Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Singa Lapar

10 April 2015   06:37 Diperbarui: 4 Januari 2021   15:45 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14286230301224436185

-o-

Lari di tempat lima menit. Lalu cobalah dengar irama jantung melalui moncong stetoskop. Ya. Benar. Seperti itulah degup jantungku saat ini. Tidak. Aku tidak sedang di situs keramat tempat orang uji nyali. Tapi memang aku tengah berhadapan dengan seorang peri. Mataku liar menelanjangi. Dahi. Lalu tersandung di pipi. Bukan! Bukan peri cantik seperti dalam sketsa manga. Lalu? Sudah, diamlah! Biarkan aku menenangkan bilik yang riuh ini.

"Sedang apa?" tanyaku sambil senyum-senyum. Tersipu-sipu sendiri. Eh, kenapa juga? Padahal peri itu bahkan tidak sedang membalas syahdu tatapanku.

"Sedang tidur. Ssst...," mulut periku mengkurva. Jelas ia tak sadar tiap lekukan bibirnya membuatku gila.

"Kok bisa ngomong?" aku meladeni kekonyolannya.

"Lagi ngigau..."

Dan aku semakin kacau. Blaik! Periku lebih tertarik pada Samsung. Bahkan dengan tampangku yang mirip Jo In Sung?

"Kamu pakai bedak apa sih, Mun?" tanyaku lagi. Ediaan! Perusuh! Segala bedak ditanya! Ya-ya. Sudah tak heran bila cinta selalu memiliki kekuatan 'jam Ben 10'. Berubah! Dan dengarlah. Jahanam paling logis pun sanggup bicara konyol.

Si Mumun -ya, peri itu namanya Mumun. Memang kenapa? Kurasa itu pantas dengannya. Mumtaz Hannah lengkapnya. Puas?- meraba pipinya. Pipi. Gundukan imut di bawah teropong mata. Bukit kecil yang sejak awal telah menyita focus retinaku.

"Bukan bedak, Mas. Ini glepung!"

"Apa itu glepung?" tanyaku bingung. Tapi mataku semakin cekung. Merenung pada pipi periku.

"Glepung itu tepung terigu."

Aku menelan ludah. Alamak! Pantaslah pipi itu serupa benar dengan kue bakpau. Mendadak jari jemariku gatal. Tak bisa diam. Kelayapan. Maju mundur menggaruk kaki meja ukiran.

"Pasti kalau mandi pakai facial foam, ya? Itu-tuuh, seperti di iklan-iklan tivi," aku menebak tak ragu. Berdasar pengamatanku tentu. Sudah sejam yang lalu aku memelototi pipi tembam itu. Gokil apa gila?

"Bukan facial foam, Mase..."

Waduh, salah ternyata. Makanya jangan sok tahu. Tidak semua perempuan budak kosmetik. Berisik!

"Lalu?" aku memburu. Yap. Sambil mataku menatap sendu. Pada pipi itu.

"Pakai sabun dulit!" tegas periku dengan rona memerah jambu. Jambon yang membuatku makin terlongong.

Batara! Ternyata khasiat sabun dulit sungguh unik. Tak hanya gelas, piring yang diampelasnya. Pipi periku pun digilas. Dipoles. Cling! Selicin itu. Terpujilah sabun dulit!

"Mun..."

"Hmm..." sambil ber-hmm, ekor matanya mengerling ke arahku.

Deriap! Deriap! Drapp! Drapp! Seratus tapak kuda sekonyong-konyong berpacu. Berderap-derap di lintasan dadaku.

"Kamu pernah lihat pantat bayi nggak?"

Gubraks! Haha. Ya-ya! Aku tahu, aku tahu! Shut up! Hei, bukankah sudah kukatakan cinta sanggup mengubah jahanam terlogis menjadi badut terkonyol?? Haduh, untungnya aku tak keseleo lidah menyebut pantat kuda...

Lihat! Mumun merengut. Oh, tidak. Tolonglah jangan merengut begitu, Periku. Ah, Mumun pasti tak sadar bila cembung pipinya itu kian menggemaskan saja. Segera kupejamkan mata. Kenapa? Harus! Tak tahan rasanya melihat periku pamer anugerah indah dari Tuhannya Yang Maha Pemurah. Sumprit! Luar biasa menggodanya. Auh, Betari! Katakan pasti! Pasti selembut, sehalus dan membal seperti pantat bayi. Wanginya?? Aa, yang itu perlu untuk kuperiksa dulu. Bagaimana? Pantas untuk dicoba, bukan?

"Bolehkah..."

"Tidak!"

"Sedikiiiit saja..."

"Tidak!"

"Kalau gitu, banyak aja deh."

"Tidaklah yaaa..."

"Ugh, pelit!"

"Biarin!"

"Please..."

"Yaa udah deeh..." dengan wajah tertunduk. Berpura takluk. "Tapi nyanyi dulu..." periku meminta persembahan lagu. Dengan lenggok kemayu. Mamma Mia! Siapa bisa menolak bisikan dara??

Sak wiji dina nujuu... Ana kodhok enak-enak turuu...

Wit karipan... Tetabuhan mau bengi...

Tangga nira lagi mantu... Mula jagong ngiras kroncong...

Aku berhenti menapaki tangga oktaf. Mengakhiri lolonganku. Lolongan Celine Dion? Hehe. Persetan rampok, begal atau garong. Lihat Mumun dengan riak senang sudah cukup membuat hatiku plong. What? Dengan tembang macapat tanpa kendang? Jangan dulu meradang. Tak tahukah aku cucunya Tuk Dalang?

"Jadii... Boleh ya, Mun?" aku membujuk. Kepalaku sudah pengar. Hasrat ini menuntut dipenuhi agar lekas segar.

"Iya deh... Boleh," dengan gemulai manja yang membuatku semakin mabuk saja. "Niiihh..." periku beringsut maju. Sedikit menghampiriku. Sedikit saja sebab meja ini, sial! sial! mengapa harus demikian lebar?! Lalu ia menyodorkan sebungkah yang wanginya sudah sampai ke hidungku lebih dulu.

Aku terpana. Hiks. Ya-ya, benar-benar. Mulutku ternganga seperti Udin Nganga. Tapi sumpah! Pipi itu masih pada tempatnya. Bibirku belum mendarat di sana.

"Iniihh...!" periku mengacungkan separuh bakpau  yang menyingkap isi kacang hijau." Mas Ramon minta kue bakpau, kan? Mumun kasih potekan yang lebih besar, niihh!"

Jlok! Gerahamku anjlok. Jari jemariku mulai kram. Kecapaian menggeranyang kaki meja. Kelelahan meremas-remas taplak. Darn! Aku bungkam. Mentautkan geraham. Sebelum benar-benar kaku otot tanganku, kusambut lesu uluran tangan periku.

Hap! Tangannya kutarik. Bakpau remuk redam dalam genggaman kencang.

"A..aa! Hm..pph! Hmffpphh!"

Guncang-guncang. Mengejang. Bara yang kuhembuskan mungkinkah terlalu panas? Seperti naga?

"A..aa! Hm..pph! Hmffpphh!"

Periku meronta. Gelagapan. Megap-megap. Namun perlahan perjuangannya melemah. Yeaah! Periku kalah. Dan pertempuran di teluk kecil itu berangsur tenang. Desau nafas semilir sejuk. Lembut. Nglangut. Menghanyutkan. Melenakan. Penaklukan berakhir tanpa syarat lagi. Di atas meja perundingan tanpa basa-basi. Amboi-amboi. Siapa kan menghindari. Ingatlah, duhai peri. Jangan sesekali, kau pamer pesona diri. Atau kau kan  tergetar, terpatuk olehku. Dan kau kan terkapar, terbius oleh pagutku. Menggelepar-gelepar. Dalam dekapanku, si Singa Lapar...

-o-

"Mun..."

"Nggih, Mas..."

"Lapaaar..."

"Lah, pripun, bakpaunya sudah habis. Sampun telas, Mas..."

Rrrr! And you're gonna hear me... Rrro-arrr!

-o0o-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun