[Dua]
***
Meski acap sulit mengingat, namun tak semua yang berasal dari masa lalu dilupakan Lala. Seperti bukit kecil ini, dilematik karena jaraknya yang lumayan jauh dari kebuh teh Abah, namun lansekap indah itu selalu berhasil memanggil kerinduannya untuk berkunjung walau tak jarang berat nian kakinya tuk melangkah bila terkenang nestapa pada penghuni abadi bukit itu.
Kekanan-kiri sepi. Sesekali jauh di atas langit, terlihat elang bermanuver dengan keperkasaan sayap lebarnya, melayang seringan kapas terhembus angin seakan tengah memamerkan betapa indah dan leluasanya kehidupan di ketinggian sana, negeri awan karunia para digdaya. Baru sepenggalah waktu, mungkin Dhuha kan segera berlalu, dan bukit ini sudah rapat terkungkung sepi sepagi Lala mulai mendaki. Tak terdengar suara apapun kecuali gemerisik dedaun bersinggungan dengan lalu lintas angin. Sepi yang tak meragu, perlahan namun pasti, menggiring duka kian menggelayuti. Lala berjuang keras agar tak hanyut dalam kesedihan. Dadanya mulai sebak, namun ditahannya agar tak koyak. Pusara di atas makam yang nyata terawat keberadaannya telah menantinya.
"Assalamu'alaikum, Umi," suara Lala tercekik di tenggorokan, lirih, nyaris berdesis. Tak urung sebulir air mata pun meluruh yang lekas ia keringkan. Tangannya lembut membelai pusara yang merespon kokoh, dingin dan membisu. Lala memejamkan matanya. Batinnya ripuh menggemakan doa bergemuruh.
Namun kekhusuannya mendadak buyar oleh suara semacam derak ranting entah itu cabang pohon yang patah. Lala menoleh kaget, tampak olehnya beberapa pokok ubi kayu tercerabut. Pepohon lain pun bernasib sama tragis. Rerumput gajah yang menjulang berguncang karena sabetan parang. Seseorang ada dibalik kekacauan yang amat tak sopan ini. Lala mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Bersiap menghadapi sesuatu yang tak kena.Â
Lala mengatur adrenalinnya agar tak terecoki dengan kepanikan yang riskan membuatnya hilang kewaspadaan. Tak ada sesiapa di sekitar bukit ini. Hanya dirinya dan seseorang yang belum jelas penampakannya. Lolongan sekalipun takkan terdengar sesiapapun. Saat itu juga kesedihannya menguap cepat, tersingkirkan oleh gejolak adrenalin yang melesat. Ya Alloh, aku berlindung kepadaMu, Engkau Yang Maha Menjaga...
Walau tak yakin dengan kemampuan bela dirinya, namun Lala tetap memasang kuda-kuda demi melihat aksi parang yang kian beringas. Tebas sana, pangkas sini, abai pada pekik dedaunan yang tercabik-cabik perih. Dan tatkala kerimbunan itupun tersibak...
"Subhanalloh! Allohu akbar!" si empunya parang itu nyaris terjungkal. Terkejut ia bukan kepalang mendapati dirinya tak sendiri di lahan yang diyakininya lengang. Pasti tak terbayang olehnya akan bersua dengan sosok perempuan, apalagi bukan berasal dari wilayah sekitar. Bola matanya seakan hendak melompat keluar. Namun pucat tak hinggap di wajahnya yang gelap. Orang itu sejenak terpana. Mungkin tak percaya di era milenial dimana segala sesuatu bisa jadi viral, seseorang bisa menyerupai mahluk astral? bidadari abal-abal? Auh..
"Kau! Sudah berapa lama kau berdiam di situ, heh?" serunya dengan keterkejutan yang masih kentara. "Kau! Setidaknya buatlah suara agar tak salah parangku menerjang," ujarnya lagi tanpa terpikir menunggu respon Lala.
Lala mengamankan kuda-kudanya, sesaat meyakini bila 'lawannya' ini tak berbahaya. Lalu dengan santai menyandarkan sapu lidi di tempatnya semula. Hmm, terpikir olehnya betapa menggelikan melihat mimic kaget si empunya benda metal itu. Namun pastinya jauh lebih menggelikan dibanding dirinya yang tak sadar telah mengandalkan sapu lidi sebagai senjata andalan. Auh, kupikir perompak makam, ternyata hanya orang dusun yang tengah merumput. Batin Lala seraya hendak berlalu begitu saja ketika orang itu kembali berseru nyaring.