Mohon tunggu...
Jason Aldrich Kenan
Jason Aldrich Kenan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Heydooo! Perkenalkan saya Jason Aldrich Kenan, mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Problematiknya Seragam dan Pemaknaanya (Dalam Pandangan Interaksionisme Simbolik)

27 Desember 2021   12:28 Diperbarui: 27 Desember 2021   12:48 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Seragam sekolah seolah menjadi identitas siswa di Indonesia, warna merah untuk Sekolah Dasar (SD), warna biru untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan warna abu-abu untuk Sekolah Menegah Atas (SMA) ataupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). 

Meski telah menjadi identitas, nyatanya aturan mengenai seragam ini menuai polemik dari masyarakat umum, khususnya orang tua murid. Banyak isu bertebaran terkait seragam sekolah ini dan isu inipun seakan menjadi isu tahunan dunia pendidikan.

Mulai dari isu penggantian seragam sekolah, penghapusan seragam sekolah, bahkan hingga isu seragam sekolah dengan keyakinan agama. 

Isu ini kemudian memanas setiap kali masa kenaikan kelas ataupun kenaikan jenjang di pertengahan tahun. Beberapa rubrik pendapatpun diisi dengan berbagai narasi terkait seragam sekolah, ada yang berpendapat bahwa seragam sekolah hanya demi bisnis semata, ada yang beranggapan bahwa seragam sekolah menghalangi ekspresi keagamaan, dsb. 

Seperti pendapat yang dilontarkan Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwarkarta dalam Farid Assifa, (2018, Kompas.com) pada 16 Juli 2018, ia meminta sekolah untuk tidak mengharuskan siswa mengenakan seragam. Ia juga berkata bahwa siswa dari keluarga kurang mampu boleh pergi dengan apa adanya. 

Ia menyebut bahwa fokus pendidikan kita bukan pada seragam. Tetapi, pada peningkatan kemampuan siswa dalam menyerap materi-materi pendidikan. Namun begitu,  pemerintah sendiri tetap memberlakukan seragam sekolah pada sekolah negeri dengan berbagai perubahan tergantung menteri yang menjabat.

Isu lain muncul saat Elianu Hua, orang tua Jeni Cahyani Hua, yang merupakan siswi di SMKN 2 Negeri Padang merasa keberatan dengan kewajiban memakai hijab, padahal dirinya seorang non-muslim. Keberadaan video yang Eliana Hua bagikan dalam akun media sosialnya menjadi viral dan menjadi isu hangat di awal tahun 2021 (Gina Sonia, 4 Februari 2021, Galamedianews.com). Kemudian Pemerintah, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bersama dengan Menteri Dalam Negri (Mendagri) Tito Karnavian dan Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama (Menag) mengambil keputusan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri. Terdapat 6 poin utama dalam SKB 3 Menteri tersebut yaitu:

  • Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut:
  • tanpa kekhasan agama tertentu; atau
  • dengan kekhasan agama tertentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut
  • Dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
  • Pemerintah daerah dan/ atau kepala sekolah sesuai dengan kewenangannya wajib mencabut peraturan, keputusan, instruksi, kebijakan, atau imbauan tertulis terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah yang dikeluarkan oleh kepala daerah dan/atau kepala sekolah yang bertentangan dengan Keputusan Bersama ini paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Bersama ini ditetapkan.
  • Pemberian sanksi apabila kepala sekolah tidak melaksanakan SKB tersebut. Pemda, Gubernur, Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri), Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan),  Kemenag (Kementrian agama) dapat memberikan sanksi kepada instasi bawahannya apabila terjadi pelanggaran selama pelaksanaan SKB.
  • Pengeculian bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang beragama Islam di Provinsi Aceh sesuai kekhususan Aceh.

Namun begitu, SKB 3 Mentri ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Perkara ini diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat dengan perkara nomor 17 P/HUM/2021. Dengan demikian SKB 3 Mentri dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA ini jelas menuai kontroversi, Direktur Riset Setara Institute, Halili (dalam Dewi Nurita, 9 Mei 2021, Tempo.co), menyatakan bahwa pembatalan SKB 3 Mentri ini menjadi langkah mundur dalam upaya penciptaan lingkungan sekolah yang moderat. 

Pihak KPAI, menurut Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam hal ini juga ikut menyayangkan keputusan majelis hakim atas pembatalan SKB 3 Mentri tersebut. Ia juga menambahkan bahwa dalam upaya mendidik anak harus didasarkan pada kesadaran diri anak dan bukan berdasar paksaan, termasuk juga dalam mendidik menutup aurat (dalam Anugrah Andriansyah, 08 Mei 2021, Voaindonesia.com).

Seragam sekolah sendiri akan terus menimbulkan pro-kontra, dan akan terus menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia. Dalam Linda Lumsden dan Gabriel Miller (2002) seragam sekolah sendiri mempunyai kekurangan dan kelebihan, di antaranya:

  • Kelebihan
  • Enhanced school safety atau dapat meningkatkan keamanan sekolah;
  • Improved learning climate atau dapat meningkatkan iklim sekolah
  • Higher self-esteem for students atau dapat meningkatkan harga diri siswa
  • Less stress on the family atau dapat mengurangi rasa stres di keluarga, serta
  • Reducing socioeconomic tensions among students atau dapat mengurangi kesenjangan sosial siswa.
  • Kekurangan
  • Bertentangan dengan hak-hak sipil, yaitu kebebasan. “… dictating what students wear to school violates their constitutional right to freedom of expression”

Dalam salah satu tulisan Arfanda Siregar, Robohnya Seragam Kami (2021, Sindonews.com), ia menjelaskan bahwa kewajiban penggunaan seragam sekolah membuat pengeluaran ekonomi keluarga semakin besar, karena orang tua diharuskan membeli seragam baru bagi anak mereka. Juga ia berpendapat, seringkali pengadaan seragam sekolah yang dilaksanakan sekolah menjadi ‘lahan kesempatan’ sekolah untuk mengambil keuntungan. 

Seragam sekolah baginya justru hanya menambah tugas guru, yaitu terkait merazia siswa dengan pakaian yang tidak sesuai aturan seragam sekolah. 

Baginya kegiatan ini hanya menghabiskan waktu dan energi guru yang sama sekali tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. 

Ia juga menambahkan bahwa seragam sekolah sama sekali tidak berkaitan dengan kualitas pendidikan Indonesia. Ini dibuktikan dengan beradanya Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara pada skor PISA (Programme for International Student Assessment).

Lalu bagaimana sosiologi memandang fenomena ini?

Interaksionisme simbolik adalah salah satu perspektif sosiologi yang sering dipakai dalam permasalahan sosiologis. Teori ini dikembangkan oleh  John  Dewey,  Charles  Horton  Cooley,  George Herbert Mead dan Herbert Blumer. 

Inti dari perspektif ini adalah bahwa interaksi dalam masyarakat menghasilkan simbol-simbol yang kemudian maknanya digunakan dalam proses interaksi antar individu. Interaksionisme simbolik menekankan pada penggunaan simbol-simbol sebagai bentuk komunikasi. Kemudian dari mana makna simbol ini berasal yaitu dari kesepakatan dari masyarakat itu sendiri. Bagi interaksionisme simbolik, penggunaan simbol inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Interaksionisme simbolik diawali oleh Herbert Blumer yang memandang bahwa manusia bukan hanya bereaksi atas tindakan orang lain, namun juga mendefinisikan atau menerjemahkan tindakannya sendiri. Pandangan ini disebut sebagai teori behaviourism, yang kemudian dikembangkan oleh Mead dan kemudian menjadi teori baru yaitu behaviourisme-sosial. Rincian teori Mead kemudian dibukukan sebagai hasil pengajaran oralnya yang kemudian diberi judul “Mind, Self, and Society” pada 1934 (Ahmadi, 2005).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, seragam seolah sudah menjadi simbol siswa dalam dunia pendidikan. Misal saja dalam keseharian, saat kita bertemu dengan siswa dengan seragam putih-merah, kita akan memiliki kecendurungan bertanya (kepada pelajar tersebut) mengenai pengetahuan dasar seperti membaca, berhitung, ataupun menulis. Berbeda saat kita bertemu siswa dengan seragam putih-abu-abu, pertanyaan yang mungkin kita lontarkan lebih abstrak juga lebih kompleks. Pembedaan seragam pada tiap jenjang kemudian menjadikan simbol intelek seorang siswa yang mengacu pada tingkatan pendidikannya.

Contoh lain dapat kita lihat adalah adanya gengsi yang lebih besar saat seorang siswa memakai seragam sekolah yang memiliki prestise lebih tinggi dari sekolah lain. Sekolah kenamaan dengan segala popularitasnya, entah itu prestasi akademik maupun non-akademik ataupun juga karena dikenal pelajar sekolah tersebut adalah anak orang kenamaan, dsb.Ini menandakan adanya pemaknaan seragam yang amat berbeda dari tujuan awalnya, yaitu keseragaman dalam keberagaman.

Terlepas dari segala problematika dan pemaknaan seragam, namun begitu seragam masih amat relevan teruntuk pelajar Indonesia. Indonesia yang beragam suku, ras, dan agama yang tentunya beragam pula kebudayaan manusianya, menjadikan seragam masih amat relevan bagi pelajar. Ini juga merupakan langkah kedisiplinan siswa sebagai pemebentukan karakter yang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang beragam. Namun jika dirasa seragam di kemudian hari memberatkan bahkan menimbulkan konflik interaksi antar siswa, perlu diambil tindakan lebih lanjut, Karena sejatinya, berseragam ataupun tidak, pembelajaran harus tetap bernafaskan humanisme.

Daftar Pustaka:

Ahmadi, Dadi. 2005. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Bandung: Universitas Islam Bandung. Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005.

‌Anugrah Andriansyah. 2021. Pembatalan SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah Disesalkan. Diakses 7 September 2021, dari laman: https://www.voaindonesia.com/a/pembatalan-skb-3-menteri-soal-seragam-sekolah-disesalkan/5883011.html

Arfanda Siregar. 2021. Robohnya Seragam Kami. Diakses 8 September 2021, dari laman: https://nasional.sindonews.com/read/343316/18/robohnya-seragam-kami-1613995323/

Dewi Nurita. 2021. MA Batalkan SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah, Setara: Kemunduran. Diakses 7 September 2021, dari laman: https://nasional.tempo.co/read/1460895/ma-batalkan-skb-3-menteri-soal-seragam-sekolah-setara-kemunduran

Farid Assifa. 2018. Dedi Mulyadi Sebut Seragam Sekolah Seharusnya Tidak Wajib. Diakses 8 September 2021, dari laman: https://regional.kompas.com/read/2018/07/16/13375471/dedi-mulyadi-sebut-seragam-sekolah-seharusnya-tidak-wajib

Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Agama Republik Indonesia. Nomor 02/Kb/202l, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah Yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah

Lumsden, Linda; Miller, Gabriel. 2002. Dress Codes and Uniforms. Alexandria: National Association of Elementary School Principals. Diakses pada 07 September 2021 di laman https://www.govinfo.gov/content/pkg/ERIC-ED465198/pdf/ERIC-ED465198.pdf.

Sonia, G. 2021. TERUNGKAP, Ini Latar Belakang Terbitnya SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Seragam dan Atribut. Diakses 8 September 2021, dari laman: https://galamedia.pikiran-rakyat.com/news/pr-351377844/terungkap-ini-latar-belakang-terbitnya-skb-3-menteri-tentang-penggunaan-seragam-dan-artibut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun