecil tentara ke dalam halaman Masjid. Sementara itu, seorang Sharif yang tidak terima dengan tindakan seperti itu langsung memberikan balasan, orang-orang Baduy yang melayani kepentingan Sharif pergi ke arah gunung Abu Kubays dan menghujani masjid dan madrasah dengan serangan bertubi-tubi. Menurut Ewliya Celebi, serangan ini mengakibatkan 200 orang meninggal dan 700 orang terluka. Dari peristiwa ini menunjukkan bahwa Sharif merupakan seorang yang terlepas dari dominasi penguasa Ottoman dan sosok penguasa Mekkah yang independen. Namun, yang paling penting dapat kita lihat bahwa tempat suci ini menjadi ladang berebut kekuasaan yang harus menghilangkan nyawa kaum muslimin.

Gerakan Imam Mahdi

Dalam Islam terdapat kepercayaan mengenai Imam Mahdi. Imam Mahdi akan muncul di akhir zaman bersama dengan Nabi Isa untuk mengalahkan dajal atau antikristus. Tidak selesai sampai disitu, Imam Madi dan Nabi Isa akan menegakkan keadilan  dan perdamaian di muka bumi ini.

Nubuat mengenai kedatangan Imam Mahdi sering kali menginspirasi kaum muslimin. Banyak pemimpin mengklaim bahwa mereka adalah Imam Mahdi, sosok yang dijanjikan akan menuntun umat manusia keluar dari penderitaan. Namun sebenarnya klaim tersebut bermotif politik, orang-orang seperti ini mengerti daya tarik yang dimiliki dogma agama dalam membenarkan gerakan yang sedang mereka jalankan, dogma agama seringkali digunakan untuk melayani agenda politik yang hendak dicapai oleh kelompok mereka sendiri.    

Pada tanggal 20 November 1979, seseorang bernama Mohammed Abdullah al-Qahtani menyatakan bahwa dirinya adalah Imam Mahdi. Semula ia ragu, namun keraguan itu ditepis setelah kawan sejawatnya bernama Juhayman al-Oteibi meyakinkan dirinya, al-Oteibi mengaku “didatangi” oleh Tuhan melalui mimpi dan mengabarkan bahwa al-Qahtani adalah benar-benar Imam Mahdi.

Mohmmed Abdullah al-Qahtani dan Juhayman al-Oteibi memiliki latar belakang sebagai narapidana karena menghasut pemberontakan. Selepas bebas dari penjara, kelompok ini mulai menebar pemahaman mereka kepada mahasiswa teologi di Universitas Islam Madinah. Kelompok ini menginginkan ajaran Islam dipraktikkan seutuhnya tanpa ada percampuran dengan nilai-nilai dari Barat. Mereka menginginkan tatanan dunia Islam yang baru dengan menghancurkan kerajaan Islam yang sedang berdiri, kerajaan Arab Saudi. Raja yang memimpin dan ulama yang mendukung penguasa dianggap sebagai pendosa karena menjadi antek asing dengan menjual minyak ke Amerika Serikat.            

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, Juhayman Oteibi dan al-Qahtani melancarkan pemberontakan. Gerakan ini diikuti oleh lima ratus orang pemberontak, di antaranya berasal dari Arab Saudi, Yaman, Kuwait, Mesir, dan beberapa orang Amerika pengikut Black Muslim. Mereka menyediakan persenjataan dengan cara mencuri dari gudang senjata Garda Nasional dan mengirimnya secara diam-diam menggunakan keranda masjid. Pemberontakan ini menyasar masjidil haram tempat ibadah umat Islam, mereka menyandra orang tidak berdosa, entah itu orang yang sedang beribadah maupun para haji. Sesekali mencari perlindungan di ruangan bawah tanah masjidil haram. Pendudukan ini berlarut-larut hingga dua minggu. Pada akhirnya pemberontakan ini berhasil dipadamkan setelah seorang bernama Turki menyusun siasat pembebasan masjidil haram dari tangan pemberontak, yaitu melempar granat ke bawah tanah dan memaksa para pemberontak lari ke tempat yang lebih terbuka agar dapat dilumpuhkan oleh penembak jarak jauh yang sudah bersiap. Salah satu kisah unik dalam operasi pembebasan ini adalah adanya kelompok tentara asing Prancis dari grup d’Intervention de la Gendarmerie Nationale  yang terlebih dahulu berpindah memeluk agama Islam (mualaf) agar dapat memasuki tanah suci Mekkah dan membantu operasi pembebasan tersebut. Alhasil, para pemberontak ini akhirnya menyerah. Juhaiman Oteibi, pemimpin gerakan tersebut, sempat meminta permohonan ampun kepada Turki “Mohon mintalah kepada Raja Khaled untuk mengampuniku ! Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi!” pangeran Turki menjawab “Pengampunan ? Mintalah pengampunan dari Tuhan!”.

Juhaiman Oteibi dan 62 pemberontak lainnya, satu sama lain digiring ke 8 kota yang berbeda, mereka dieksekusi mati pada tanggal 9 Januari 1980. Hukuman ini merupakan eksekusi terbesar dalam seajrah Arab Saudi.

Pemberontakan ini menyebabkan korban meninggal sebanyak 127 orang keamanan dari pihak pemerintah Arab Saudi dan 461 lainnya mengalami luka-luka. 12 orang jemaah haji terbunuh dan 117 orang pemberontak berhasil ditumpas. Laporan tidak resmi menyatakan lebih dari 4000 orang kehilangan nyawa akibat dari gerakan pemberontakan ini. Berkaca dari pengalaman tersebut, Arab Saudi memperketat hukuman bagi siapa saja yang bertindak kriminal.   

Kesimpulan

Mekkah sebagai kota suci umat Islam seringkali dinodai oleh pertumpahan darah. Pertumpahan darah ini selalu disebabkan oleh motif politik ; zaman Umayyah, Abbasiyah, Ottoman hingga masa kerajaan Arab Saudi. Motif politik dan doktrin agama juga bercampur aduk  dalam wacana gerakan yang mereka lakukan. Alhasil terjadilah bentrokan di kota suci Mekkah, di tempat yang seharusnya dijaga kesuciannya, banyak darah tumpah, banyak nyawa hilang. Sebuah tempat yang seharusnya memancarkan ketenangan bagi orang-orang didalamnya menjadi tempat tumpahnya amarah, kenyamanan disulap menjadi huru-hara, disebabkan oleh manusia-manusia yang tidak bisa menekan sesuatu yang mencelakakan dirinya, yaitu ego, hasrat, nafsu.  

Daftar Pustaka

Abd al-Ameer Abd Dixon,The Umayyad Caliphate 

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII 

Farag Fouda, Kebenaran yang hilang Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan Dalam Sejarah Kaum Muslim 

F. E. Peters, The Hajj The Muslim Pilgrimage To Mecca And The Holy Places 

Firas Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim di Masa Lalu 

Fred M Donner, Muhammad dan Umat Beriman

Lawrence Wright, Sejarah teror jalan panjang menuju 11/9

Suraiya Faroqhi, Pilgrims and Sultans The Hajj under the Ottomans 1517-1683 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun