Gen terperangah. Sepasang matanya membelalak tak percaya. Beberapa kali harus dikerjap-kerjapkan karena sulit menerima penampakan itu.
“Assa…eh, wassa…eh, wa’alaikumussalaam…” tersendat-sendat uluk salam itu dibalas Gen. “Kkkaa.... kau?!” tercekat kerongkongan Gen melihat siapa yang datang menjenguknya. Ia nyaris turun dari ranjang, andai kaki kanannya tak tergantung di besi penahan.
“Hai.. Gentong! Apa kabar?” sapanya lagi dengan menambahkan sesungging senyum manis di bibir tipis.
“Kkkaa… kau?!” Gen tak menyangka ia bisa sepandai ini bicara gaya rapper dunia.
“Kenapa? Cat got your tongue? Kaget ya?” senyumnya kian merekah saja.
Gen serasa kehabisan daya. Ia tak sanggup berkata-kata. Pasti seekor kucing siluman telah menelan lidahnya. Hanya sepasang matanya saja yang melemah-lunglai. Berat membendung air mata.
“Apa yang terjadi padamu, Gentong?”
“Rin… ini sungguh kau?” Gen masih mencoba meyakinkan kejelasan retinanya.
“Memang siapa lagi yang memanggilmu Gentong?”
“Rin … ini benar-benar kau, kan?” Gen mengulang pertanyaan bodohnya.
“Gentong, gentong. Padahal baru dua bulan lalu, kulihat betapa hebatnya kau di reuni itu berkemeja batik lengan panjang dipadu serasi dengan pantalon hitam. Sekarang, lihatlah, balutan kain perban ini….”