Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Horor dan Misteri] Lading

29 September 2016   21:23 Diperbarui: 30 September 2016   09:45 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(o-o)

Maggie May Quittenton, gadis kecil itu menopang dagu terpaku mendengar arahan guru. Satu per satu peran telah dibagikan. Kelas drama itupun dibubarkan. Maggie tergesa pulang. Menyusuri setapak di pinggiran hutan, Maggie berjuang keras agar kaki Genul Vagum-nya bisa selaras berlari. Tak hanya kedua lututnya yang selalu melengket, kaki kirinya pun lebih panjang daripada teman kanannya. Ia benar tak sabar memberitahu orang rumah tentang peran dan senjata yang diperlukannya, meski hanya Matt saja orang di rumahnya. Maggie ingin Matt membuatkannya sesuatu seperti deskripsi sang guru. Sesuatu sebagai bekalnya bermain peran.

‘Ingat Nona Quittenton, bahkan kehidupan itu sendiri adalah sebuah rimba. Diperlukan tekad dan perjuangan untuk melintasinya. Lalu taktik, juga senjata.’

Demikian wejangan sang guru yang diingat Maggie dengan jernih hingga ia hilang ragu dan merasa tak perlu bertanya mengapa dirinyalah yang terpilih memainkan peran sebagai Villain. Bukan Sang Balerina seperti yang ia impikan selama ini. Mungkin karena wajah Maggie yang dipenuhi bintik hitam terlalu menyeramkan untuk seorang pemegang peranan yang akan disembah para pemuja di bangku penonton. Seram? Ya, kata seram diperoleh Maggie di hari pertamanya masuk kelas drama. Mereka bahkan berseloroh bila Maggie tak perlukan bantuan seorang penata rias karena wajah dan penampilannya sudah sangat mendukung perannya sebagai Villain. Maggie, sang gadis, tak pernah keberatan dengan apapun yang disandangkan kepadanya. Ia yakin adanya alasan. Ia pun percaya pada semua kata bijak yang dipajang di setiap dinding sekolahnya. Salah satu yang menjadi favoritnya iatu yang berpigura kuningan ukir antik... I am who God wants me to be. Man’s approval, is not requested, required or relevant.Maka sekedar kata ‘seram’ tak lantas membuatnya mundur dari realita. This is me, Maggie. I am who God wants me to be.

“Buatkan aku sesuatu yang berbeda, ya, Ayah,” berkata Maggie pada Matt –pria kurus jangkung dengan punggung sedikit melengkung–, yang sejak kecil dikenalnya sebagai orang tua tunggalnya. Maggie kecil tak pernah mengusik sosok ibu atau siapapun yang dipikirnya sebagai pasangan hidup Matt. Pada setiap olok-olok atau kata tanya yang menyindir tentang ibunya, Maggie cepat meredamnya dengan acungan jari telunjuk yang mengarah kaku pada sekumpulan pokok berbuku-buku. Gerumbul bambu remang itu seakan gapura yang mengapit lorong berliku menuju hutan yang memunggungi desa, Alaspring.

“Tidakkah kalian lihat? Itu, ibuku. Lihat, mereka tengah melambai, mengajak kita bermain, berayun-ayun antara ruas-ruas bambu, seperti ibuku dengan rambut hitamnya yang panjang. Lihat, sesekali ujung gaunnya yang menjuntai, membelit buku-buku bambu hingga begitu landai, nyaris mencium tanah. Ibuku selalu ceria dengan wajah sepucat bulan kesiangan dan bola matanya yang tak pernah redup.”

Selepas telunjuk Maggie melemas, pengolok besar-kecil, tua-muda itupun serentak lintang-pukang, tinggalkan Maggie yang tak peduli, tatap matanya hampa, namun mulut kecilnya tak henti bicara dengan bahasa sandi yang tak biasa. Jeritan, lengkingan, melenguh, terbahak-bahak, menggeram, mengikik, dan bebunyian asing yang sangat dikuasai Maggie. Bentuk komunikasi yang memberi alasan kuat bagi warga desa untuk mengucilkan Maggie karena dianggap aneh, gila dan menakutkan.

Bila mendengar pengaduan ini-itu tentang Mag-May, Matt tak pernah membantah. Tidak pula membenarkan pada konfirmasi yang sangat dinanti tetangga kanan-kiri. Lelaki yang kesehariannya tampak jauh dari air itu, tekun dalam diamnya, mendengus acuh kemudian berlalu, menghilangkan diri dalam gudang warisan kolonial, mungkin demikian sebutannya untuk sebuah bangunan besar, kokoh, namun berwajah sekusam pemiliknya. Berbagai perkakas dan ragam benda yang terusir dari tempatnya semula berdiam, disimpannya di sana. Karenanya, Matt menamakan gudang tua itu Serrania de la Macarena, harta karun tersembunyi. Bahkan harta yang tak terbayangkan semacam jasad-jasad yang diawetkan banyak terkumpul di dalamnya.

“Ide bagus, Matt,” Mag mengomentari bonggol kayu yang ditunjukkan Matt.

Matt telah memutuskan hanya kayu Redwood, pokok tertinggi di dunia yang akan sanggup menopang besi yang telah ia tempa. Dan hanya getah langka yang tersadap dari Katilayu, sebuah pohon dari benua Asia yang pantas merekatkan gagang istimewa itu. Matt lalu memandang adikaryanya penuh bangga.

(o-o)

Tidak siang, apalagi malam, desa dalam pelukan hutan Alaspring itu selalu terkungkung dalam sepi. Namun ini kali Matt butuh lebih dari sekedar sepi. Itu harus senyap sangat, hampa suara dan gelap gulita. Dan menurut perhitungan pelik Matt, akan tiba malam ini, malam tanpa kehadiran bulan dan bintang, yang dipercaya sebagai momen tepat untuk pelaksanaan sebuah upacara.

Maggie duduk patuh di atas cekungan punggung Matt. Keduanya berjuang mengoyak malam menembus kepekatan hutan, demi satu tujuan yakni tanah lapang yang letaknya tepat di jantung hutan yang hanya diketahui kawanan gajah karena disanalah harta karun kawanan itu tersimpan, garam dan mineral.

Sungguh suatu perjalanan yang tidak mudah. Tanpa arahan kelip bintang terkecilpun, mereka menyeberangi sungai, merambah jurang, merangsek setiap sulur penghalang, bersua dengan aneka penghuni hutan yang tak kenal keramah-tamahan. Namun dalam pelarian itu, keduanya benar-benar mendapat dukungan penuh dari alam. Tanpa perlu hitungan waktu, mereka pun tiba di tanah lapang gersang penuh lubang berlumpur itu.

“Setiap yang dilahirkan diharuskan bernama. Mintalah sebuah nama untuk kelahiran senjatamu ini padaNaPandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya),” berkatalah Matt pada Maggie usai keduanya duduk saling menghadap sebilah besi mengkilap di atas dolmen.

Lading.”

Maggie menimangnya di atas telapak tapak kecil, benda itu, sebilah pisau yang diberinya nama, Lading. Dalam kesenyapan rimba, pada langit pekat tak bercahaya dan bersama kesaksian para penghuni belantara yang tak kasat mata, sebuah nama terucap lugas. Spontan. Tak perlu pertimbangan. Tak butuh penjelasan. Seperti Maggie yang selama inipun selalu menerima tanpa bertanya mengapa atau ada apa dengan segala perbedaan yang ia punya.

Maggie tak pernah menyoal bintik hitam yang menguasai separuh wajahnya. Tak mengungkit kepala hidrosefalus-nya. Ia cukup bersyukur lehernya mampu menopang ukuran supra maksi itu. Juga untuk sepasang mata dengan lingkaran hitam yang menegaskan dalamnya rongga mata itu, Maggie pun bersyukur karena dengan fitur mata yang amat berbeda dengan teman-temannya, Maggie justru bisa melihat segala hal yang tidak dilihat siapapun di desanya. Nyonya-nyonya berambut panjang tanpa bola mata yang gemar tertawa dan menangis berlebihan. Paman-paman yang bergigi sangat panjang melebihi gading gajah. Kanak-kanak tak berbaju dengan tubuh penuh bisul bernanah. Para kakek dengan jenggot mencekik leher hingga mata dan lidahnya mencuat, menjulur-julur. Nenek-nenek berdaun telinga selebar telinga gajah dan berwajah belang Harimau. Nona-nona bermata juling dengan payudara sebesar truk reyot Matt. Dan mereka berjumlah sebanyak penduduk desa ini.

Maggie pun tak keberatan dengan rambutnya yang tak tumbuh dengan baik, hanya  beberapa gelintir saja yang akarnya sanggup berdiri itupun dengan warna gerhana api. Maggie merasa itulah mahkota terpantas untuk kepala hidrosefalus-nya. Andai Sang Maha Pencipta memberinya rambut sesubur mereka yang acap ia temui bergelantungan di pepohonan, di rimbun bambu yang diakui sebagai rumah ibunya, tentu tak terbayang derita yang harus ditanggung leher dan pundaknya.

Bahkan tugas berat yang disandangkan kepadanya usai upacara pemberian nama ini pun, Maggie ikhlas menerima. Sumalah lan semereh dhumateng kersaning Gusti. Demikian sebentuk kalimat asing yang ditanamkan di kepala Maggie oleh seorang pria tua asal Jawadwipa, kakek pemberi getah Katilayu itu. Agar ia berserah pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Kreasshh!!

Suara separuh mendesis itu diiringi sekelebat sinar perak yang membutakan mata. Maggie melompat lalu mendarat dengan satu kaki berpijak. Mulut kecilnya semburkan beribu serangga. Lalu tak lama terdengar raung memilukan kemudian kembali senyap. Lading telah bicara, untuk pertama kalinya. Korban pertama pun telah divoniskan.

Sungguh, Maggie merasa tak perlu bertanya mengapa ia harus menghunus si Lading pada jiwa-jiwa tertentu. Bahkan ketika jiwa-jiwa itu mendiami raga mungil yang belum lama lahir. Tapi Maggie merasa bukan tugasnya untuk bertanya tentang dosa apakah hingga kehidupan tak layak diperjuangkan oleh jiwa-jiwa murni itu.

Seperti malam ini. Tugas kembali menanti. Titah datang bersamaan dengan tumpahnya hujan dari langit. Begitu murah hatinya sang langit, hingga tumpahan airnya membuat hutan tempat Maggie biasa berkembara, tampak bergolak. Beberapa nampak kehilangan pijakan. Pepohonan banyak goyah. Mereka riuh bertarung melawan amukan taifun.

Kreasshh!!

Maggie bergerak lincah. Melesat dari satu pintu ke pintu. Dari satu buaian ke buaian. Bayi-bayi yang tengah menyesap tetek ibunya tak sempat merengek. Dalam sekali tebas, jiwa murninya lepas bersama lenyapnya kelebat sinar perak si Lading di tangan Maggie.

Kreasshh!!

Langit tumpah meluruhkan tanah. Larut bersama darah dan jiwa-jiwa yang ketakutan. Tak sedikitpun Maggie gentar dicap bengis nan keji. Sebab telah lama ia menjadi saksi bagi jiwa-jiwa suci yang terusir dari hangatnya rahim bunda bahkan ketika mereka masih dalam bentuk nutfah serupa lintah. Mereka jauh lebih keji. Merekalah ahlinya bengis. Tanpa hati mereka telah benamkan jiwa-jiwa murni ke dalam aliran sungai, penyokong hidup desa ini. Dalam sehari, dua rahim dikerat. Bergalon darah dan birahi digelontorkan, mengotori sungai yang telah lalui perjalanan panjang nan melelahkan, sejak dari pucuk gunung. Dan mereka tak menghargai ketulusan itu. Menistainya dengan semena-mena. Bukankah pantas bila sungai-sungai lantas murka. Meluap. Melibas semua tanpa tebang pilih. Melahap tanpa pandang bulu. Sungai-sungai telah muak dijejali bangkai sekian lama ini. Bukan tugas mereka mengakhiri riwayat sebuah jiwa. Membantai, itu adalah tugas Maggie.

(o-o)

Maggie terkulai. Di tangannya, si Lading masih menggerung lapar, beringas dan haus darah. Meliuk, mengendus, mencari-cari urat nadi.

“Matt...?!”

Ujung runcing si Lading terhenti. Maggie memandang tak mengerti. Namun si Lading keras berlari. Mengarah pada Matt yang terbelalak ngeri. Lalu tanpa basa-basi, seperti ritual pengebirian primitif, Lading bergerak cepat membantai.

Kreasshh!!

Sekelabat cahaya perak itu melintas cepat. Namun tebasan itu tak mengakhiri sengal-sengal nafas Matt. Darah mengucur dari gua yang digali si Lading di leher Matt.

“Matt!!”

Maggie menatap nanar pada Matt yang terkapar berkubang darah. Ia biarkan Lading bermain sesuka hati. Pada tubuh kurus Matt, satu persatu sendi dicongkel lepas. Helai demi helai rambut tercabut. Selapis demi selapis kulit tersayat. Bungkah demi bungkah daging tersobek, terbelah, tercacah-cacah hingga tak ada lagi keutuhan. Lorong di leher Matt tak henti kucurkan darah yang perlahan mengental lalu menghitam Baunya begitu anyir menggoda setan.

Maggie menyeringai. Ada sinis kepuasan di sudut bibir mungilnya. Sekali tiupan beterbanglah sekian ribu serangga, bermanuver sejenak lalu serentak menghabisi hasil mutilasi Lading pada raga Matt. Maggie melolong... dalam bahasa yang telah lama menjadi bahasa ibu keduanya.. bahasa yang tak perlukan fonem indah...cukup bebunyian yang sanggup mengorek darah dan nanah dari gendang telinga sesiapa pun mahluknya.

Lalu dengan liukan cantik, Maggie merobek dinding. Ladingnya menumpahkan semua darah yang telah dihisapnya, di sana, di dinding yang selama ini merekam babak penodaan mengenaskan yang telah dialami Mag. Maggie ingin menghapus rekam jejak di dinding itu. Agar tiada lagi tanda kehadiran Matt di sana. Agar sirna dengus nafas bau dan lelehan mani di bawah ancaman belati. Agar dinding kembali kosong. Agar gerumbul bambu tak lagi resah, berisik menanyakan kapan tiba Matt bertandang ke sana.

(o-o)

Nun jauh di tengah pekatnya malam, lidah api menjulang. Warga desa dalam pengungisan menengarai kobaran api itu berasal dari area tempat tinggal si bocah seram, Maggie. Tak ada kegaduhan seperti yang biasa terjadi saat mereka melihat kebakaran. Warga terbungkam. Tak ada jerit histeris, tangis melengking. Mungkin dingin malam ini begitu menyengsarakan. Sanak kerabat menghilang. Harta entah kemana melayang. Mereka hanya mampu termenung. Terkenang pada lahan subur yang kini serupa kubur. Sesal tak berkesudahan pada jiwa-jiwa yang dengan sengaja telah mereka berangus. Tak ada yang ingin bicara. Biarlah televisi saja yang ripuh meramu dan campur-adukkan fakta dengan dusta setajam lidah...Lading.

-Fin-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun