Termenung Delilah menatap koper merah.
Merah. Warna yang telah ditetapkan sebagai perlambang dari energi, gairah, tegas dan percaya diri. Tapi koper itu tak merah sepenuhnya bila ditegaskan, ia sedikit agak landai ke semburat mentari yang terkejut oleh kokok ayam jantan di pagi hari. Jingga? Ya, semburat jingga yang konon menambahkan kehangatan dan semangat.
Delilah menarik keluar si Merah-Jingga, koper itu. Tak perlu memeriksa muatannya lagi. Delilah sangat yakin pada detil isi bahkan susunannya. Kosmetik komplit, tiga pasang bikini, tiga pasang lingerie, dua mantel bulu, hitam dan coklat cappuccino, lalu tiga gaun kasual, sepasang boot, dan dua pasang hi-heel. Konten yang tidak banyak untuk ukuran perjalanan lintas batas kedaulatan negara yang kerap ditempuhnya, ia dan si Merah-Jingga. Ah, bersama Mr. Perfectionist tentu saja.
Tak payah juga berbanyak bekal, bila Mr. Perfectionist-nya nanti akan –seperti sudah sering terjadi– menghamburkan banyak hadiah. Di setiap event, entah itu daylight meeting atau after-hours meeting yang seringnya dilakukan pada acara gala dinner disusul private and intimate dinner di ruang-ruang yang kebal hidung sensitive media, Mr. Perfectionist, si pria berkuasa super itu akan mengayunkan tangan sihirnya lalu menentukan karya cipta designer mana yang akan disampirkan di tubuh semampai Delilah. Dan Mr. Perfectionist adalah figur elit yang jelas tak pernah mengenal harga. Apa yang disukainya adalah miliknya.
Seingat Delilah, hanya ada satu dinner, saat dirinya secara mengejutkan tak mendapat limpahan gaun limited edition atau yang dirancang sesuai pesanan saja. Di dinner kala itu, Delilah hanya diperintahkan untuk menutupi tubuh mulusnya hanya dengan sebuah poncho cape coat, atasan berupa mantel sepanjang lututnya. Tak perlu segala entrok, apalagi kancut segala.
Dan mantel itu? Hm, betapa Delilah takkan pernah lupa benda mahal itu, mantel yang sangat lembut dan nyaman mencium setiap pori kulitnya. Terbuat dari bulu yang dipuja kalangan pelaku pecinta mode namun sekaligus pembunuh ribuan mamalia pengerat, chinchilla.
Delilah pula hanya sekejap saja memakai mantel itu. Sebab pada dinner yang disebut nyotaimori atau naked-sushi, Delilah harus gembira menjadi meja perjamuan istimewa, dimana kepalan sushi-sushi, aneka irisan bebuahan dan ragam santapan akan disajikan di atas tubuhnya yang tanpa busana.
Mr. Perfectionist, ou ya, begitulah sebutannya, tentu saja dan mengapa tidak? Sebab setiap high-end client memiliki nickname-nya sendiri. Dan untuk menghindari kesan olok-olok, sebutan Mr. Pi itu lalu mendapat elaborasi yang disesuaikan, P is for Perfectionist, Prodigy, Prince, President, dan lainnya. Tapi Delilah tak ambil pening pada nama, samarankah ataupun ori. Seperti iapun tak peduli Damiasih ataukah Delilah, nama yang tertera di akta lahirnya.
Damiasih? Hm, konon seorang ibu menyematkan doa dan pengharapan pada nama itu. Agar ia menjadi wanita yang berhati damai dan berwelas asih. Ibu? Apa kabar ibu?
Sedang Delilah? Karena kecantikan dan kesempurnaan ragawinya diserupakan dewi suwargaloka, lalu simsalabim abrakadabra, Ma’am pun menciptakan boneka dari Hindia, Delilah dengan wajah dan postur tubuh setara para nona peserta ajang kecantikan dunia, dan tiadanya jarum suntik yang pernah menusuk setiap inci jaringan tubuh Delilah, tak seperti kebanyakan wanita di abad ini yang telah keranjingan pemalsuan dan mempercayakan penciptaan ulang di tangan para tuhan bernama dokter bedah kecantikan.
Kau, Delilah, adalah wanita yang sangat beruntung dengan semua anugerah Sang Maha Pencipta. Demikian, Ma’am pernah berkata. Suatu anugerah yang tak semua wanita beruntung mendapatkannya. Beruntung? Pandangan iri hati, puja-puji, itukah beruntung? Surat-surat cinta, puisi dan sajak bermakna asmara, gurindam, karmina, seloka yang memuja-muja, itukah beruntung?
Kalau benar beruntung, tentu Delilah takkan melewati malam-malam penuh derita, penghinaan, kesewenangan, mabuk yang memusingkan, kesenangan palsu yang getir. Dan kalau benar beruntung, tentu ibu takkan meninggalkan putri tercantiknya. Sungguh, Delilah lebih rebah pada kata ‘kutukan’ ketimbang ‘keberuntungan.’