Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Lelaki Kecil Bernama Ihsan

8 April 2015   12:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428477387321366915

Ah, lagi-lagi pertanyaan bodoh kuajukan. Memang benar sekolah masa kini gratis, tanpa pungutan biaya, terima kasih kepada para penguasa. Ihsan pun sangat bersemangat pada mulanya, namun gairah itu lekas terjun ke palung tak berujung ketika Hanif teman mainnya bercerita tentang beberapa buku, baju seragam, dan sepasang sepatu yang masih harus dibeli, juga yang tak boleh lupa adalah hadiah untuk guru di akhir semester semasa pemberian rapor. Sementara untuk seorang Ihsan, yang ia kehendaki adalah kemurahan murni tanpa agenda tersembunyi.

"Seikhlasnya," Hanif berujar lalu meringis lucu pada kamera. "Boleh uang, boleh perlengkapan ibadah, kerudung, baju-baju, tas ibu-ibu, apa saja yang kau punya sebagai tanda terima kasih kepada para guru, pahlawan tanpa tanda jasa."

Kameraku lekas berganti menatap Ihsan. Walau dalam kebungkamannya, kameraku dengan jenius mampu mengorek pemikiran lugunya dan seribu alasannya memilih tak bersekolah di gedung yang didirikan dengan anggaran atas nama kesejehateraannya. Lensa itu lalu mengarah pada kaus lusuh, sandal buluk penampang kaki kudisan, dan kantung kresek dari mart berlogo go-green yang memancing grin menjadi tas sekolah andalan si Ihsan. Jauh nian dengan Inanta yang berganti seragam dan segala pernik perlengkapan sekolahnya yang bahkan tidak hanya pada masa kenaikan kelasnya saja namun kapanpun rengekan manjanya itu sukses meluluhkan hatiku.

"Jadi Ihsan boleh minta hadiah, Bang?" matanya mengerjap-kerjap penuh harap.

Aku mengangguk bisu selagi mataku masih mengintip di balik lensa kamera. Menyetujui seketika itu, apapun kelak yang akan disebutkan Ihsan sebagai hadiahnya atas kehidupan jelatanya yang menjadi santapan kameraku.

-o-

Malam ini serasa siang. Lampu-lampu unjuk kebolehannya. Bagi sebagian individu, kilat kamera sungguhlah mempesona. Kapan lagi pose sempurna kalau tidak di hadapan blitz kamera. Bagiku yang terbiasa memanjakan kamera, menjadi tak biasa saat dimanjakannya, canggung dalam hujan cahaya.

Setiap ajang bergengsi seumpama magnet yang berdaya mengumpulkan para pesohor, para petinggi dan figur-figur berkuasa. Di sinilah oasis bagi para oportunis. Sejenak aku lupa Ihsan. Lupa pada tingginya harapan yang ia titipkan kepadaku lewat sorotan kamera.

Slide awal menampilkan figur Ihsan yang mengundang kasihan. Kusorot sejelas mungkin bahwa tak ada jejak nutrisi dan gizi tinggi di tubuh kurusnya itu. Kutegaskan melalui gambar bila tempat yang ideal bagi Ihsan di usianya yang baru menapak tujuh tahun adalah ruang kelas yang dilingkupi celoteh teman-temannya. Sebab ayahndanya tergesa memenuhi takdir Tuhan dengan meninggalkan istri buta dan adinda tuna grahita maka beban berat itu sekonyong-konyong mutlak dilimpahkan sebagai tanggung-jawab Ihsan.

"Ihsan tak ingin diundang ke istana, menonton sendra tari dan nyanyi di Hari Anak Nasional." Gambar itu bicara, menampilkan Ihsan yang berlakon dengan sangat baiknya.

"Ihsan dan adik mau sekolah lima hari dalam sepekan seperti kawan-kawan." Seseorang mengusap sudut matanya yang menggenang. Ihsan dan adiknya mulai mengetuk relung-relung hati pemirsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun