Khal meraba saku celananya. Di sanalah akhirnya telepon genggamnya berada. Ia memang tak ijinkan dirinya memiliki asa, meski untuk sebaris kalimat tersingkat pun. Ia tahu takkan mendapatkan itu. Tiga tahun telah membuktikan kekerasan hati nan tak tertandingi. Baginya, ceklis ganda warna biru muda cukuplah sebagai penanda nun di sana gadisnya masih terjaga dan telah membaca pesannya. Itu saja. Ya, semudah itulah mengusir gundah gulana.
Hmm, sedang apa dia? Meringkuk dalam selimut lembut? Atau sibuk menghitung curah hujan dari balik jendela kamar yang menyudut sambil menekuk lutut? Yeah, dua hal itu saja yang paling mungkin dia lakukan saat ini. Mustahil, dia ada di luar sana, berdiri tak tentu tuju, membiarkan tubuhnya kuyup oleh hujan yang sangat jumawa malam ini.
"Oh My God! That's fu@king smile! No! Please... hapus senyum itu segera!" Jei menjerit lebai.
"Kenapa si?!" Khal merespon santuy.
"Jijik tawww?! Tidaaak, aku tak mau menebak subyek penyebab senyum menjijikanmu itu tersungging! No! No! And No!" Jei menyilangkan kedua belah tangan. "Aku sungguh tak ingin tahu mahluk aneh yang saat ini tengah gentayangan di alam halu-mu itu!"
"Mengapa tidak? Ayo, tebaklah!" dan meluaslah senyum Khal karenanya. Senang benar ia kala menggoda temannya.
"For God's sake, Khalyle! Apa si yang kau lihat darinya? Okelah, dia memang tak seperti yang dianalogikan Boris Johnson, uhmm.... A letterbox?" alis Jei bertaut tajam. "Dari sekian banyak perempuan...and you still stuck on her?! Damn! Kau bahkan bisa memilih yang terbaik, tercantik, terkaya, apapun yang kau inginkan, you know! Ini, apa? Tak ada apapun yang bisa kau lihat selain seraut wajah yang bahkan sangat biasa saja. Seriously, Man! Benar-benar kutak habis pikir!"
"Eits, Hati-hati dengan kosakata yang kau pilih!" tinju Khal menghantam meja. "Jangan lupa, aku  bisa mengeluarkanmu dari ruangan ini, membuatmu menyesal seumur hidupmu dan membuatmu miskin hingga tujuh turunanmu! Itupun kalau kau bisa berkembang biak!" Khal menggertak. Nadanya super serius. Rahangnya seketika menegak.
"Astaga! Darimana kau mengutip kalimat keji itu?!" mata Jei terbelalak tanpa sediktpun merasa terganggu dengan ancaman itu. Okey, So sorry. Tapi aku tetap boleh bilang dia jelek kan? Karena memang dia tak menarik!" Jei bertahan dengan hak asasinya mengeluarkan pendapat.
"Different strokes for different folks," cetus Khal acuh. Ia mengeluarkan selularnya. Mendadak teringat pada sesuatu yang telah hilang. Usai mengarsir sandi, lalu mulai mengorek isi gallery. Dahinya berkerut saat melihat sebuah foto. Dimana terakhir kuletakkan ini, hmm?
"There's no accounting for taste, ye?" jawab Jei penuh mafhum. "Ehmm, setidaknya, pernahkah kau berpikir, ada sesuatu yang dia sembunyikan?" kali ini Jei bertanya lebih berhati-hati.