Mohon tunggu...
Cerpen

Pemuda yang Lemah

9 Mei 2016   20:44 Diperbarui: 9 Mei 2016   21:15 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pemudaindonesiafoundation.blogspot.com

“Aku bukanlah orang yang kuat pak. Aku lemah” kata pemuda berusia sekitar dua puluhan tahun tersebut kepadaku. Matanya sayu. Dia membiarkan rambut, kumis, serta jenggotnya panjang tidak terurus. Pakaiannya pun terlihat lusuh. Mungkin tidak pernah di cuci selama paling tidak satu bulan terakhir. Begitu juga celananya yang sobek dan penuh tambalan dan bekas jahitan yang tidak sempurna. Kemungkinan besar dia sendiri yang menjahit sobekan yang ada di bagian lutut dan bagian selangkangan celananya tersebut.

Dia tidak memakai sepatu ataupun sandal. Hanya bertelanjang kaki ketika dia tiba-tiba duduk di sampingku, di pinggir taman, dan tiba-tiba berbicara kalimat di atas. Melihat keadaan dirinya yang seperti itu, aku yakin dia merupakan seorang gelandangan musafir. Maksudku musafir di sini itu karena aku tidak pernah melihatnya di kotaku. Sebagai orang yang lahir dan menghabiskan puluhan tahun usiaku hingga pensiun satu tahun lalu di sini, aku mengenal semua seluk beluk bahkan hingga tempat paling rahasia sekalipun di kota ini. Seperti tempat istri simpanan walikota sekarang dan tempat selingkuhan walikota sebelumnya misalnya.

Aku tidak merasa kasihan sama sekali dengan pemuda ini. Untuk apa aku kasihan hanya karena mendengar kata-kata putus asa darinya. Dia boleh tidak mempunyai harta. Tapi, dia sama sekali tidak terlihat memiliki cacat yang membuatnya tidak bisa menghasilkan uang. Lihatlah otot-otot yang berjejeran di tangannya legam itu. Setidaknya, jika dia tidak bisa menggunakan otak, ototnya sudah lebih dari cukup untuk digunakan sebagai alat pengganjal perut.

“Aku tidak peduli.” kataku tegas.

Dia memandangku dengan pandangan yang menyipit.

“Kenapa?”

“Buat apa aku peduli padamu. Kita bahkan tidak kenal. Dan, lihat!. Apa kamu tidak punya rasa malu mengatakan kalau kamu lemah di usia yang semuda ini. Aku sudah berusia lebih dari 60 tahun. Tapi, aku masih merasa kuat. Serasa hidup masih berjalan di usia dua puluh”

Dia tidak menanggapi.

“Kamu berasal dari mana?” mengalihkan topik pembicaraan, aku pikir tidak ada salah sedikit berbincang dengannya. Lumayan untuk menghabiskan waktuku yang seringkali membuatku bingung harus dihabiskan untuk apa saja akhir-akhir ini.

“Jauh. Di selatan”

“Selatan?. Bukankah daerah tersebut sudah mati. Hancur akibat gempa besar 10 tahun lalu”

Dia mengangguk.

“Bagaimana mungkin?” aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Bukankah hanya 10 orang yang selamat dari 10.000 jiwa yang ada di sana. Tapi, 10 orang tersebut seharusnya berada di daratan tengah, pusat pemerintahan. Mereka dibawa ke sana untuk melanjutkan hidup mereka demi menjaga keturunan daerah selatan agar tidak punah.

“Mungkin saja” jawabnya acuh.

“Buktinya” aku masih tidak percaya.

“Tidak ada”

“Kalau begitu aku tidak akan pernah percaya”

“Tidak mengapa” dia tersenyum.

Aku kembali terdiam. Pembicaraan berhenti di sini. Dan, sepertinya, dia sama sekali tidak berniat untuk berbicara denganku. Kata-kata pertamanya tadi lebih kurang, mungkin sejenis informasi. Tapi, inilah yang membuatku semakin penasaran. Apa maksudnya berbicara seperti itu?. Dan, mengapa dia mengatakan hal itu padaku?. Ya, tidak menutup kemungkinan kalau itu hanyalah, sekali lagi, ucapan sambil lalu seorang gelandangan. Tapi, mengapa?.

“Ya, baiklah” aku mencoba kembali memulai percakapan. Kali ini dengan niat lebih dari sekedar menghabiskannya untuk sebuah obrolan biasa.

“Kalau misalnya, kamu memang penduduk daerah selatan. Seharusnya kamu malu mengatakan dirimu adalah orang yang lemah. Daerah selatan terkenal dengan penduduknya yang kuat dan tahan banting terhadap beban dan masalah apapun”

Dia mengangguk.

“Ya, pak. Aku merasa malu. Tapi, kenyataan tidak akan pernah bisa diubah hanya dengan rasa malu. Karena, aku bukanlah orang yang kuat pak, aku lemah.”

Dia mengulangi lagi pernyataannya.

“Kenapa kamu masih bicara seperti itu. Kamu masih muda. Jika kamu merasa lemah. Coba lihat dari sudut pandang yang berbeda. Dari segi tertentu, kamu mungkin adalah manusia terkuat di dunia. Cobalah, misalkan dunia ini hanya tersisa dua orang manusia, aku dan kamu. Pasti kamulah yang lebih kuat dariku. Ototmu masih perkasa, sedangkan ototku sudah lapuk dimakan usia. Ya, aku memang bilang tadi kalau aku masih sekuat saat aku berumur dua puluhan. Tapi, itu hanyalah salah satu cara agar aku menjadi lebih kuat dari aku yang sebenarnya. Itulah yang orang katakan sebagai kekuatan sugesti. Kamu harus tahu itu.”

Dia tersenyum.

“Bukannya tadi kamu bilang, kamu tidak peduli padaku pak?”

“Ya. Itu tadi. Sekarang lain. Aku merasa perlu untuk memberikan ceramah pada anak muda yang seharusnya tidak merendahkan dirinya di hadapan orangtua sepertiku.”

“Terimakasih pak. Perhatianmu sangat aku hargai.”

Dia memandang jauh ke depan.

“Tapi, tetap saja. Aku bukanlah orang yang kuat pak. Aku ini lemah”

Aku mulai merasa marah terhadapnya.

“Mengapa kamu berpikiran seperti itu?. Baru kali ini aku berbicara dengan anak muda yang kepercayaan dirinya serendah dirimu”

“Terimakasih pak. Bapak adalah orang yang kesekian berbicara seperti itu padaku. Tapi, tetap saja pak. Aku bukanlah orang yang kuat, aku ini lemah”

“Terserah kamulah anak muda” ujarku mendesah. Aku tidak ingin diriku semakin memasuki anak muda ini.

“Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan?”

“Tidak ada. Tidak tahu. Aku hanya ingin duduk di sini hingga matahari terbenam.”

Aku tertawa.

“Matahari tidak akan pernah terbenam. Kamu seharusnya tahu itu. Hingga kamu menjadi tulang belulang sekalipun, tidak mungkin hal itu terjadi. Tenggelamnya matahari hanyalah kisah pembohong yang menjual kebohongannya. Tidak ada yang bisa dilakukan terhadap fakta itu.”

Dia mengangguk.

“Ya, pak. Aku akan menunggu hal itu terjadi”

Aku kembali tertawa. Sudahlah. Tidak ada gunanya berbincang dengan orang gila. Ya, hanya orang gila yang masih beripikir kalau matahari akan terbenam. Tidak mungkin hal terjadi. Matahari terbenam hanya terjadi di dunia nyata. Sedangkan ini adalah dunia khayalan, dunia mimpi. Jadi, apakah kamu pikir di dunia khayalan matahari bisa tenggelam. Hahahah. Tanyalah ke setiap orang yang ada di dunia ini, yang masih waras, mereka akan menertawakanmu.

“Terserah kamulah anak muda. Aku akan menemanimu selama beberapa jam ke depan. Lagipula, akulah yang pertama duduk di sini.”

“Terimakasih sekali lagi pak.”

kemudian kami kembali terdiam. Sesekali saja aku mengajaknya berbicara. Selebihnya aku menghabiskan waktuku dengan membaca buku. Waktu terus berjalan, aku tidak menyadari, tiba-tiba saja seseorang menepuk bahuku.

“Kamu ketiduran pak.”

Aku mengucek mataku. Ketiduran?. Bagaimana mungkin?. Seharusnya tidak ada yang namanya tidur di dunia ini. Tidur hanya milik dunia nyata. Dan tunggu, ada yang aneh. Kenapa aku hanya bisa melihat samar-samar wajah anak muda ini. Aku kembali mengucek mataku. Anak muda itu masih tersenyum. Aku memandang sekelilingku, cahaya temaram telah melingkupi pandangan mataku yang masih bisa melihat jernih. Mataku kembali berpandangan dengan mata si pemuda yangm asih tersenyum dengan pandangan mata bermakna campur aduk. Dia mengalihkan pandangannya ke atas. Berkata dengan suara pelan dan lirih.

“Aku bukanlah orang yang kuat pak. Aku ini lemah”

Aku menatap langit, terpana, bulan sudah bertengger di sana menggantikan matahari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun