Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Terpasung

3 Juli 2019   17:01 Diperbarui: 3 Juli 2019   18:06 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dia justru beruntung. Darimana dan kapan lagi dia bisa membeli chopper hanya dengan beberapa goresan di punggungnya, hm?" jelas Max congkak.

"Sebesar itu?"

"Apa kamu mau?" bertanya Max dengan alis menukik, kaki panjangnya disilangkan di atas meja bertahta pualam antik.

Dan semangatku lekas menetas. Kalau ada hal yang bisa membuatku bebas, maka aku rela menggadai jiwaku dengan hal itu. Dan berganti belenggu? Sejenak kutergugu.

Melihat betapa lugu dan lucu terbitnya semangatku itu, bahu Max terguncang hebat dalam tawa penuh hina yang secara aneh tak lagi getir kurasa. Aku justru terguncang oleh kenangan akan bahunya yang tanpa cela, mulus dengan aroma surga. Dahulu kala aku mabuk dan tak ingin lekas terjaga karenanya.

"Dengan punggung seperti kulit tikus mol itu?" tanya Max keji. "Beraninya kau bermimpi akan hal itu, huh," wajah cantik itu mulutnya terus saja cetar.

Aku menelan ludah. Mimpiku sontak musnah. Semangat yang nyata terlahir prematur itupun mubah. Dasar bedebah!

Punggung tikus mol katamu, Max? Rasanya belum lama ketika jemarimu yang berkuku kejam itu menggelitik punggungku. Lalu kuntum bibirmu itu gesit menelusur hinggaku tersungkur.

"Aahh!" aku berteriak marah. Bukan pada hina dan lakunya yang menjajah. Apalagi pada kenangan indah. Aku marah karena menyadari kegilaan ini belum game-over.

Lihatlah, jari jemari Max tengah bermain, menari di atas selular cerdas. Dan aku sudah bisa menebak dengan siapa ia berkontak. Prosesi rajah tato itu hanyalah awal. Jerit tertahan, darah mengalir pada punggung berotot yang menggeliat-geliat seperti belatung kepanasan...sungguh, itu semua bukan atraksi unjuk kebolehan diri. Max melakukannya sekedar pemicu gairahnya demi menuju ritual berikutnya yang jauh melenting lebih gila.

Pintu terbuka lagi. Kali ini tak ada outfit hitam bercelemek putih dengan lis berumbai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun