Hm, oh ya, akhirnya kesendirian yang hening pun tibalah. Delilah berdeham dalam hati. Ia berbaring menengadah lelangit condo yang bersapu para malaikat bersayap, bagai tengah terbang melayang, temani kehampaannya dalam kolam yang mengkaramkan tubuhnya hingga sebatas lehernya. Aroma spa, lilin-lilin berliuk redup syahdu, keheningan ini benar-benar steril. Delilah menutup kelopak matanya, rapat terpejam, konsentrasi menikmati gelembung hangat yang memanjakan kujung tubuhnya yang lembap, kenyal, tiada cela. Setelah seminggu lebih, 8 hari tepatnya, tubuh itu bekerja keras seperti samsak tinju dalam ritual kuno, pergumulan alot, kelahi nan kolot, beralaskan tatami nafsu, sudah selayaknya kenikmatan ini disesap sepuas mungkin olehnya.
“Ya, Ma’am,” Delilah terjaga.
Dering itu. Seperti alarm pembunuh kesenangannya. Ringtone lolongan serigala yang sangat dibenci Delilah. Kembali memanggilnya. Dan Delilah pun berkemas. Koper bercat biru terang, cyan, dipisahkan dari sejawatnya.
Sejatinya tak satupun –ah, mungkin tidak untuk koper bermotif hati– dari koper-koper itu yang disukai Delilah, tidak warna, disain atau bahkan isinya. Walau, yeah, mereka telah membawanya terbang ke belahan dunia manapun, memberinya memori yang didamba setiap ingatan. Namun apatah Delilah, bukankah ia tak berhak membenci sesuatu? Bukankah hanya ada kewajiban baginya untuk menyukai segala sesuatu? Apapun yang menjadi kata hati dan pikirannya.
Hati dan pikiran, tertanam jauh dalam dirinya, namun tak pernah sejalan, selalu menjadi pengkhianat sejati. Sejahat itu? Ya, sekeji itulah. Betapa tak dikatakan keji? Manakala restleting diturunkan, hati tak bicara. Ketika anak kancing tak lagi terkait pada inangnya, pikiran justru melanglang liar. Dan semasa helai demi helai benang dilucuti, ditanggalkan, hati pun bersikeras membungkam, pikiran bersikukuh membuta. Delilah sangat membenci hati dan pikirannya. Oh, pergi, ya, pergilah wahai hati yang rapuh dan manja merengek iba. Enyah, enyahlah wahai pikiran yang acap menumpang-tindihkan iman, norma dan etika. Pergi. Enyah. Bah!
“Ok, Ma’am,” sahut Delilah sengau. Ya dan oke sajalah yang Delilah boleh jawab.
Tercenung Delilah menatap koper cyan.
Mr. Prudence, dengan alur kebijaksanaan yang jelas teraut di wajahnya, menyukai Delilah sebanyak kesukaannya pada koper berwarna cyan, biru muda yang sangat terang. Mungkin pria itu ingin menutupi kenyataan betapa senja telah lama datang menjemputnya. Dan mungkin juga hanya Delilah saja yang membuatnya merasa tenang menghadapi senja itu.
“My dear godfather, oh, look at you, how tired this lovely, my favorite, face, hm?” penuh kasih sayang jemari Delilah membelai. Kemudian menjemput sepiring kecil Baked Alaska, sajian istimewa dari Delmonico, restaurant ternama di sebuah negara bagian. Membalurkan lelehannya yang super lezat ke atas tubuh Mr. Prue, menutupi tiap kerut-merut yang sesungguhnya sangat menakutkan matanya.
Setelahnya kedua orang yang seibarat bapak dan anak itupun tertawa bersama. Membahana, mengguncang bangunan yang tengah dipromosikan meraih bintang tujuh dari lima yang sudah mulai membiasa. Mr. Prue, eksekutif itu memang tipe ceria, banyak melontarkan kata jenaka, walau di atas sprei biru muda ia tak berdaya. Tak menjadi soal bagi Delilah bila pria penyuka warna biru muda itu sulit membuatnya sekedar meletuskan kata ‘au-ah-auh’. Sama sekali bukan perkara baginya. Lagipun dalam bisnis syahwat dan ketamakan ini pantang berhati iba.
Merah, cyan, turquoise, amber, begitulah, satu persatu keempat koper Delilah menjadi pengawal bisu bagi tuan puterinya. Warna yang bersesuaian dengan ciri dan karakteristik high-end client yang telah menjadi client tetap Delilah. Tunggu dulu, empat? Merah, cyan, turquoise, amber, lalu koper terakhir yang bermotif sendiri itu? Hm, ya, koper terakhir dengan noktah yang membentuk heart-shaped itu.
“Hanya inikah koper yang kau bawa, Deli?” seorang pria, muda, bercahaya dan menerbitkan selera bagi yang sempat mengintip figurnya yang perkasa, bertanya sambil membuka koper Delilah, koper bermotif heart-shaped dengan latar amaranth, merah terang keunguan simbol keabadian. Satu-satunya koper yang disukai Delilah. Koper yang dibawanya turut serta kemana ia pergi bersama sang kekasih.