“Hah? Oh, iya…” Putri tergagap. Matanya hampir juling mencari celah yang dapat meloloskan dasi itu ke dalam simpulnya yang benar sambil berupaya keras berselibat dari tatapan Fahmi yang tak terhindari.
“Ah, punggungku pegal membungkuk terus! Begini sajalah…. Hap!” lalu sekonyong-konyong Fahmi mengangkat tubuh Putri tinggi-tinggi, menggendongnya, lalu mendudukkan bokong gadis itu di atas meja, dan ia sendiri berdiri rapat menghadap Putri.
Gadis itu masih belum pulih dari efek kejutan yang didapatkannya saat melayang, lalu terperangkap dalam dekapan yang memabukkan dan kini ia harus duduk berhadapan wajah, bertukar nafas dan tatapan nanar.
“Ayo, selesaikan! Atau kau ingin kita selamanya dalam posisi saling mengunci begini…hmm?” kata Fahmi seraya mengangkat alis matanya. Sesungguhnya lelaki itu sudah sampai pada batasannya. Matanya telah dapat menembus sepasang telaga jernih yang menawarkan kesejukan. Dan kuntum bibir mungil merah delima yang masih terlongong-longong separuh terbuka itu, ouh jangkrik! maki Fahmi dalam hati. Itulah sebenar-benarnya godaan yang merontokkan lelaki punya iman.
-o-
Kampret! Mengapa kenangan itu masih saja melekat erat walaubangkai Titanic telah terbenam di dasar samudera berabad-abad??
Sudut kafe berpendar cahya sendu nan temaram, tak samarkan wajah ayu seputih pualam, bukan oleh
tebalnya sapuan namun kecantikan alami yang membuat hati siapapun tertawan. Padahal sudah sekian puluh tahun, agaknya sang waktu sangat berpihak kepadanya, kepada Putri yang pernah sangat digilainya. Fahmi mendesah resah.
Pria itu melangkah gagah, tapi sial, mendadak hatinya melemah. Dadanya berdebar kencang menyambut senyum yang mekar. Diamput! Mengapa harus demikian gemetar sekedar membalas kata apa kabar, tak henti Fahmi memaki.
“Siapa nyana ya, kita akan bertemu lagi setelah sekian lama?” cetus Putri membuyarkan lamunan, parahnya disertai senyum manis yang membuat dada Fahmi seketika kembang-kempis.
Pada satu tegukan Americano Capuccino-nya, Putri bercerita tentang perjalanan karirnya yang cemerlang. Di tegukan kedua, wanita cantik nan elegan yang tak lagi dilingkupi kecanggungan itu, mulai nampak jengah menampung pujian. Sungguh aku tak sedang merayu, pujian itu nyata tulus, dan kuyakin ia tahu. Namun adakah Putri tahu bila kejantananku benar-benar tengah tergoyahkan? Bahkan setelah sekian puluh tahun tak bersua? Batin Fahmi diserbu banyak pertanyaan.