Tuhan! Benarkah demikian? Betapa dahsyat panas itu. Oh, Tuhan! Berkali-kali kupekikkan nama Tuhan. Walau susah payah kucoba mengingat nama Tuhan. Kutahu ada 99 asma kudusNnya. Tapi kepalaku yang mendidih telah melumatkan segala ingatan. Mulut hinaku hanya mampu menyebut Tuhan, Tuhan, dan Tuhan saja...
“Keluar... keluarkan aku dari tempat terkutuk ini!” tangisku meledak-ledak. Airmata bukan lagi bebulir bening sejernih cairan gin, tapi lelehan nanah bercampur darah yang membutakan.
Akan tetapi pemilik suara itu tak peduli. Ia jelas tak berhati nurani. Iapun kembali mengguntur dan merobek-robek gendang telingaku yang belum lama lalupun pecah kemudian merapat lagi dengan sendirinya. Dan begitu seterusnya yang terjadi setiap kali terdengar suara maha memetir itu.
“Demi Tuhan! Andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi, niscaya akan mati seluruh penghuni bumi karena panas dan baranya.”
Oh, tidak. Mengapa harus kulalui semau siksa itu? Memangnya apa dosaku? Tuhan! Tuhan! Engaku Yang Maha Welas Asih, tolonglah, biarkan aku dengan sesisa remuk tubuhku, keluar dari tempat ini. Kucoba merayap, merayap lagi, walau hamparan yang kusetubuhi penuh dengan mata tombak panas, dan ooh, berat nian rantai baja ini membelenggu tangan dan kakiku melepuh lumpuh. Rantai ini... oh, mengapa tak bergerak sedikitpun walau semili, padahal tenaga sudah sedemikian payah kukerahkan.
Rantai! Pemilik suara hurikan itu pasti mencermati jalinan rantai yang telah memasungku, sehingga ia kembali bicara lantang tanpa jeda keraguan.
“Demi Tuhan! Andaikan satu pergelangan rantai itu diletakkan di atas bukit, niscaya akan mencair hingga ke bawah bumi yang ketujuh!”
Mendengar itu, akupun kian bertekat untuk keluar dari tempat tergila ini. Apapun harus kulakukan demi menghindari panasnya Jahannam seperti yang dijelaskan pemilik suara yang pantang bertutur kata halus-lembut.
“Kau telah salah memilih tempat peristirahatan, wahai Fulaknat!” tegas suara itu.
“Jika demikian, maka segeralah keluarkan aku, agar dapat kubatalkan pilihanku itu,” walau sia-sia belaka, tetapku mencoba membujuknya.
Tetiba saja suara itu terbahak-bahak diikuti rentetan tawa yang sangat mengerikan dan memekakkan telinga. Ia belum berhenti tertawa hingga sepasang daun telingaku gugur dengan sendirinya.