Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Lelaki Kecil Bernama Ihsan

8 April 2015   12:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428477387321366915

-o-

Nyiru bambu di tangan kurusnya itu perlahan diguncang. Dan rempah-rempah pun bergelimpangan. Kamera menyorot nyalang, aku yang mengintip dari balik lensanya masih tak tahu mana itu jahe, bengle, temu kunci, kencur, kunyit, lengkuas, lempuyang dan beberapa lagi yang kutahu sebatas namanya saja.

"Kencurnya segini kan, Bu?" Ihsan meletakkan sebungkah kecil kencur ke dalam genggaman tangan sang ibu. "bawang merahnya tiga siung saja kan, Bu?" ibunya berdeham mengiyakan. Dengan cekatan lapisan umbi terluar dikelupas, menyisakan lapisan segar yang segera ia tumbuk bersama kencur dan garam. Memasak sayur bening bayam sudah meniadi keahlian Ihsan. Bahannya mudah didapat, proses mengolahnya pun cepat, demikian penjelasan Ihsan yang telah kurekam.

Sosok Ihsan segera mengingatkanku pada Inanta dengan segala keberuntungan dan bakatnya yang terasah hingga bocah lelaki gembul lucu itu bisa lolos audisi, pamer kemampuannya di televisi dalam ajang persaingan memasak yang dinilai para chef ahli. Telah terbayang masa depan Inantaku yang pasti tak kelabu.

Niatnya mengerik kulit ari kencur diurungkan, si Ihsan meraih tangan Irma, "Adek di sini dulu ya, jangan kemana-mana nanti jatuh lagi, sebentar kakak mau masak sayur bening bayam kesukaan adek."

Kameraku menyorot wajah bocah ingusan berumur 4 tahunan. Irma menatapku tidak dengan kepolosan buatan. Celotehnya terdengar menggemaskan. Sudut bibirnya ileran, cairan alami bukan baluran jelly. Semua asli karena, hei, bukankah demikian tuntutan documentary?

Ihsan mengikat pinggang ramping Irma, lalu sisa selendang lusuhnya itu dibelitkan kencang pada tiang rumah. Irma meronta-ronta. Tangisnya pecah meminta kembali kebebasannya yang direnggut Ihsan.

"Sebentar saja, Dek, nanti kakak lepas selendangnya setelah kakak selesai memasak, ya?" dalam panik yang tentu memusingkan benak bocahnya, Ihsan berlari ke kebun belakang rumahnya. Aku pun tergesa membuntuti, jangan sampai kameraku kehilangan setiap momen berharga dari kehidupan jelata yang piawai menguras air mata.

Tangan kecil itu lalu memenggal sebatang daun pisang. Darinya dibuatlah semacam senapan yang dapat berbunyi 'preketeek!' bila dekak-dekak yang dirautnya itu dipukul dengan tangan. Preketeek! Bunyi itu melesatkan anganku pada Inanta tercinta dengan lautan mainan berharga mahal yang kupersembahkan sebagai tanda sayang kepada buah hati semata wayang. Mulai mainan edukatif hingga yang sekedar sebagai pemuas kesenangannya belaka.

Tangis Irma mereda, masih tersisa sedu sedannya namun kini diselingi tawa yang lambat-laun membuatnya terlupa akan duka lara sebelumnya. Gadis kecil yang baru bisa bicara 'tata-tata' -di usia yang seharusnya telah memberinya kepandaian bernyanyi itu- tergelak sendiri mengikuti gerakan yang diajarkan Ihsan. Preketeek! Hingga tawanya itupun membuatnya layu, tertidurlah ia dengan leher terkulai disangga tiang kayu lapuk digerogoti rayap.

"Lekas, Nang! Segera dimasak bayamnya sebelum adikmu terbangun," perintah ibu. Kamera kuarahkan pada Isah, perempuan paruh baya, ibunda Ihsan dan Irma, yang sejak lampu menyala bersikukuh diam di tempatnya. Tak banyak bicara. Matanya senantiasa menerawang hampa. Bukan meratapi hidup, kurasa. Entahlah..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun