“Mau saya bantu berbaring, Pak Genta?” seorang perawat pria dengan sigap menopang tubuh Gen yang lemah bergemetaran. Rekannya dengan cepat membebaskan tongkat kruk dari jepitan ketiak Gen.
“Terima kasih,” tersengal nafas Gen saat berkata. Susah payah pula ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Perawat segera mengeringkan titik-titik keringat yang berkumpul di kening dan pelipis Gen.
Sepeninggal para perawat, Gen pun kembali disergap sepi. Layar pipih televisi di dinding tak berhasil mengusir rasa jemunya. Namun sejurus kemudian, terdengar pintu kamarnya diketuk. Tok. Tok. Tok.
Gen bergeming. Ketukan itu tak menggugah Gen untuk memindahkan boa matanya dari buku digital yang baru hendak ia tekuni. Aah, paling perawat itu lagi. Demikian batin Gen berbisik.
Daun pintu terkuak sedikit. Namun belum nampak kepastian seseorang akan muncul. Pada jeda itu Gen pun tergerak menegakkan kepala. Siapakah gerangan? Mustahil bila sekedar angin sebab Gen yakin ia telah mendengar pintu ditutup dengan rapat sebelumnya. Hantukah? Bukankah konon rumah sakit banyak dihuni para hantu? Aih, siang hari begini?
Pintu terkuak lebih lebar.
“Pak Genta…”
Ah, benar bukan, suster itu tadi. Gen pun menjatuhkan matanya, kembali fokus pada bacaan digitalnya.
“Ada tamu, Pak, tapi ini bukan waktunya kunjungan. Saya sudah tegaskan tapi beliau memohon kebijaksanaan. Bagaimana, apakah Pak Genta bersedia menemui?” lanjut si suster yang separuh badannya ditelan pintu.
“Ok,” Gen mencoba menanam semangat pada suaranya. Mungkin salah seorang karyawan dari mess. Hm, kalau benar demikian, lumayanlah ada teman ngobrol. Batin Gen bertunas asa.
“Assalamualaikum…” sapa seseorang muncul seraya menguak pintu lebar-lebar.