Delilah menarik selimutnya lebih tinggi. Belakangan tubuhnya kurang bisa menangkis hawa sejuk air conditioning. Mungkin terlalu lelah menampung bantingan, hantaman, tindihan, dan ragam siksa berupah hmm, mungkin ratusan juta? Tanyakanlah pada koper-koper Delilah. Tapi tidak pada koper bermotif heart-shaped itu. Sebab perjalanan Delilah bersama koper bertabur gambar hati itu, tak pernah mengutip upah.
“Bukankah percuma membawa pakaian banyak, Dion Sayang, sebab toh pada akhirnya kau lucuti semua yang menempel di tubuhku, hehehe,” Delilah terkekeh sendiri di sela kesibukkannya menghalau bau dan sisa dinner semalam yang betah melekat di staklatit dan stalakmit geliginya.
“Kau bisa aja…,” Dion, sang kekasih menjawil gemas pucuk dagu Delilah. “Aku ke kantor dulu ya? See you again petang nanti, hm?” kerlingnya penuh godaan. “Oya, aku ambil satu kopermu!” setengah berteriak sambil menutup pintu.
Ya, ya, ambillah sesukamu, sahut batin Delilah sambil melambaikan tangan pada bayangan tampan yang terhalang pintu. Ambil, ambillah mana yang kau mau, Kekasih. Sebab hanya kau saja yang sangat menggemari koper-koper itu. Asalkan jangan koper bersapu warna amaranth. Biarkan koper itu di tempatnya, menjadi semacam pengingat adanya keabadian yang ingin kuhabiskan bersamamu. Demikian hati kecil Delilah berdesis.
Delilah terkenang koper-kopernya. Sebagian besar tertempel sticker pengembalian dari perusahaan jasa pengiriman. Dengan ragam alasan, semisal: alamat tak dikenal, nama penerima tak dikenal, penerima telah pindah alamat, pernah juga tertera jelas alasan itu: penerima menolak kiriman.
Delilah mengerti. Sangat memahami. Tentu saja. Ya. Manalah sudi ibu menerima semua pemberiannya. Bagi ibu, bahkan tubuh Delilah, putri yang dilahirkannya dengan sepenuh derita, sama haramnya dengan semua materi yang telah Delilah dapatkan. Sekeras apapun kerja yang telah Delilah lakukan, sepahit apapun perjuangan yang telah Delilah lalui.
Ibu. Dimanakah ibu kini?
Dulu ibu pernah datang. Sekali, dua kali, mungkin hingga enam, tujuh kali, hingga perempuan sederhana itu menyadari bila jalan dan tujuan hidupnya sudah sangat berbeda dengan Delilahnya tercinta. Lalu sejak itu ibu tak tentu lagi kabarnya. Bahkan ketika Delilah meluangkan waktu berkunjung ke kampung halaman, ia dapati rumah tempatnya dilahirkan, dibesarkan hingga masa remajanya dijelang, telah didiami penghuni lain, kelelawar, mungkin ular, entah siapa dan apa lagi di balik rimbunnya rerumput dan belukar. Luka ibu tampaknya takkan pernah berjumpa dengan obatnya. Luka Delilah pun sama menganganya.
Lama setelah hari itu, sebuah koper datang kepada Delilah. Menggenapi bilangan kopernya yang telah ada. Berkulit kerbau entah lembu, tapi jelas bukan kelahiran pengrajin berjiwa seni tinggi atau keluaran produsen hebat yang bermukim di luar negeri. Pada koper itu ada lecet koyak disana-sini, lubang kecil di beberapa jengkal, kusam, usang, berjamur, kesemuanya nampak bagaikan motif yang disengaja, namun itulah luka senyatanya, hasil torehan waktu dan masa.
Delilah pun tergoda membukanya. Tak ada nama pengirim berikut identitas yang mengatakan muasal koper tua nan lusuh itu. Seorang kurir mengantarkannya lalu tergesa meninggalkannya di depan pintu.
Sepasang gurita dan popoknya. Satu stel baju bayi lengkap dengan kaus kaki dan topi. Lalu ada bedongan, kain hangat pembungkus bayi. Gelang emas selingkaran pergelangan tangan bayi terukir kata ‘Damiasih’. Buku rapor SD, SMP, SMA berikut beberapa lembar kertas penghargaan. Foto-foto lama. Foto seorang remaja pria yang dibaliknya tertera ‘I Love U’ dengan lengkung hati besar. Foto sekumpulan anak berseragam sekolah, perempuan dan lelaki dengan tawa ceria yang meneduhkan mata. Kertas-kertas hasil ulangan yang sudah menua, warna kuningnya menyebar dan beberapa jejak tumpahan sesuatu, seperti tetesan hujan dari lelangit rumah yang bocor. Topi dan dasi pramuka yang putihnya tak lagi dapat disebut putih. Semua terangkum dalam merah, cyan, turquoise, dan amber.
Delilah berlinang nestapa. Senja kini kian merapat padanya. Perlahan namun jejaknya sangat pasti. Koper-kopernya masih berjajar membisu-gagu. Mungkin tengah didera kebingungan mengapa panggilan tugas tak lagi terdengar. Mengapa perjalanan tiada lagi dilakukan. Mengapa juga tuan puteri tak lekas menghentikan deras sungai yang mengalir dari kedua pelupuk mata indahnya itu, dan membiarkan koper-kopernya tak lagi pernah dibuka. Bahkan koper berlatar amaranth, motif hatinya telah banyak memudar. Keabadian yang dijanjikannya dusta belaka.