Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Horor dan Misteri] Lading

29 September 2016   21:23 Diperbarui: 30 September 2016   09:45 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak siang, apalagi malam, desa dalam pelukan hutan Alaspring itu selalu terkungkung dalam sepi. Namun ini kali Matt butuh lebih dari sekedar sepi. Itu harus senyap sangat, hampa suara dan gelap gulita. Dan menurut perhitungan pelik Matt, akan tiba malam ini, malam tanpa kehadiran bulan dan bintang, yang dipercaya sebagai momen tepat untuk pelaksanaan sebuah upacara.

Maggie duduk patuh di atas cekungan punggung Matt. Keduanya berjuang mengoyak malam menembus kepekatan hutan, demi satu tujuan yakni tanah lapang yang letaknya tepat di jantung hutan yang hanya diketahui kawanan gajah karena disanalah harta karun kawanan itu tersimpan, garam dan mineral.

Sungguh suatu perjalanan yang tidak mudah. Tanpa arahan kelip bintang terkecilpun, mereka menyeberangi sungai, merambah jurang, merangsek setiap sulur penghalang, bersua dengan aneka penghuni hutan yang tak kenal keramah-tamahan. Namun dalam pelarian itu, keduanya benar-benar mendapat dukungan penuh dari alam. Tanpa perlu hitungan waktu, mereka pun tiba di tanah lapang gersang penuh lubang berlumpur itu.

“Setiap yang dilahirkan diharuskan bernama. Mintalah sebuah nama untuk kelahiran senjatamu ini padaNaPandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya),” berkatalah Matt pada Maggie usai keduanya duduk saling menghadap sebilah besi mengkilap di atas dolmen.

Lading.”

Maggie menimangnya di atas telapak tapak kecil, benda itu, sebilah pisau yang diberinya nama, Lading. Dalam kesenyapan rimba, pada langit pekat tak bercahaya dan bersama kesaksian para penghuni belantara yang tak kasat mata, sebuah nama terucap lugas. Spontan. Tak perlu pertimbangan. Tak butuh penjelasan. Seperti Maggie yang selama inipun selalu menerima tanpa bertanya mengapa atau ada apa dengan segala perbedaan yang ia punya.

Maggie tak pernah menyoal bintik hitam yang menguasai separuh wajahnya. Tak mengungkit kepala hidrosefalus-nya. Ia cukup bersyukur lehernya mampu menopang ukuran supra maksi itu. Juga untuk sepasang mata dengan lingkaran hitam yang menegaskan dalamnya rongga mata itu, Maggie pun bersyukur karena dengan fitur mata yang amat berbeda dengan teman-temannya, Maggie justru bisa melihat segala hal yang tidak dilihat siapapun di desanya. Nyonya-nyonya berambut panjang tanpa bola mata yang gemar tertawa dan menangis berlebihan. Paman-paman yang bergigi sangat panjang melebihi gading gajah. Kanak-kanak tak berbaju dengan tubuh penuh bisul bernanah. Para kakek dengan jenggot mencekik leher hingga mata dan lidahnya mencuat, menjulur-julur. Nenek-nenek berdaun telinga selebar telinga gajah dan berwajah belang Harimau. Nona-nona bermata juling dengan payudara sebesar truk reyot Matt. Dan mereka berjumlah sebanyak penduduk desa ini.

Maggie pun tak keberatan dengan rambutnya yang tak tumbuh dengan baik, hanya  beberapa gelintir saja yang akarnya sanggup berdiri itupun dengan warna gerhana api. Maggie merasa itulah mahkota terpantas untuk kepala hidrosefalus-nya. Andai Sang Maha Pencipta memberinya rambut sesubur mereka yang acap ia temui bergelantungan di pepohonan, di rimbun bambu yang diakui sebagai rumah ibunya, tentu tak terbayang derita yang harus ditanggung leher dan pundaknya.

Bahkan tugas berat yang disandangkan kepadanya usai upacara pemberian nama ini pun, Maggie ikhlas menerima. Sumalah lan semereh dhumateng kersaning Gusti. Demikian sebentuk kalimat asing yang ditanamkan di kepala Maggie oleh seorang pria tua asal Jawadwipa, kakek pemberi getah Katilayu itu. Agar ia berserah pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Kreasshh!!

Suara separuh mendesis itu diiringi sekelebat sinar perak yang membutakan mata. Maggie melompat lalu mendarat dengan satu kaki berpijak. Mulut kecilnya semburkan beribu serangga. Lalu tak lama terdengar raung memilukan kemudian kembali senyap. Lading telah bicara, untuk pertama kalinya. Korban pertama pun telah divoniskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun