Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Khal-Ra

24 Juli 2022   13:16 Diperbarui: 24 Juli 2022   13:18 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : www.corbinkylibrary.org (Fransesco Ungaro)

~((*))~((*))~((*))~

"Ehh, apa ini?" bertanya Ra dengan wajah miskin ekspresi.

"Kafein," sebaliknya Khal, jawabannya kaya akan luapan emosi. Lelaki itu  mendengus sebal, super kesal pada dirinya yang bebal. Tersadar bila lawan bicaranya ini tangguh dan kebal. Betapa tidak, hal seperti ini sudah berjalan tiga tahunan dan 'sogokannya' itu masih juga membal. Memang sih...

Jeda sekejap. Hening merayap. Ra sibuk menimang silinder coklat gula aren berdisain stylish nan keren. Mungkin dipesan khusus di toko onlen? Ra membatin. Kerling matanya mendapati Khal tengah disibukkan dengan tetek bengek persiapan morning duty-nya. Terkesan lelaki itu, tak ambil peduli pada nasib sekeping hati yang direpresentatifkannya via perhatian kecil lagi manis dimana telah dilakukannya selama tiga tahun terakhir ini...persistently!

"Tumben, biasanya paper cup?" tanya Ra. Kepalanya tertunduk. Mulutnya terkatup, meski keluhnya sangat ingin meletup. Pantaskah ia mendapatkan  semua ini? Kelopak matanya cepatmenutup. Disana tampillah dengan nyata sekian ratus gelas kertas. Orang akan melihatnya aneh. Untuk apa gelas-gelas kertas itu dibersihkan, dipipihkan agar tak merampok ruang, lalu disimpan dalam kotak jernih akriklik untuk sesekali dipandang, dikeluhkan, kemudian ditangisi diam-diam?? Tak hanya aneh, orang akan mencapnya sebagai pesakitan...

"Paper cup?" tanpa terbersit ingin menatap lawan bicaranya, Khal balik bertanya. Tangannya gesit mengubrak-abrik laci meja. "Hmm, siapa ya yang kemarin teriak-teriak 'Kill the Cup and Save Our Forest!' sambil berkata begitu, Khal melongok ke dalam laci meja. Sesuatu yang dicarinya raib tah kemana.

Ra tersenyum sumir. "Orang itu pasti sok idealis banget. Padahal dunia tahu, Starbahkkk dan seluruh franchise-nya adalah donatur terbesar perusak hutan, hmm?"

"Orang itu...," Khal berdiri, kedua tangannya membentang memegang lini meja. Gesture-nya mengatakan ia bersiap menjabarkan sosok yang disebut sebagai 'orang itu' dengan sangat detail seakan ia telah sejiwa, sangat mengenal 'orang itu'.

"Eh, ada apa lagi selain kafein?" buru-buru Ra mematahkan perkataan Khal. Sepagi ini, oh, sungguh ia tak ingin kehilangan muka. Ataupun sekedar merebak rona merah menanggung malu. "Ada racunnya ngga?" seraya menyengir lalu tumbler itu ditempelkan ke bukit pipinya, memindai derajat kehangatannya. Dengan begitu bila rona merah itu sudah pun ada, maka takkan terlalu kentara, kan?

"Ada," Khal menodongkan moncong obeng ke arah Ra, sebelum ia menyuruh perangkat itu menjelajah setiap sela untuk menemukan sesuatu yang dicarinya. Atau aku telah memindahkannya? Khal membatin sambil matanya tajam mengawasi setiap penghuni laci meja kerjanya itu.

"Adakah?" Ra mengulang pertanyaan Khal. Nadanya terdengar tak percaya. "Berapa persentasenya?" sudut mata Ra somehow memicing. Katup bibirnya dirapatkan namun tetap gagal menyembunyikan senyum kecilnya.

Dan meski samar, senyum itu sukses membuat Khal gusar. "Berapa persentasenya?" Khal memulangkan pertanyaan itu. Nada geramnya mengalun berat sangat. Meninggi di akhir gema. Tangannya tersilang di dada. Kakinya dipindahkan ke atas meja dengan kasar. Fokus matanya menyengat tajam ke arah Ra. Cukuplah sudah mewakili betapa ia sangat terganggu dengan pertanyaan trivia semacam itu. Sesuatu yang dicarinya dari dalam laci mendadak kehilangan urgensi.

Di seberang sana, Ra sama sekali tak menyadari badai yang nampaknya kapan saja bisa berubah menjadi tornado. Gadis itu sibuk memindahkan profil Sang Tumbler ke dalam gallery cell phone-nya.

"Kau benar," Khal berkata. Memandang sekilas zona kerjanya yang tampak kian semrawut. Well, memang tak pernah rapi, tapi belum pernah se-chaos ini. "Ya, mengapa tak  terpikir untuk menaruh  racun dengan persentase full memabukkan hingga level kepayang?! Ya-ya, kau benar! Betapa bodohnya aku!" lelaki itupun tergesa keluar ruangan yang mendadak terasa pengap sesak.

Setelah itu jeda kembali mengambang. Lama berselang tanpa suara. Ra duduk  berkesendiri. Lehernya mematah lunglai. Di atas lantai, selularnya tergeletak. Layar datarnya memburam oleh tetes demi tetes yang luruh dari air mata pedih Ra. Kau benar. Kau itu bodoh. Sangat bodoh. Mengapa pula kau harus menyia-siakan tiga tahun hanya untukku? Batin Ra menjerit. Tubuhnya bergidik penuh sakit.

~((*))~((*))~((*))~

Di atas atap gedung, Khal berdiri mematung. Sapuan angin mengatakan mereka bersedia menampung semua bebannya. Pun, berbaris perdu dan berbagai pepohon kerdil lainya yang so well-arranged hingga membentuk sky park yang eco friendly itu serempak berayun, pucuk dedaunnya melambai, riuh berbisik 'Ungkapkanlah wahai kau putra Adam dan Hawa, akar dari prahara yang membuatmu gundah gulana...'

Khal tak menghiraukannya. Pandangannya jauh menerawang. Lurus menembus siluet gedung-gedung pencakar langit. Angannya terbang merindui Bunda. Email, voice call, video call, semua tak sanggup menjadi penawar akan dahaga kerinduannya. Saat ini Khal sangat ingin memeluknya. Bunda yang sangat dicintainya melebihi cinta kepada perempuan yang rahimnya pernah ia huni. Bunda yang ceria, tangguh, gesit dan tak pernah mengeluh itu, siapa mengira bila ternyata selama hidupnya ia telah menanggung beban  masa silam nan kelam.

"Bunda sangat berdosa, Khal. Dan sangat ingin meminta maaf."

Mata Khal terpejam. Mulutnya membungkam. Saat-saat seperti itu, Khal hanya bisa memeluknya erat. Namun seerat apapun dosa-dosa telah begitu kuat menjerat.

"Betapa malangnya ia, Khal," ucapnya dengan sedu-sedan nan memilukan. "Dan betapa kejamnya Bunda kala itu."

Bicara tentang dosa, siapakah di dunia yang tak berdosa? Khal menelan ludah getir. Kerongkongannya ikut tersakiti. Klaim Bunda akan dirinya adalah sosok yang kejam, tak berhati nurani, egois. Selalu begitu, tak pernah ada yang bisa mengubahnya. Padahal, ooh, kalau Bunda memang sekejam itu, tentu Bunda akan membiarkannya terlantar di pinggir jalan atau menitipkannya di bilik-bilik panti dengan segala hal harus --bahkan untuk secuil kasih sayangpun-- harus mengantri. Tapi Bunda merengkuhnya dengan kasih sayang tak terbatas, terlebih ketika mommy-nya sendiri pergi. Khal mengingat dengan jernih dan perih, momen saat mommy tergopoh mendorong luggage bag. Dia yang terkecil bersama dua abangnya berebut menggelayut pada mommy. Sementara di sudut ruang tamu, daddy duduk terkulai, ditemani botol-botol berhawa tuak menyengat. Berserak tak tergapai. Mommy pergi. Tak menoleh lagi. Hanya syal di lehernya yang terus melambai, senarai dengan tangis tiga bocah berderai-derai. Khal mengenang masa itu dengan hampa. Bicara tentang luka, siapakah di dunia yang tak pernah  terluka?

Ia sudah cukup besar untuk mengingat semuanya. Butuh waktu dua tahunan untuk kembali kepada tatanan dunia yang normal. Dan itu berawal di musim panas yang cerah, ketika petugas dinas sosial yang berbeda, untuk ke sekian kalinya, datang mengetuk pintu. Kali ini seorang yang sangat Asia. Malaikat itu memiliki senyum yang hangat. Ia bicara dengan tonasi sangat ramah.

"Hello, gentlemen! My name is Bunda!"

Khal ingat, kala itu, ia berdiri menempel sisi pintu seraya memaksakan dagunya diangkat setinggi mungkin, agar bisa melihat sosok tamu yang datang dengan suara berlogat asing? aneh? yang menggelitik telinga dan tidak dimengerti namun sangat menghipnotis. Bahkan ia secara spontan, terbata mengeja: Bun-daa? Ia sendiri terkejut. Bagaimana bisa?

"Good boy!" perempuan berparas oriental kental itu mengacak rambutnya. "Yeah, right. That's how you're gonna call me from now on. B-u-n-d-a... Bun-da!"

Perlahan, Khal membaringkan Bunda. Ia yang sekarang berangsur kehilangan penglihatan, melemah, meringkih setiap kali masa berpuluh tahun itu datang menghantui. Khal lalu meredupkan lampu. Setelahnya, diam-diam mencuri sehelai foto dari dalam laci meja rias Bunda. Potret buram yang akan ia ekstradisi keluar dari Kanada.

~((*))~((*))~((*))~

...Dimana Kau?...

Ra melirik pesan singkat itu. Senyumnya terbit tipis, setipis gerimis yang ragu meluruh namun selalu sukses mengoyak serupih debu. Perlahan Ia  hanya membelai layar yang kembali pekat.

...Sudah makan?...

Ra tak bereaksi, hanya menatap sendu pesan kedua itu hingga melenyap dalam layar gelap. Pesan berikutnya akan terbaca : ...[Apa yang sedang kau lakukan?]... Mengingat ini, senyum Ra pun sedikit mengembang. Ia tahu tebakannya selalu jitu. Tiga tahun sudah dan ia tak pernah salah. Bahkan tak perlu bakat khusus semacam pembaca kartu Tarot untuk menebak pertanyaan keempat. ...[Sedang memikirkanku?]...

Bertahun sudah ia diserbu pertanyaan sama, namun Ra tak pernah jemu. Lebih kepada hati yang tersayat dan sekaligus terlimpah mukjizat bila memikirkan bagaimana bisa seseorang, dan ia adalah seorang pria dengan dunia di tangannya, terus saja mengirimkan pesan yang sama di waktu yang sama, meski haknya akan balasan tak satupun ia dapatkan. Dan seperti telah berjalan sekian tahun ini, template terakhir sebagai pengantar tidur Ra akan terbaca: ...Baiklah, selamat malam Batu Karang. Beristirahatlah dan berhenti memikirkanku. Usah risau tentangku yang kan terus menjadi tetes hujan hingga kau merapuh dan tergenanglahku dalam cerukmu...

Ra merinding. Hatinya merintih perih. Sesungguhnya kita hanya sedang saling menyakiti. Mengapa kau tak kunjung berhenti, wahai Pujaan? Ra memeluk erat selimut lembut. Membenamkan wajah sedalam-dalamnya. Tak satupun malam ia lalui tanpa tangis. Tak satupun pagi ia rayakan tanpa kelopak mata membengkak. Malam harinya adalah siksa karena gusar mempersoalkan 'kejahatannya' yang telah terlampau dalam. Menyakiti sekeping hati yang terus memberi, terus menanti, bersabar dalam uji, dan secara menakjubkan bertahan hingga hari ini.

Yaa, harus kusudahi ini. Karenaku tak ingin menjadi lebih keji. Aku harus segera membuka diri. Agar lelaki itu bisa berhenti. Dan mereka berdua bisa memerdekakan diri. Ra bergegas mengayunkan langkah kaki. Ra berlari. Terus berlari. Mengusung keputusannya yang pasti. Ketika hujan pun memutuskan untuk melebat deras. Dan petir galak menghardik. Lidah-lidah kilat lepas kendali, berkelebat, saling melesat, menjadi penerang bagi gelap malam itu. Cahaya yang mengantarkan Ra pada satu-satunya destinasi yang lama ingin ia sambangi.

Ra berdiri termangu. Wajahnya mengapas. Tengadah mencari celah di pandang matanya yang mengabur oleh hujan yang terus terhambur.

...Turunlah...

...Ada yang harus kuceritakan kepadamu...

...Bila kau setinggi itu...

...Bagaimana kubisa mencapaimu?...

Kotak-kotak beton berdiri menggagu. Tegar tak terganggu meski kelebat kilat terus menampar komplek hunian megah nan menjulang itu.

~((*))~((*))~((*))~

Di rungan nyaman, terkepung jendela-jendela berkaca gigan berkemampuan meredam hiruk-pikuk hujan yang tengah kemaruk. Menyempurnakan kemewahan itu, terdengar alunan music yang menentramkan kalbu.

Khal meraba saku celananya. Di sanalah akhirnya telepon genggamnya berada. Ia memang tak ijinkan dirinya memiliki asa, meski untuk sebaris kalimat tersingkat pun. Ia tahu takkan mendapatkan itu. Tiga tahun telah membuktikan kekerasan hati nan tak tertandingi. Baginya, ceklis ganda warna biru muda cukuplah sebagai penanda nun di sana gadisnya masih terjaga dan telah membaca pesannya. Itu saja. Ya, semudah itulah mengusir gundah gulana.

Hmm, sedang apa dia? Meringkuk dalam selimut lembut? Atau sibuk menghitung curah hujan dari balik jendela kamar yang menyudut sambil menekuk lutut? Yeah, dua hal itu saja yang paling mungkin dia lakukan saat ini. Mustahil, dia ada di luar sana, berdiri tak tentu tuju, membiarkan tubuhnya kuyup oleh hujan yang sangat jumawa malam ini.

"Oh My God! That's fu@king smile! No! Please... hapus senyum itu segera!" Jei menjerit lebai.

"Kenapa si?!" Khal merespon santuy.

"Jijik tawww?! Tidaaak, aku tak mau menebak subyek penyebab senyum menjijikanmu itu tersungging! No! No! And No!" Jei menyilangkan kedua belah tangan. "Aku sungguh tak ingin tahu mahluk aneh yang saat ini tengah gentayangan di alam halu-mu itu!"

"Mengapa tidak? Ayo, tebaklah!" dan meluaslah senyum Khal karenanya. Senang benar ia kala menggoda temannya.

"For God's sake, Khalyle! Apa si yang kau lihat darinya? Okelah, dia memang tak seperti yang dianalogikan Boris Johnson, uhmm.... A letterbox?" alis Jei bertaut tajam. "Dari sekian banyak perempuan...and you still stuck on her?! Damn! Kau bahkan bisa memilih yang terbaik, tercantik, terkaya, apapun yang kau inginkan, you know! Ini, apa? Tak ada apapun yang bisa kau lihat selain seraut wajah yang bahkan sangat biasa saja. Seriously, Man! Benar-benar kutak habis pikir!"

"Eits, Hati-hati dengan kosakata yang kau pilih!" tinju Khal menghantam meja. "Jangan lupa, aku  bisa mengeluarkanmu dari ruangan ini, membuatmu menyesal seumur hidupmu dan membuatmu miskin hingga tujuh turunanmu! Itupun kalau kau bisa berkembang biak!" Khal menggertak. Nadanya super serius. Rahangnya seketika menegak.

"Astaga! Darimana kau mengutip kalimat keji itu?!" mata Jei terbelalak tanpa sediktpun merasa terganggu dengan ancaman itu. Okey, So sorry. Tapi aku tetap boleh bilang dia jelek kan? Karena memang dia tak menarik!" Jei bertahan dengan hak asasinya mengeluarkan pendapat.

"Different strokes for different folks," cetus Khal acuh. Ia mengeluarkan selularnya. Mendadak teringat pada sesuatu yang telah hilang. Usai mengarsir sandi, lalu mulai mengorek isi gallery. Dahinya berkerut saat melihat sebuah foto. Dimana terakhir kuletakkan ini, hmm?

"There's no accounting for taste, ye?" jawab Jei penuh mafhum. "Ehmm, setidaknya, pernahkah kau berpikir, ada sesuatu yang dia sembunyikan?" kali ini Jei bertanya lebih berhati-hati.

Khal bungkam. Wajahnya tenggelam dalam perenungan. Benaknya terus berupaya menggelar ulang ragam aktifitasnya beberapa hari silam sebelum sesuatu yang amat berharga itu menghilang.

"Di era nguleg sambel aja bisa jadi sebuah konten, Brad! Dia bahkan tidak eksis dimanapun!  No Efbee, Aigee, Tweety, tidak dimanapun! Bukankah ini patut dicurigai? Mengapa dia tak sebagaimana perempuan muda lainnya yang giat berkompetisi unjuk diri? Something fishy? Dodgy?" Jei kembali bertutur. "Apa kita boleh memanggilnya... a recluse? misanthrope?" uajrnya lagi seperti bertanya kepada dirinya sendiri, karena Khal masih asyik merunut alur demi alur dengan harapan segera keluar dari terowongan gelapnya.

"Letterbox?" akhirnya Khal buka suara. "Apa kau bilang, recluse? Kau benar-benar ingin mati rupanya, ha?" Khal mengembalikan selularnya ke tempatnya semula. Antara terganggu dengan investigasi beruntun dari Jei, atau menyerah sesaat karena terowongan itu tak hanya gelap tapi juga pelit sekali akan clue. "OK. Sebagai head of HRD aku paham kau bisa tahu sedetil itu tentangnya yang lenyap dari ajang pamer di media sosial apapun. Fine!" kata Khal dengan santainya, kemudian, "Tapi petualanganmu kurang jauh, surfing-mu kurang mendalam, Mr. Manager! Ada satu tempat yang tidak pernah kau tahu bahwa sesungguhnya ia selalu eksis! Selalu ada! Selalu update!"

"No way!" Jei sama sekali tak terpancing. Dan tak mempercayai tempat itu ada. Dia yakin sangat totalitasnya mengorek data personal, mengintai kesehariannya di kantor bahkan sampai mengutus seseorang untuk memata-matai satu-satunya karyawati yang telah bekerja sejak korporasi ini berdiri hingga hari ini. Ia yang bukan sesiapa hingga Khal datang dari habitat asalnya di Kanada lalu menjadikannya sedemikian istimewa. Ia yang datang paling pagi, pulang dikala kantor sudah sepi, tidak pernah cuti, tidak untuk alasan sakit, menstruasi apalagi family emergency reason for missing work! It's No...and Never! Ia yang tak pernah tampak tertawa terbahak namun penuh senyum saat berinteraksi. Ia yang sangat irit berkata-kata namun kerja tak kenal lelah, lengah dan keluh. Ia yang tangguh meski beberapa orang telah dibayarnya untuk menyentuh hati yang Jei pikir akan rapuh oleh cibir dan bully. Oh, andai Khal tahu, maka benar kematiannya pasti datang bersegera. Ia yang selalu tampak sendiri namun sigap hadir disetiap event, dan disaat setiap elemen membutuhkan kinerja remeh temeh yang orang lain akan enggan melakukannya karena gengsi, harga diri dan sebab menjaga image karena kedudukan, jabatan, dan segala alasan mengada-ada. Meniup berpuluh balon bakal ornament di acara kantor, melipat beratus origami lalu menyusunnya sendiri, dan melakukan apapun yang diluar jod description-nya sendiri. Owh, Jei bergidik ngeri membayangkan yang telah ia lakukan pada gadis yang tak pernah menanggalkan senyumnya kala berjumpa dengannya meski tahu betapa kejam dan tak berperi-humani kepala personalianya itu. Baiklah, setelah ini aku takkan membantah bilapun Khal deklarasi gadis itu titisan Lady Di. Alih-alih menutup mulutnya, Jei membukanya lebar lalu menggelontorkan minuman sebanyak yang perutnya mampu tampung.

"Here!" telunjuk Khal menembak dahinya sendiri. "Dia eksis di kepalaku dan dia real, ya? Segalanya tentang dia is real! Yang kau klaim banyak bertebaran itu semuanya fake! Itu kalau kau berani jujur!" penuh kepuasan Khal berkata.

Diskusi malam itu berakhir dengan kepala Jei tertelungkup di atas meja. Seperti sudah kerap terjadi. Hanya teler yang bisa menghentikan orasi si Mulut Ember, Jei. Khal mengawal di belakang pasukan kecil yang menggotong tubuh tambun Jei, serta memastikan teman semasa kecil sekaligus partner kerjanya itu tersungkur aman di atas kasur dalam kamar apartemennya. Tak peduli akan segala muntahan dan urine bau comberan yang mungkin akan menenggelamkannya. Esok jelang tengah hari, pria lajang di penghujung paruh abadnya itu toh akan kembali muncul di gym, berjalan gontai dengan mata setengah mengantuk, bahu berselendang handuk, lalu duduk menatap hampa Nordic Track 1750 tempatnya biasa berlari, mengumbar tenaga, demi otot jumawa meski semuanya sia-sia.

Dalam perjalanannya menyusuri koridor sepi namun ramai sorot cctv, semestinya Khal tak perlu terintimidasi melihat pintu besi membuka sendiri lalu muncul dari dalamnya seorang sekuriti. Banyak momentum telah ia lalui, seolah takkan ada habisnya hal aneh yang akan ia temui, dan kini......sekuriti?? Dengan wajah yang.........that happy?? Just by looking at me?? Kerutan di kening Khal bermili-senti. Wow, ada apa ini?

"Selamat malam, Tuan!" pria berseragam itu sigap memberi hormat.

Sumringah. Karena jiwa yang ramah? Atau karena tangan kirinya menenteng...hadiah?? Aah, ya, itu pastilah titipan untuk si Jei bedebah. Khal membalas sapaan itu dengan anggukan kecil.

"Saya bersedia menerimanya dan berjanji menyerahkannya langsung kepada Anda setelah memastikan dengan segala prosedur yang telah ditentukan bahwasanya ini bukanlah sesuatu yang berbahaya namun penting sekali dan penuh privasi tampaknya."

Hmm, ya, bahasa personel pembawa amanah keamanan memang SOPnya begitu. Baku dan penuh ketegasan. Lagi Khal harus mematahkan lehernya untuk membalas penghormatannya agar setara.

Si Bapak yang tak pernah lalai balok pentungannya itu lantas mengusung 'hadiahnya', memberikannya pada Khal, membungkuk sedikit lalu undur diri, dengan tak lupa smiling in dignity, baginya kepuasan tersendiri menjalankan his duty sepenuh hati meski sekedar mengantarkan....kotak mini?? Itulah entitas dedikasi...

Khal terpana. Sebuah kotak akrilik diam dalam pangkuan tangannya. Sesuatu yang ia kenali, yang telah lama ia cari, tampak tergeletak di dalamnya. Oh My God! Just what in the world is going on here? Khal terpukau dibuatnya. Foto buram yang dijaganya dengan ekstra hati-hati sejak dari Kanada hingga ke negeri ini dan sangat ia yakini hanya satu-satunya yang ada di dunia. Namun Khal harus takluk oleh fakta, meski hatinya sulit sekali untuk percaya, foto itu kini sepasang adanya. Yang satu foto asli, sementara kembarannya dalam bentuk guntingan koran menguning karena lamanya usia. Tak hanya itu, sehelai kertas dengan berbaris pesan yang pasti ditulis sepenuh hati menilik bentuk handwriting yang berdiri tegak rapi, serapi hasil ketikan IPhone terkini. Kening Khal berdakik-dakik. Mustahil ia tak mengenali handwriting seindah ini. Ra...???

...Kau mencarinya?...

...ini aku...

...Entah bagaimana kau  bisa memiliki sesuatu yang bahkan  aku sendiri tak pernah memilikinya...

Foto buram itu meregang di tangan Khal yang kaku menegang. Khal terhenyak. Ia lalu menerobos pintu. Menghajar tombol lift berulang kali. Menghentakan kaki agar gerbong liftnya meluncur turun secepat yang ia ingini. Iapun menerjang barikade sekuriti. Dan terus berlari. Tepat ketika hujan memutuskan berhenti. Petir tak lagi cetar terdengar. Namun klakson mobillah yang menggelegar. Dan kilat tergantikan cahaya gemerlap dari jalanan yang mampat oleh berjubal kendaraan roda empat. Khal mengumpat. Keparat. Keparat. Minggir kalian semua wahai Keparat. Nafasnya beradu pacu. Saling buru. Hingga pelarian itu terhenti di jalanan sempit buntu. Di sana Khal hanya sanggup berdiri termangu. Mata basahnya menyorot penuh luka dan pilu.

Bukalah! Demi Tuhan, muncullah! Hadirlah sekarang juga di hadapanku!

Ini aku! Ada yang harus kutanyakan padamu! Tidak, tapi ada banyak yang harus kita bincangkan wahai kau yang telah lama kumau!

Meski air mata tumpah. Tinju berkali memecah. Tak sesiapapun tergugah. Pada pintu yang menutup rapat itu tertera selembar tanda "Oper Kontrak Murah. Hubungi segera nomor di bawah"

"Rrraaaa...!!!"

Duhai, sungguh pilunya mendengar jeritan Khal jelang dini hari itu...

~((*))~((*))~((*))~

Bersambung yaaa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun