Setelah diam beberapa saat, memejamkan mata, memusatkan yin dan yang, menyatukan segala kekuatan yang dimilikinya, Ki Yyaja akhirnya memutuskan.
“Nisanak, tampaknya sia-sia saja kau menempuh perjalanan jauh berliku. Sebab kau tidaklah separah yang kukira. Sesungguhnya tak ada yang bisa Aki lakukan sebab para penyusup itu memang tak berniat cerai darimu. Sekarang, pulanglah...”
Tentu saja penjelasan pungkas Ki Yyaja itu menorehkan kekecewaan yang mendalam bagiku. Harapanku demikian besar pada pengubatan dan penyembuhan Ki Yyaja. Kini harapan itu cerai-berai. Rontok tak bernilai.
Pulang?
Dengan membawa beban sebesar pohon pisang kipas ini?
Tidak!
Aku tak akan pernah kembali ke dataran rendah indah namun sangat membuat gundah. Aku tak akan kembali menelusuri labirin kota berlampu megah terang benderang namun penuh kepalsuan, kekejian. Tidak! Tidak!
Mengapa harus pulang, kalau di sini tak ada batasan. Aku bisa meraih kebebasan sejati. Rimba tak pernah bermuka-dua soal demokrasi, reformasi, revolusi, humanity dan segala istilah rekaan manusia yang diciptakan hanya untuk mengakali.
Di sini tak ada uang. Standar dari segala hal, tolak ukur dari semua bahasan, penentu setiap kebijakan, dan satu hal yang sangat pasti: sumber dari semua permasalahan. Tidak! Tak ada uang yang bermain-main di rimba ini. Aku tak perlu menjilat pantat bosku bau busuk demi uang. Aku tak perlu serahkan kehormatan demi uang. Aku tak perlu melacur demi uang. Aku tak perlu berdagang akidah demi uang. Di dalam rimba ini, uang benar-benar tak laku. Kehormatannya sama sekali tak ada arti, jauh lebih berarti dari sebutir ara yang sanggup membungkam perutku lapar. Oh, mengapa baru sekarang kutemui surga indah ini?
Di sini, bulan mencurahkan sinarnya tanpa perlu mengutip uang. Aku tak perlu memboroskan banyak lampu pijar hanya karena takut kecurian. Dan tak perlu mencemaskan tagihan. Matahari yang akan mematangkan laukku. Tanah subur rimba yang akan mengenyalkan karbohidratku. Nohkalikai akan selalu membelah rimba dengan sesungai yang bersedia memasok daging-daging berinsang. Dan rimba tak pernah kehabisan kulinarinya.