-o0o-
“Tak ada pesta yang tak kuhadiri,” pada suatu ketika, Sahid berkata, tanpa maksud menyombong sikit pun jua. Sahid tidak sedang berdusta. Ia memang seorang penggila pesta. Baginya pesta merupakan candu kehidupan.
“Work Hard Play Harder!”ujar Sahid mengutip sebuah motto. Ia bukan asal comot kata-kata para bijak. Sepanjang hidupnya ia telah membanting tulang. Baginya, berpesta adalah ganjaran pantas atas semua kerja kerasnya.
Jadi ya, dimana ada irama musik pesta bergema rancak, disitulah kaki-kaki Sahid mengentak-entak. Tak masalah dimana pesta digelar, ia pasti datang. Seringnya pesta-pesta itu tak membagikan undangan, namun Sahid selalu berhasil memastikan kehadirannya disambut terbuka.
Yang mengejutkan, ketika nama Sahid dengan sosok easy-going-nya itu justru tak diakrabi di antara para EO, ataupun di kalangan sosialita dan fashionista. Loh?
“Biasa aja kalee. Memang kenapa kalau orang semacam diriku ini maniak pesta?” Sahid menyusupkan nada tak suka karena diragukan fanatismenya pada pesta, ajang yang kerap dituduh bergelimang hura-hura.
Pesta! Ya, Sahid pantas berkeberatan. Siapa sih yang tak menyukai pesta. Boleh dikatakan semua orang, tanpa terkecuali, senang berpesta. Bahkan kaum shalihin-shaliha pun gemar berpesta. Kendati pesta bagi golongan mereka selalu terselenggara secara privately exclusively. Berlangsung dengan amat elegan. Dan! Sangat jauh dari sorotan. Pesta munajat kata-kata, orasi hati, puja-puji, menabur doa, rapalan wahyu dan kalam di keheningan sepertiga malam.
“Lagi-lagi, kau keliru terka. Orang semacam diriku pun pernah hadir di pesta sakral semacam itu. Walau memang sulit bagiku mengikuti pesta gaya mereka,” Sahid malu-malu mengakui seraya perlahan-lahan menghirup inhalernya. Lalu menerawang jauh seakan hendak membobol langit-langit hunian sederhana yang ongkos sewanya ia setorkan setahun dua kali.
Itulah si Sahid, abangnya Sahida, anak dari Mak Patima. Jangan kecele, sungguh ia bukan mahasiswa. Ciailee, lulus SMA pun melalui ujian kesetaraan Kejar Paket C. Namun pada setiap pesta, kesibukkannya mengalahkan ketua dewan senat terhormat yang kemana pun pergi garis edarnya pasti dilirik mahasiswi cantik yang berbisik-bisik sambil kulum-kulum senyum.
Tongkat komandonya terjepit di bawah armpit. Sesekali ditinggikan, diacungkan, mungkin juga sambil membayangkan sebuah panggung orkestra besar dengan tiket berharga selangit. Namun dunia si Sahid amat sempit. Pesta, pesta, pesta dan dirinya sudah seperti kembar dampit.
“Orkestra bisu!” ralat Sahid secepat kilat. Bibir ungunya manyun, tak menutupi rasa ingin menggerutu. “Bagaimana bisa seseorang terus menerus menaruh anggapan keliru terhadapku?!”