Aku merindui kampung halaman. Namun kemana nak pulang, konon rumahku sudah kena gusuran. Perkebunan. Perumahan. Dan penjajahan atas golonganku hanya kan terhenti pada kata punah. Dan apalahku, yang hanya mampu bangkitkan tawamu. Apalah macaque, kalian hanya kan terbahak-ngakak. Sedang gajah dan harimau yang begitu terhormat pun, kini tinggal sebagai penghias hunian manusia kaya.
“Ongki, heh, bangun! Dasar monyet, taunya molor melulu!”
Entah mengapa, sabda paduka, kali ini terdengar semerdu jeritan saudaraku yang saling berebut ara. Buah mungil kesukaan kami. Pasti kutengah bermimpi. Atau tidurku terlampau lelapkah? Barangkali inilah sakau. Paska beberapa pil yang pernah disuapkan Ayah Pawang, agarku berlaku laiknya sahaya. Patuh. Taat. Menurut. Atau cemeti yang bicara. Memahat luka di atas luka. Sebab panggung harus dibuka. Sendratari tak boleh jeda. Arena telah bermula. Akrobat mesti lanjut berlaga.
Panggung. Arena. Drama. Sandiwara. Dan Cirque du Soleil semakin mendunia. Tapi panggung sendratariku hanyalah replika. Deritaku tak pantas ditebus sejuta. Kalau hanya kandang, kerangkeng, sebesar apapun itu tetaplah penjara. Dan kau berteriak merdeka! Lalu mengapa kau bungkam mulutku yang hanya butuh bebulir ara?
Seorang penonton menangis. Adakah ia ibuku? Kerabat jauhku? Penggantiku? Hmm, nampaknya selama panggung sandiwara kalian tetap ada, selama itu pula sendratariku akan disuka...
Ting Tang Ting Dung. Blang Blang Dut.
-Fin-
-[gambar: dokpri]-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H