Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

La Fatiha 3

25 Juni 2019   16:26 Diperbarui: 25 Juni 2019   16:43 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Tiga]

***

Selepas menyapa Dhuha, Lala bermaksud membaca buku di teras pendopo ditemani sepiring besar kacang rebus. Namun bukunya seketika dikalahkan oleh view yang lebih menarik di halaman depan, semeter dari tangga pendopo tepat di bawah bergola, spot yang adem, terlindungi dari sengat matahari. Hmm, Fatih? Bukan. Tapi motor tua Abah yang masih awet sexy, Yamaha Jupiter MX keluaran tahun 90an .

Lala mengambil kursi tinggi lalu diangkatnya hati-hati. Sukses menempatkannya di sudut tanpa timbulkan suara, Lala memastikan duduknya tepat dalam kenyamanan, sebab diyakini pertapaan ini akan berlangsung lama. Duduknya mencangkung dengan dagu tertumpu pagar teras. Dari situ pandang matanya dapat menyorot dengan leluasa. Kaca mata minus dua lalu dikondisikan sedemikian rupa.

Sepuluh menit berlalu. Dan motor bermesin empat tak itu masih berdiri tegar di atas standar dua. Heran? Ya, Lala juga heran akan kemustahilan yang tengah terjadi pada dirinya. Betapa tidak? Ia tak pernah sebodoh ini membuang-buang waktu sekedar menjadi pengamat kebisuan. Hmm, Fatih? Bukan. Tapi motor biru berbody ramping yang kini sudah stop produksi.

Fatih, Fatih, Fatih. Seolah lelaki itu saja obyek tunggal untuk diobservasi di lingkungan berbentang alam penuh keindahan ini. Lelaki itu bahkan tak menyadari kehadiran Lala sejak sepuluh menit yang lalu. Dan di halaman yang berselimut rumput gajah mini, seperti halnya Lala, mata Fatih pun terfokus hanya pada postur menggoda si Yamaha. Ia tengah disibukkan dengan Kit, kanebo, selang dan sepatu boot hijau menyulut selutut. Hmm..., boot itu. Mungkin itu sepatu kesayangannya sebab seingat Lala, ia telah melihatnya kapanpun bersua dalam beberapa pekan ini.

Pada menit ke limabelas, drama tanpa dialog itupun purna. "Hei, Nona! Tundukkanlah pandanganmu itu!"

Lala nyaris terjerembab mendengar teguran yang tak disangka-sangka. Ia sungguh berpikir Fatih benar-benar tak menyadari kehadirannya. Sungguh, pemikiran dangkal dan bodoh.

"Bagaimana bisa seorang muslimah dengan aurat tertutup rapat namun pandang matanya bebas diumbar! Milikilah sedikit rasa malu, sebab malu itu sebagian daripada iman. Masak hal mendasar semacam itu kau tak tahu?"

Lala kian ternganga. Sekali lagi tak menyangka dosanya akan dibeberkan sedemikian rinci hingga mustahil baginya mengajukan pledoi.

"Jangan buat Abah malu, ah!" masih berlanjut tausiah Fatih, seraya tangannya memercik rinai air ke arah Lala.

Lala menjerit kecil, berjingkat namun tetap tak sempat menghindari percikan air itu seperti halnya rona memerah kembang sepatu yang tak berpeluang ia tutupi.

"Hahaha!" alih-alih marah mendapat teguran tajam, Lala terbahak memamerkan gerigi putihnya. "Ijinkan aku tertawa. Lucu sekali. Baru kali ini kutemui seseorang yang GR-nya akut! Super-duper parah, dah-ah!"

"Oh... Sama dong. Sebab selama hidupku di sini, baru kali ini rutinitas cuci motorku dikawal ketat dengan sorot mata rinci selayaknya cctv," Fatih membalas.

Mungkin bola mata Lala saat ini sudah serupa Tarsius Pumilus , primata nocturnal bertubuh kecil dengan sepasang mata besar menguasai wajah imutnya.

"Oho, jadi, pasti kau tak sadar bila Yamaha Abah itu jauh, jauuuhh... lebih cool dibanding dirimu? Memang ada yang menarik darimu untuk dilihat? Nee! Nothing! Zero! Zonk!" Merah padam wajah Lala. Kesal dan geregetan bersatu padu mendera.

"Baiklah. Terima kasih untuk komentar terjujur yang asyik untuk didengar hari ini," Fatih tak terpancing, kesibukkannya menggosok detil Yamaha punya body menegaskan ia sungguh tak peduli.

Dan agaknya bahasa tubuh kaku berikut satire yang diutarakan Fatih itu jelas tepat sasaran. Walau samar namun gurat sesal terlihat di wajah Lala. Kemudian dengan tonasi sedikit diturunkan, ia berkata, "Kau sendiri apa? Darimana kau berkesimpulan aku hanya memelototimu saja? Lagakmu sibuk mencuci motor, hmm...padahal..," Lala menimbang untuk tak melanjutkan kalimatnya, khawatir ia kembali dipermalukan.

"Dari mana? Ya, dari sini," Fatih mengetuk-ketuk kanebonya ke kaca spion Yamaha. Olala!

"Ugh! Dasar kau licik!" umpat Lala kesal, lalu dengan gemas ia melempar beberapa kulit kacang rebus ke arah Fatih.

Fatih tak mengelaknya. Maka hujan kulit kacang rebus itupun tumpah menimpa sebagian wajah dan rambut...hmm, Lala tak yakin apa mahluk ini botak, sebab sekian lama hanya kupluk jeleknya saja yang terlihat. Mata Fatih kemudian menyorot tajam, seolah protes atas kekonyolan Lala. Tangannya gemas meremas kanebo basah.

Lala terkesiap. Wajahnya pasi memucat. Sadar bila tindakannya barusan agak kelewatan. Melanggar batas sopan. Iapun cemas mendapati kanebo malang yang tengah diremas-remas sepenuh gemas. Bagaimana kalau Fatih membalasnya dengan kanebo basah itu? Waduh, bisa perang total nih. Sontak Lala menundukkan badan. Berlindung di balik jari-jari pagar kekayu. Buku ditangannya pun dipaksa untuk menutupi kepalanya, berjaga atas segala kemungkinan serangan balasan. Apa sebaiknya berteriak memanggil bantuan? Abah? Bunda? Pasti mati kutulah si Fatih itu. Tapi..., aih, malu benar rasanya, seperti bocah saja.

Fatih hanya geleng kepala. Tak percaya melihat betapa lucu gadis itu berlaku. Ah Lala, syukurlah kau tak banyak berubah. Semogalah sebagian yang kau coba kuburkan dalam-dalampun, akan dikembalikan sebagai ingatan yang menyenangkan. Fatih berlalu, tersenyum penuh aura kemenangan di bibir kehitaman.

Tunggu punya tunggu kok... Sepi? Serangan balasan yang Lala cemaskan nyatanya tak terjadi. Lala pelan-pelan mendongak. Loh? Fatih dan segala peralatannya sudah lenyap. Hanya tersisa si Yamaha berdiri angkuh seolah tengah mencibirnya. Sekujur penampakannya kinclong abiss, looking in full makeover transformation, mengkilat tanpa cela seperti gengnya yang terpajang di showroom sebuah dealer.  Hmm, hasil yang cukup sepadan dengan sekian waktu dan entah berapa liter air yang dimubazirkan.

Melihat si Yamaha menganggur, tak ada kerja, tumbuhlah hasrat tak tertahan di hati Lala. Ya, bagaimana kalau...? Ah, jangan, ah. Ya dan tidak itupun timbul tenggelam, naik turun seperti papan jungkat-jungkit, tak pernah selaras sejajar.

Tangan Lala lembut membelai si kuda besi empat gigi. Ketika matanya bersiborok dengan anak kunci yang masih tertambat di lubangnya, itulah saat dimana pergolakan batinnya telah dimenangkan oleh ego kesenangan.

Motor itu menderu-deru namun belum melaju. Injak gigi satu. Tekan gas pelan-pelan. Ketika dicapai kestabilan masuklah kepada gigi dua. Saatnya memulai sebuah touring. Dan senyum Lala pun tersungging, sumir terkenang pada pelatihan dasar berkendara yang pernah ia dapatkan puluhan masa silam.

Mau kemana Lala? Entahlah. Lala sendiripun tak tahu atau lebih percaya kepada si Yamaha yang tampaknya lebih paham koordinat berapa yang akan menjadi tujuan.

Lala tiba disebuah tanah lapang, berumput hijau lahan penuh kesuburan. Beberapa bocah ripuh berlari. Mengejar bola dalam gelinding tak pasti. Tawa geli dan caci maki saling menyahut disambut sorak sorai pembakar ambisi. Liga kecil yang luput dari sorot kamera tv, asyik juga untuk dicermati. Lala mengajak motornya berhenti.

"Kakak! Kak Lala cantik!" seru seorang bocah, berkaus merah bernomor punggung sebelas berlari menjemputnya dengan nafas memelas.

"Assalamu'alaikum... Salah!" bukan asal dan tidak salah Lala memanggilnya, sebab itulah nama yang tertera di punggung si bocah. "Dan bagaimana kau mengenalku, Striker?" Gemas Lala menjawil pipi halus sehitam jelaga, sewarna dengan wajah...ah, sudahlah. Kekanak siapapun dia adanya, selalu mendapat tempat di hati Lala. Gadis itu memang sangat menyukai anak-anak.

Bocah itu menggeleng, sambil mengusap dua anak sungai yang mengalir turun dari hidungnya.

Lala tersenyum, meraih saputangan dari  dalam kantung roknya, lalu diulurkan kepada si bocah. Lelaki kecil dengan paras tanpa dosa itu kembali menggeleng. Malah ia balas mengulurkan sesuatu.

"Inih...!" katanya dengan tatap mata sejernih telaga.

"Apa ini? Lala menerima sebuah jerigen lalu mengendusnya. "Bensin...?" tanyanya lagi dengan pandang tak mengerti.

"Nanti Kakak tidak bisa pulang loh," ujar si bocah.

"Oh ya? Masa sih?" dijejali rasa ingin tahu, Lala tergerak memeriksa. Astagfirullah, mata Lala terbelalak mendapati merah semerah kaus si Salah pada indikator bensin di motornya. "Buat aku mengerti, Sayang. Bagaimana kamu bisa tahu?"

Bocah itu lalu mengacungkan telunjuknya ke arah tenggara. Lala memicingkan mata minusnya, pandang matanya payah disebar ke segala arah, mencari imaji yang ditunjukkan si bocah.

Seekor kuda berjalan gontai. Surai hitamnya melambai-lambai. Kulit hitamnya mengkilat aduhai. Jalitheng? Senyum Lala bahagia melihat kuda pujaannya, namun memudar demi melihat wajah datar Fatih bertengger jumawa di atas pelana.

"Si Nona Ceroboh ini tercyduk, naik motor tak berijin, abai pula isi bensin, hmm... apa jadinya kau tanpa aku?"

Dan segerombolan kambing pun serempak mengembik. Lintang pukang kena hardik. Jalitheng, kuda hitam itu keras meringkik seraya mengangkat kaki depannya dengan heroik. Auuh,

Lala tak tahu harus terpesona atau geram tak terkira pada koboi kampung ini.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun