Fatih hanya geleng kepala. Tak percaya melihat betapa lucu gadis itu berlaku. Ah Lala, syukurlah kau tak banyak berubah. Semogalah sebagian yang kau coba kuburkan dalam-dalampun, akan dikembalikan sebagai ingatan yang menyenangkan. Fatih berlalu, tersenyum penuh aura kemenangan di bibir kehitaman.
Tunggu punya tunggu kok... Sepi? Serangan balasan yang Lala cemaskan nyatanya tak terjadi. Lala pelan-pelan mendongak. Loh? Fatih dan segala peralatannya sudah lenyap. Hanya tersisa si Yamaha berdiri angkuh seolah tengah mencibirnya. Sekujur penampakannya kinclong abiss, looking in full makeover transformation, mengkilat tanpa cela seperti gengnya yang terpajang di showroom sebuah dealer. Â Hmm, hasil yang cukup sepadan dengan sekian waktu dan entah berapa liter air yang dimubazirkan.
Melihat si Yamaha menganggur, tak ada kerja, tumbuhlah hasrat tak tertahan di hati Lala. Ya, bagaimana kalau...? Ah, jangan, ah. Ya dan tidak itupun timbul tenggelam, naik turun seperti papan jungkat-jungkit, tak pernah selaras sejajar.
Tangan Lala lembut membelai si kuda besi empat gigi. Ketika matanya bersiborok dengan anak kunci yang masih tertambat di lubangnya, itulah saat dimana pergolakan batinnya telah dimenangkan oleh ego kesenangan.
Motor itu menderu-deru namun belum melaju. Injak gigi satu. Tekan gas pelan-pelan. Ketika dicapai kestabilan masuklah kepada gigi dua. Saatnya memulai sebuah touring. Dan senyum Lala pun tersungging, sumir terkenang pada pelatihan dasar berkendara yang pernah ia dapatkan puluhan masa silam.
Mau kemana Lala? Entahlah. Lala sendiripun tak tahu atau lebih percaya kepada si Yamaha yang tampaknya lebih paham koordinat berapa yang akan menjadi tujuan.
Lala tiba disebuah tanah lapang, berumput hijau lahan penuh kesuburan. Beberapa bocah ripuh berlari. Mengejar bola dalam gelinding tak pasti. Tawa geli dan caci maki saling menyahut disambut sorak sorai pembakar ambisi. Liga kecil yang luput dari sorot kamera tv, asyik juga untuk dicermati. Lala mengajak motornya berhenti.
"Kakak! Kak Lala cantik!" seru seorang bocah, berkaus merah bernomor punggung sebelas berlari menjemputnya dengan nafas memelas.
"Assalamu'alaikum... Salah!" bukan asal dan tidak salah Lala memanggilnya, sebab itulah nama yang tertera di punggung si bocah. "Dan bagaimana kau mengenalku, Striker?" Gemas Lala menjawil pipi halus sehitam jelaga, sewarna dengan wajah...ah, sudahlah. Kekanak siapapun dia adanya, selalu mendapat tempat di hati Lala. Gadis itu memang sangat menyukai anak-anak.
Bocah itu menggeleng, sambil mengusap dua anak sungai yang mengalir turun dari hidungnya.
Lala tersenyum, meraih saputangan dari  dalam kantung roknya, lalu diulurkan kepada si bocah. Lelaki kecil dengan paras tanpa dosa itu kembali menggeleng. Malah ia balas mengulurkan sesuatu.