Mungkinkah payung mini ini yang tampak lucu? Ataukah wajah berbuluku yang membuat mereka tergeli-geli? Bisa jadi karena kolorku dan baju merah menyala tak berkancing pamerkan dada primata.
Kini kupahami bahwasanya kata ‘Bahagia’ itu ternyata amat bias maknanya. Bahagia untukku... kau mungkin sudah tahu tapi berpura dungu...adalah menjangkau sulur demi sulur dan bergelanyut leluasa di antara cabang dan rantingnya. Namun sendratariku di panggung tepi jalan ini, adalah bahagia bagi mereka. Yang mengejutkan ketika beberapa butir kacang dalam genggaman Ayah Pawang dianggapnya sebagai bahagiaku.
Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.
“Hihihi... Lihat, si Ongki mau pergi berbelanja buah-buahan!”
“Apakah keranjang ini yang kalian gunakan untuk memetik buah?” Pandang mataku nanar, liar, menatap keranjang plastik yang kutahu telah dipungut Ayah Pawang dari mainan anak-anak yang telah dibuang di tempat sampah.
Di negeri asalku, yang ijo royo-royo, aku tak pernah ngoyo. Akulah tuan. Cukup bagiku melentingkan tubuh rampingku, bergelanyut lembut menggapai ara, mencuri kecapi dari kelompokku sendiri, dan banyak lagi ragam bebuah yang sulit bagimu untuk tak terpukau melihatnya. Tapi urbanisasi telah menurunkan derajatku sebagai sahaya yang harus sujud pada diraja.
“Lupakan keluhanmu tentang ara dan kecapi itu. Ayo, mana keahlian akrobatikmu?”
Hula! Hula! Hoop!
Musik lautan teduh barangkali yang paling sesuai untuk sendratariku. Nyatanya olah musik Ki Slenthem dan Mas Kendang pun tak kalah rancak mengiringi goyang hula hoop-ku. Hula-hula! Hap! Aku melompat. Tak setinggi dan seanggun Lumba-lumba. Namun tetap award itu ada. Tawa renyah dan tepukan para pemirsa.
Tapi...auuh, badanku gatal tiap kali gelang hula-hoop itu melingkar di pinggangku yang tak lebar. Bahkan aksi menggaruk pun sanggup mendatangkan tawa mereka. Tak tahukah, bila sejatinya dalam tiap garukan aku resah menduga, adakah kartu BPJS-ku telah didaftarkan oleh Ayah Pawang? Aku meragukannya. Sebab dahak berdarah Ayah Pawang pun hanya ditawarkan dengan sekaplet tablet pereda batuk.
Dalam lelahku usai menjelajah pelosok negeri ini. Yang kaya tapi miskin, rukun tapi rentan gesekan, dengan sensus yang demikian padat dan melulu berpikir agar perut mampat. Sebuah negeri yang senarai dengan kerajaan rimbaku. Aku duduk di samping Ayah Pawang yang terkantuk-kantuk. Pada saat seperti ini, tak ada yang dapat kulakukan dalam belit rantai besi selain turut manggut-manggut. Dan akupun meringkuk, memeluk lutut, mengemut buntut. Terbayang olehku hangat buluku bak selimut. Andai bulu lebatku tak banyak tercabut. Yang entah sebab penyakit apa, tapi yang pasti akut.