Hajjaj bin Yusuf memblokade kota tersebut selama enam bulan, alhasil banyak tentara Ibn Zubair menyerah dan Ibn Zubair sendiri terbunuh dalam perang di luar kota Mekkah. Terbunuhnya Ibn Zubair, mengembalikan kestabilan kekuasaan dinasti Umayyah dan Abdul Malik bin Marwan menjadi satu-satunya khalifah umat Islam.
Di masa Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah sudah mengalami kemerosotan politik sejak abad ke-9. Hal ini mempengaruhi kontrol atas wilayah Hijaz. Di abad ke-10, Syiah mulai menancapkan kekuasaan politiknya, dinasti-dinasti politiknya mulai tersebar di kawasan Timur Tengah, Fathimiyah di Mesir dan Afrika Utara, Dinasti Buwaiyah mengontrol Irak, Iran dan sekitarnya. Di Hijaz, dengan merosotnya cengkraman dinasti Abbasiyah yang Sunni, Â Syiah Qamathiyah muncul sebagai sekte radikal yang mengancam kehidupan muslim Sunni di wilayah ini.Â
Kaum Qaramita tidak menerima pandangan bahwa Mekah adalah kota suci, bahkan beranggapan melaksanakan haji merupakan praktik yang tidak Islami sehingga pada tahun 929 Masehi kelompok Syiah Qamathiyah menyerang Mekkah dan membantai 30.000 jemaat haji dan warga sipil. Tidak berhenti sampai disitu, kelompok yang dipimpin oleh seorang bernama Thahir al-Qarmathi ini turut membawa Hajar al-Aswad ke markas mereka di al-Hijr (Arabia Barat), yang sekarang disebut Bahrain. Hajar Aswad ini menghilang selama 22 tahun dan dapat dikembalikan setelah seorang pemimpin sekte Qarmathiyah di Afrika Utara memohon untuk memulangkan Hajar Aswad ke tempat seharusnya berada, ke Kabah.
Masa Ottoman
Di masa pemerintahan Dinasti Ottoman, wilayah Hijaz berada di bawah kekuasaan dinasti Ottoman. Penguasa Ottoman kemudian mendirikan kantor Gubernur di Jeddah dan menempatkan posko tentaranya di situ untuk menjaga keamanan dan sebagai simbol bahwa wilayah Hijaz dibawah kontrol Ottoman.
Meskipun demikian, penguasa Turki ini melimpahkan wewenangnya kepada seorang Sharif untuk mengatur daerah Hijaz. Sehingga dapat dikatakan yang menjalankan fungsi administrasi di wilayah Hijaz adalah seorang Sharif dan kenyataannya seorang Sharif memiliki kuasa yang berlebih dan seringkali tidak dapat dikendalikan oleh penguasa dinasti Ottoman.
Seorang penjelajah bernama Ewliya Celebi melaporkan pergesakan antara penguasa Ottoman dan seorang Sharif yang mengatur wilayah Hijaz. Pada tahun 1670 seorang Gubernur yang baru ditunjuk merasa tersinggung oleh seorang Sharif, hal ini memicu konflik di antara keduanya. Buntut dari persoalan ini adalah gubernur Ottoman mengirim regu kecil tentara ke dalam halaman Masjid. Sementara itu, seorang Sharif yang tidak terima dengan tindakan seperti itu langsung memberikan balasan, orang-orang Baduy yang melayani kepentingan Sharif pergi ke arah gunung Abu Kubays dan menghujani masjid dan madrasah dengan serangan bertubi-tubi. Menurut Ewliya Celebi, serangan ini mengakibatkan 200 orang meninggal dan 700 orang terluka. Dari peristiwa ini menunjukkan bahwa Sharif merupakan seorang yang terlepas dari dominasi penguasa Ottoman dan sosok penguasa Mekkah yang independen. Namun, yang paling penting dapat kita lihat bahwa tempat suci ini menjadi ladang berebut kekuasaan yang harus menghilangkan nyawa kaum muslimin.
Gerakan Imam Mahdi
Dalam Islam terdapat kepercayaan mengenai Imam Mahdi. Imam Mahdi akan muncul di akhir zaman bersama dengan Nabi Isa untuk mengalahkan dajal atau antikristus. Tidak selesai sampai disitu, Imam Madi dan Nabi Isa akan menegakkan keadilan  dan perdamaian di muka bumi ini.
Nubuat mengenai kedatangan Imam Mahdi sering kali menginspirasi kaum muslimin. Banyak pemimpin mengklaim bahwa mereka adalah Imam Mahdi, sosok yang dijanjikan akan menuntun umat manusia keluar dari penderitaan. Namun sebenarnya klaim tersebut bermotif politik, orang-orang seperti ini mengerti daya tarik yang dimiliki dogma agama dalam membenarkan gerakan yang sedang mereka jalankan, dogma agama seringkali digunakan untuk melayani agenda politik yang hendak dicapai oleh kelompok mereka sendiri. Â Â