"Please..."
"Yaa udah deeh..." dengan wajah tertunduk. Berpura takluk. "Tapi nyanyi dulu..." periku meminta persembahan lagu. Dengan lenggok kemayu. Mamma Mia! Siapa bisa menolak bisikan dara??
Sak wiji dina nujuu... Ana kodhok enak-enak turuu...
Wit karipan... Tetabuhan mau bengi...
Tangga nira lagi mantu... Mula jagong ngiras kroncong...
Aku berhenti menapaki tangga oktaf. Mengakhiri lolonganku. Lolongan Celine Dion? Hehe. Persetan rampok, begal atau garong. Lihat Mumun dengan riak senang sudah cukup membuat hatiku plong. What? Dengan tembang macapat tanpa kendang? Jangan dulu meradang. Tak tahukah aku cucunya Tuk Dalang?
"Jadii... Boleh ya, Mun?" aku membujuk. Kepalaku sudah pengar. Hasrat ini menuntut dipenuhi agar lekas segar.
"Iya deh... Boleh," dengan gemulai manja yang membuatku semakin mabuk saja. "Niiihh..." periku beringsut maju. Sedikit menghampiriku. Sedikit saja sebab meja ini, sial! sial! mengapa harus demikian lebar?! Lalu ia menyodorkan sebungkah yang wanginya sudah sampai ke hidungku lebih dulu.
Aku terpana. Hiks. Ya-ya, benar-benar. Mulutku ternganga seperti Udin Nganga. Tapi sumpah! Pipi itu masih pada tempatnya. Bibirku belum mendarat di sana.
"Iniihh...!" periku mengacungkan separuh bakpau yang menyingkap isi kacang hijau." Mas Ramon minta kue bakpau, kan? Mumun kasih potekan yang lebih besar, niihh!"
Jlok! Gerahamku anjlok. Jari jemariku mulai kram. Kecapaian menggeranyang kaki meja. Kelelahan meremas-remas taplak. Darn! Aku bungkam. Mentautkan geraham. Sebelum benar-benar kaku otot tanganku, kusambut lesu uluran tangan periku.