Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Sendratari Ongki

13 Oktober 2016   15:59 Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:07 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

-o0o-

Syahdan di sudut kampung negeri ini, aku kembali terjebak dalam kekacauan yang...sebenarnya tak terlalu asing lagi bagiku.

“Aku kan temen kamu ya? Eh, jangan mau temenan sama dia. Kamu temen sama aku saja, nanti aku kasih kamu permen yang banyaaak sekali.”

Dan kanak-kanak itu terlihat ripuh dalam membentuk faksi. Bujuk sana. Rayu sini. Kelahi mulut. Saling sikut. Adu rebut. Laga urat leher untuk menjadi yang paling berisik. Cemburu dan emosi menjadi asesori negoisasi ala bocah-bocah yang nampak jumawa ketika sudah meniru laku para bapaknya.

Maka tak salah bukan, bila di awal telah kukatakan bahwa kekacauan ini sungguh tak terlalu asing bagiku. Sebab konon, aku dan mereka, masih terkait satu rantai purba, yang hingga millenium kini masih pun dicari kemana pergi mata rantai yang hilang itu.

Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.

Ah, itu dia, Ki Slenthem sudah mulai ditabuh. Suaranya mengalun menggebu-gebu. Dalam ritmis penuh mistis. Seolah dijejali roh-roh hingga logam-logam pipih yang terentang itu terdengar sangat berjiwa. Dan selalu digdaya mengoyak keterguguanku. Tak hanya itu, kolaborasinya yang selaras seirama bersama Mas Kendang pun nyata menghasut para budak yang masih berkutat seputar nadi dan urat. Mereka sontak membubarkan diri. Drama yang belumpun satu babak itu, harus berakhir prematur. Para pelakonnya kocar-kacir tanpa perlu bayangan pentungan apatah lagi semburan gas air mata.

Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.

Lihat! Mereka benar-benar tersihir oleh kidung Ki Slenthem dan Mas Kendang. Tak menyoal panggung pertunjukan yang didirikan sembarang asal. Yang terpenting adalah drama, pelakon dan ceritanya baru. Maka sudut kampung itu tak lagi muram durja, ia sejenak rehat dari paceklik bahkan ketika temali besi di leherku kian mencekik.

Hm, bukankah kita semua demikian adanya? Aku, kau dan mereka, acap terpesona pada sesuatu hal yang baru. Dan selalu gempita menyambut jejanji yang mengkurva. Tak terpicing pada setiap iming. Cring!

Auh! Auh!

Mustahil teriakanku terdengar di antara raungan Ki Slenthem. Tetabuhan nan mistis hinggaku kerap terhipnotis. Tak terkata bila jerat ini menyiksa. Sungguh, tak perlu kau kekang tali di leher kecilku ini, sebabku pasti menari. Benar, tak perlu kau betot dadung di pinggangku yang singset ini, sebabku pasti nak berlakon. Pasti. Mutlak. Seperti kau punya kehendak.

Dan kuterus menari. Dalam sesekali lompatan, kuharus berlari. Hampiri kanak-kanak yang akan terbirit, menjerit ngeri. Pada taringku ini. Padahal sumpah mati, gadil ini hanya ilusi, tak lagi nggegirisi. Tapi tetaplah berhati-hati, meski segalaku telah dikebiri.

Hwa! Hwa!

Kutampilkan wajahku dalam selubung topeng yang imut dan lucu. Voila! Topeng monyetku beraksi gila. Dan mereka pun tertawa. Ya, walau wajahku seburuk kera, namun aktingku sebagai Hanuman Sang Ksatria selalu sempurna.

“Nama kamu siapa?” bertanyalah seorang lelaki kecil tak bercelana sepertiku dulu sebelum urban.

“Entahlah. Tapi Ayah Pawang, memanggilku Ongki. Mungkin itulah namaku,” jawabku sekenanya. Akibat sebuah tragedi, terlupalah aku pada nama pemberian Emak. Belum lama berselang, surga tempatku dilahirkan, telah dijajah sepasukan parang. Roda-roda raksasa serupa Ashoka Chakra datang tiba-tiba. Tanpa tiupan Sangkakala. Bergulir suka cita di atas tanah yang tampak pasrah sengsara. Tiap pokok yang tinggi menjulang dianggap simbol keangkuhan, maka harus diberangus hingga tiap jengkalnya tinggalkan noda hangus.

“Oh, rupanya dari sanalah kau berasal,” ujar bocah yang lain, ia bercelana namun melorot hingga pusar karena perutnya sebuncit perut sepupuku, Bekantan. Lendir di hidungnya menetes di atas loli kembang gula. Lantas lidah kecilnya mengecapnya sebagai varian rasa. Aku tak tergoda. Tak bertemu ara, kembang gula gopek lima, itu kudapan biasa. Hadiah tuanku, tentu saja.

“Bagaimana kau bisa ke kampung kami?”

“Naik sepeda, kurasa,” Aku menjawab sambil kukayuh sepeda mini dari kayu.

Wes! Wes! Gowes! Gowes! Serrr!

Para penonton terpingkal-pingkal. Entah apa yang membuat mereka bahagia sekedar melihatku mondar-mandir, hilir mudik dengan sepeda buatan Ayah “Gepeto” Pawang.

Mungkinkah payung mini ini yang tampak lucu? Ataukah wajah berbuluku yang membuat mereka tergeli-geli? Bisa jadi karena kolorku dan baju merah menyala tak berkancing pamerkan dada primata.

Kini kupahami bahwasanya kata ‘Bahagia’ itu ternyata amat bias maknanya. Bahagia untukku... kau mungkin sudah tahu tapi berpura dungu...adalah menjangkau sulur demi sulur dan bergelanyut leluasa di antara cabang dan rantingnya. Namun sendratariku di panggung tepi jalan ini, adalah bahagia bagi mereka. Yang mengejutkan ketika beberapa butir kacang dalam genggaman Ayah Pawang dianggapnya sebagai bahagiaku.

Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.

“Hihihi... Lihat, si Ongki mau pergi berbelanja buah-buahan!”

“Apakah keranjang ini yang kalian gunakan untuk memetik buah?” Pandang mataku nanar, liar, menatap keranjang plastik yang kutahu telah dipungut Ayah Pawang dari mainan anak-anak yang telah dibuang di tempat sampah.

Di negeri asalku, yang ijo royo-royo, aku tak pernah ngoyo. Akulah tuan. Cukup bagiku melentingkan tubuh rampingku, bergelanyut lembut menggapai ara, mencuri kecapi dari kelompokku sendiri, dan banyak lagi ragam bebuah yang sulit bagimu untuk tak terpukau melihatnya. Tapi urbanisasi telah menurunkan derajatku sebagai sahaya yang harus sujud pada diraja.

“Lupakan keluhanmu tentang ara dan kecapi itu. Ayo, mana keahlian akrobatikmu?”

Hula! Hula! Hoop!

Musik lautan teduh barangkali yang paling sesuai untuk sendratariku. Nyatanya olah musik Ki Slenthem dan Mas Kendang pun tak kalah rancak mengiringi goyang hula hoop-ku. Hula-hula! Hap! Aku melompat. Tak setinggi dan seanggun Lumba-lumba. Namun tetap award itu ada. Tawa renyah dan tepukan para pemirsa.

Tapi...auuh, badanku gatal tiap kali gelang hula-hoop itu melingkar di pinggangku yang tak lebar. Bahkan aksi menggaruk pun sanggup mendatangkan tawa mereka. Tak tahukah, bila sejatinya dalam tiap garukan aku resah menduga, adakah kartu BPJS-ku telah didaftarkan oleh Ayah Pawang? Aku meragukannya. Sebab dahak berdarah Ayah Pawang pun hanya ditawarkan dengan sekaplet tablet pereda batuk.

Dalam lelahku usai menjelajah pelosok negeri ini. Yang kaya tapi miskin, rukun tapi rentan gesekan, dengan sensus yang demikian padat dan melulu berpikir agar perut mampat. Sebuah negeri yang senarai dengan kerajaan rimbaku. Aku duduk di samping Ayah Pawang yang terkantuk-kantuk. Pada saat seperti ini, tak ada yang dapat kulakukan dalam belit rantai besi selain turut manggut-manggut. Dan akupun meringkuk, memeluk lutut, mengemut buntut. Terbayang olehku hangat buluku bak selimut. Andai bulu lebatku tak banyak tercabut. Yang entah sebab penyakit apa, tapi yang pasti akut.

Aku merindui kampung halaman. Namun kemana nak pulang, konon rumahku sudah kena gusuran. Perkebunan. Perumahan. Dan penjajahan atas golonganku hanya kan terhenti pada kata punah. Dan apalahku, yang hanya mampu bangkitkan tawamu. Apalah macaque, kalian hanya kan terbahak-ngakak. Sedang gajah dan harimau yang begitu terhormat pun, kini tinggal sebagai penghias hunian manusia kaya.

“Ongki, heh, bangun! Dasar monyet, taunya molor melulu!”

Entah mengapa, sabda paduka, kali ini terdengar semerdu jeritan saudaraku yang saling berebut ara. Buah mungil kesukaan kami. Pasti kutengah bermimpi. Atau tidurku terlampau lelapkah? Barangkali inilah sakau. Paska beberapa pil yang pernah disuapkan Ayah Pawang, agarku berlaku laiknya sahaya. Patuh. Taat. Menurut. Atau cemeti yang bicara. Memahat luka di atas luka. Sebab panggung harus dibuka. Sendratari tak boleh jeda. Arena telah bermula. Akrobat mesti lanjut berlaga.

Panggung. Arena. Drama. Sandiwara. Dan Cirque du Soleil semakin mendunia. Tapi panggung sendratariku hanyalah replika. Deritaku tak pantas ditebus sejuta. Kalau hanya kandang, kerangkeng, sebesar apapun itu tetaplah penjara. Dan kau berteriak merdeka! Lalu mengapa kau bungkam mulutku yang hanya butuh bebulir ara?

Seorang penonton menangis. Adakah ia ibuku? Kerabat jauhku? Penggantiku? Hmm, nampaknya selama panggung sandiwara kalian tetap ada, selama itu pula sendratariku akan disuka...

Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.

-Fin-

-[gambar: dokpri]-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun