Seragam sekolah seolah menjadi identitas siswa di Indonesia, warna merah untuk Sekolah Dasar (SD), warna biru untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan warna abu-abu untuk Sekolah Menegah Atas (SMA) ataupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Meski telah menjadi identitas, nyatanya aturan mengenai seragam ini menuai polemik dari masyarakat umum, khususnya orang tua murid. Banyak isu bertebaran terkait seragam sekolah ini dan isu inipun seakan menjadi isu tahunan dunia pendidikan.
Mulai dari isu penggantian seragam sekolah, penghapusan seragam sekolah, bahkan hingga isu seragam sekolah dengan keyakinan agama.
Isu ini kemudian memanas setiap kali masa kenaikan kelas ataupun kenaikan jenjang di pertengahan tahun. Beberapa rubrik pendapatpun diisi dengan berbagai narasi terkait seragam sekolah, ada yang berpendapat bahwa seragam sekolah hanya demi bisnis semata, ada yang beranggapan bahwa seragam sekolah menghalangi ekspresi keagamaan, dsb.
Seperti pendapat yang dilontarkan Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwarkarta dalam Farid Assifa, (2018, Kompas.com) pada 16 Juli 2018, ia meminta sekolah untuk tidak mengharuskan siswa mengenakan seragam. Ia juga berkata bahwa siswa dari keluarga kurang mampu boleh pergi dengan apa adanya.
Ia menyebut bahwa fokus pendidikan kita bukan pada seragam. Tetapi, pada peningkatan kemampuan siswa dalam menyerap materi-materi pendidikan. Namun begitu, pemerintah sendiri tetap memberlakukan seragam sekolah pada sekolah negeri dengan berbagai perubahan tergantung menteri yang menjabat.
Isu lain muncul saat Elianu Hua, orang tua Jeni Cahyani Hua, yang merupakan siswi di SMKN 2 Negeri Padang merasa keberatan dengan kewajiban memakai hijab, padahal dirinya seorang non-muslim. Keberadaan video yang Eliana Hua bagikan dalam akun media sosialnya menjadi viral dan menjadi isu hangat di awal tahun 2021 (Gina Sonia, 4 Februari 2021, Galamedianews.com). Kemudian Pemerintah, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bersama dengan Menteri Dalam Negri (Mendagri) Tito Karnavian dan Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama (Menag) mengambil keputusan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri. Terdapat 6 poin utama dalam SKB 3 Menteri tersebut yaitu:
- Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut:
- tanpa kekhasan agama tertentu; atau
- dengan kekhasan agama tertentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut
- Dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
- Pemerintah daerah dan/ atau kepala sekolah sesuai dengan kewenangannya wajib mencabut peraturan, keputusan, instruksi, kebijakan, atau imbauan tertulis terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah yang dikeluarkan oleh kepala daerah dan/atau kepala sekolah yang bertentangan dengan Keputusan Bersama ini paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Bersama ini ditetapkan.
- Pemberian sanksi apabila kepala sekolah tidak melaksanakan SKB tersebut. Pemda, Gubernur, Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri), Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), Kemenag (Kementrian agama) dapat memberikan sanksi kepada instasi bawahannya apabila terjadi pelanggaran selama pelaksanaan SKB.
- Pengeculian bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang beragama Islam di Provinsi Aceh sesuai kekhususan Aceh.
Namun begitu, SKB 3 Mentri ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Perkara ini diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat dengan perkara nomor 17 P/HUM/2021. Dengan demikian SKB 3 Mentri dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA ini jelas menuai kontroversi, Direktur Riset Setara Institute, Halili (dalam Dewi Nurita, 9 Mei 2021, Tempo.co), menyatakan bahwa pembatalan SKB 3 Mentri ini menjadi langkah mundur dalam upaya penciptaan lingkungan sekolah yang moderat.
Pihak KPAI, menurut Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam hal ini juga ikut menyayangkan keputusan majelis hakim atas pembatalan SKB 3 Mentri tersebut. Ia juga menambahkan bahwa dalam upaya mendidik anak harus didasarkan pada kesadaran diri anak dan bukan berdasar paksaan, termasuk juga dalam mendidik menutup aurat (dalam Anugrah Andriansyah, 08 Mei 2021, Voaindonesia.com).
Seragam sekolah sendiri akan terus menimbulkan pro-kontra, dan akan terus menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia. Dalam Linda Lumsden dan Gabriel Miller (2002) seragam sekolah sendiri mempunyai kekurangan dan kelebihan, di antaranya:
- Kelebihan
- Enhanced school safety atau dapat meningkatkan keamanan sekolah;
- Improved learning climate atau dapat meningkatkan iklim sekolah
- Higher self-esteem for students atau dapat meningkatkan harga diri siswa
- Less stress on the family atau dapat mengurangi rasa stres di keluarga, serta
- Reducing socioeconomic tensions among students atau dapat mengurangi kesenjangan sosial siswa.
- Kekurangan
- Bertentangan dengan hak-hak sipil, yaitu kebebasan. “… dictating what students wear to school violates their constitutional right to freedom of expression”
Dalam salah satu tulisan Arfanda Siregar, Robohnya Seragam Kami (2021, Sindonews.com), ia menjelaskan bahwa kewajiban penggunaan seragam sekolah membuat pengeluaran ekonomi keluarga semakin besar, karena orang tua diharuskan membeli seragam baru bagi anak mereka. Juga ia berpendapat, seringkali pengadaan seragam sekolah yang dilaksanakan sekolah menjadi ‘lahan kesempatan’ sekolah untuk mengambil keuntungan.