Mustahil teriakanku terdengar di antara raungan Ki Slenthem. Tetabuhan nan mistis hinggaku kerap terhipnotis. Tak terkata bila jerat ini menyiksa. Sungguh, tak perlu kau kekang tali di leher kecilku ini, sebabku pasti menari. Benar, tak perlu kau betot dadung di pinggangku yang singset ini, sebabku pasti nak berlakon. Pasti. Mutlak. Seperti kau punya kehendak.
Dan kuterus menari. Dalam sesekali lompatan, kuharus berlari. Hampiri kanak-kanak yang akan terbirit, menjerit ngeri. Pada taringku ini. Padahal sumpah mati, gadil ini hanya ilusi, tak lagi nggegirisi. Tapi tetaplah berhati-hati, meski segalaku telah dikebiri.
Hwa! Hwa!
Kutampilkan wajahku dalam selubung topeng yang imut dan lucu. Voila! Topeng monyetku beraksi gila. Dan mereka pun tertawa. Ya, walau wajahku seburuk kera, namun aktingku sebagai Hanuman Sang Ksatria selalu sempurna.
“Nama kamu siapa?” bertanyalah seorang lelaki kecil tak bercelana sepertiku dulu sebelum urban.
“Entahlah. Tapi Ayah Pawang, memanggilku Ongki. Mungkin itulah namaku,” jawabku sekenanya. Akibat sebuah tragedi, terlupalah aku pada nama pemberian Emak. Belum lama berselang, surga tempatku dilahirkan, telah dijajah sepasukan parang. Roda-roda raksasa serupa Ashoka Chakra datang tiba-tiba. Tanpa tiupan Sangkakala. Bergulir suka cita di atas tanah yang tampak pasrah sengsara. Tiap pokok yang tinggi menjulang dianggap simbol keangkuhan, maka harus diberangus hingga tiap jengkalnya tinggalkan noda hangus.
“Oh, rupanya dari sanalah kau berasal,” ujar bocah yang lain, ia bercelana namun melorot hingga pusar karena perutnya sebuncit perut sepupuku, Bekantan. Lendir di hidungnya menetes di atas loli kembang gula. Lantas lidah kecilnya mengecapnya sebagai varian rasa. Aku tak tergoda. Tak bertemu ara, kembang gula gopek lima, itu kudapan biasa. Hadiah tuanku, tentu saja.
“Bagaimana kau bisa ke kampung kami?”
“Naik sepeda, kurasa,” Aku menjawab sambil kukayuh sepeda mini dari kayu.
Wes! Wes! Gowes! Gowes! Serrr!
Para penonton terpingkal-pingkal. Entah apa yang membuat mereka bahagia sekedar melihatku mondar-mandir, hilir mudik dengan sepeda buatan Ayah “Gepeto” Pawang.