Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Terpasung

3 Juli 2019   17:01 Diperbarui: 3 Juli 2019   18:06 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aahh!"

Darahku kian mencurah. Tak perlu lagi provokasi, kini deras memancar sendiri. Muncrat hingga meraih tembok-tembok perkasa yang meruntuh, melepas belengguku seketika. Sesakti itukah kekuatan darahku? Kotak Pandora seluas dua meter persegi itupun terbuka. Seluruh isi kemegahannya porak poranda. Masing-masing meneriakkan pekik kemerdekaan. Merdeka!

Antara limbung entah bingung atau lighthead separuh linglung, hingga terasa benar sensasi kepalaku berputar ringan. Lalu terdengar suara runtuh bergemuruh seiring bunyi berdebum yang mengacaukan seisi kota. Jerit sirine bersahutan, adu suara menjadi yang paling kuat melengking. Truk branwir susul-menyusul dengan sedan polisi. Semua beradu kencang agar menjadi yang tiba terdahulu, saksi terdepan sebuah bencana, bisa berefek pada kenaikan pangkat dan lencana.

Seperti rajawali si raja kebebasan, aku terbang seringan kapas. Melayang-layang di antara arakan awan, tak kuhalau angin yang kelembutannya sanggup mengoyak rapuh tubuhku. Sayup kudengar Tuhanku berwahyu: Proses akan membuatmu tertempa. Maka kesabaran atasKu itu yang membuatku berkenan pada doa dan pujamu. Sambutlah kematian...sebab ia datang tuk membebaskanmu. Gempa inilah jawabanKu atas tangismu siang dan malam.

Kupejamkan mata. Menikmati semilir yang membuat terlena. Mensyukuri betapa lelahku impas sudah. Karena kutelah bercerita, tentang sebuah rahasia dengan ending yang mustahil kuketahui. Seperti berita terkini yang sepekan full tersorot malang melintang di tribun-tribun news mengundang banyak keingintahuan. Jari, mata, dan mulut para pewarta, sekonyong-konyong menjadi yang paling bernas, tak terpasung oleh broker-broker pengendali berita demi kelanggengan harta dan tahta. 

Mereka kembali pada ide idealis mengupas berita berdasar fakta nyata. Tentang sebuah kota yang baru diketahui berada tepat di bawah tiga lempeng tektonik. Tentang gempa berskala Richter sekian-sekian. Tentang hunian vertical megah nan mewah yang berakhir sebagai sampah. Tentang dua sundal yang tewas tanpa kehormatan, berton-ton material kaca kantilever dan reruntuhan gedung memasungnya sebelum Basarnas tiba. Tentang isu-isu tak patut yang spontan viral, sanggah dan bantah bersilang-sengkarut dalam upaya mati-matian menyangkal. Ataupun tentang mayat sesosok pria beridentiti tak pasti, tergeletak pada situs bencana, tepatnya di atas rerumput taman di sisi kolam permandian yang semula adalah eden bagi penghuni komplek apartemen berdana milyaran. Tak terhindari lagi merekapun terbelit dalam syak wasangka, adu praduga, dan kembali jatuh dalam pusaran kalkulasi untung rugi sebuah tajuk utama ketika yang menjadi noktah sentralnya adalah fakta bahwa seolah-olah mayat itu seharusnya tidak berada di sana untuk ditemukan dalam keadaan…. terpasung.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun