Mohon tunggu...
Puisi Pilihan

Mamaku

8 Mei 2016   14:00 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.axltwentynine.com

Orang menyebutnya wanita gila, tapi aku memanggilnya mama. Bukan, aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya. Tapi, karena kebetulan aku tidak mempunyai orangtua, maka aku mengangkatnya sebagai orangtuaku. Wanita gila ini adalah “mama” pertamadalam hidupku. Itu karena, orang yang seharusnya aku panggil sebagaimama, berdasarkan hubungan darah, sama sekali tidak mengakuiku. Dia meninggalkanku, yang masih bayi, begitu saja di samping sebuah warung kopi di dekat pasar. Untunglah, kakek yang menjaga warung kopi tersebut berbaik hati memungutku. Dan, semenjak itu hingga sekarang,aku diangkatnya sebagai cucu. Begitulah cerita kakek saat aku bertanya padanya tentang masa laluku.

Kakek angkatku tersebut, menatapku dengan pandangan menertawakan saat akumemperkenalkan wanita gila ini sebagai mamaku. Tapi, paling tidak, aku tidak perlu lagi malu kepada anak-anak yang bergelayutan manja di tangan mama mereka yang sering aku lihat di taman bermain kota. Jikamelihat mereka, aku pasti menghindar. Aku takut ditanya mengenai orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak perlu lagi malu. Mamaku telah berada di sampingku sekarang.

Tidak perlu aku janji-janji dari calon-calon presiden tentang kesejahteraan bagi rakyat kecil di negeri ini. Adanya seorang mama dan seorang papa sudah lebih dari cukup untukku mendapatkan prediket rakyat kecil yang sejahtera. Kalau saja para calon presiden itu datang ke kota kami, dan bertanya apa yang aku inginkan sebagai rakyat kecil dari mereka,aku tidak akan egois memikirkan diriku sendiri. Aku akan meminta agar dia memberikan mamaku seorang suami. Tidak perlu waras. Gila punjadi. Sayang, sampai sekarang tidak ada calon presiden satu pun yang datang ke kota ini. Bahkan setelah pemilu berakhir, tidak ada satu pun di antara mereka yang datang. Yah, mungkin di pemilu selanjutnya aku harap ada yang datang ke kota ini dan menjanjikan suami untuk mamaku, pasti aku akan memilihnya.

***

Aku bertemu dengan mamaku secara kebetulan. Saat itu aku sedang menikmati makan siangku di sebuah bangku yang terbuat dari bambu, di pinggir sebuah kompleks pemakaman. Aku adalah seorang pemulung ketika sedang tidak menjaga warung kopi kakek. Aku tidak sekolah. Kakek tidak memiliki cukup uang untuk itu. Tempat tinggalku adalah gubuk kecil,terletak tidak jauh dari bangku bambu yang berada di dekat komplek pemakaman tersebut. Gubuk ini milik kakek sebelum dia memulai usaha warung kopinya. Tempat ini sekarang dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat para penggali kubur. Biasanya, ketika ada mayat yang akan dikuburkan, kakek akan dengan senang hati meminjamkan gubuknya. Dengan imbalan, para penggali kubur tersebut memesan kopi dan jajan di warungnya. 

Nah,ketika aku akan memasukkan suapan pertama makan siangku, seorang wanita datang. Dia berpakaian sangat kumuh, kotor, dan bau. Rambutnya beruban dan acak-acakan. Siapa pun yang melihat, pasti akan menutup hidung. Karena aku yang biasa bergumul dengan sampah pun, bisa mencium baunya. Dia pasti sudah tidak mandi selama bertahun-tahun. Ditangan kanannya terdapat sebuah boneka mainan berbentuk manusia. Diamenggenggam erat boneka tersebut. Aku pernah melihat boneka seperti itu di toko mainan. Kalau tidak salah namanya boneka Barbie.

Dia menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti. Dia hanya menatapku tanpa melakukan gerakan apapun. Saat itu, aku ingin lari karena sedikit banyak, ada rasa takut yang muncul. Tapi, pandangan matanya membuatku tidak mampu bergerak pergi dari bangku ini. Ada sesuatu yang hangat muncul dari tatapan matanya. Aku tidak tahu atau pun mengerti apa itu. Tapi, aku bisa merasakannya. Karena itu, aku putuskan itu memasukkan suapan pertama yang tadinya sempat tertunda. Tepat saat suapan pertama telah meluncur kencang menuju perutku yang nyaris busung lapar, mamaku tiba-tiba mencium boneka yang ada di tangannya tadi. Lembut, dia membelai-belai kepala boneka tersebut. Tersenyum, dia memperlihatkan giginya yang kuning kepada boneka tersebut.

“Makanlah nak!”

Dia berkata seperti itu sembari tetap membelai-belai kepala boneka tersebut. Kemudian dia berpindah, bergerak menuju bangku tempatku makan. Dia duduk tepat di sampingku sembari masih membelai-belai benda kesayangannya. Aku beranjak sedikit dari tempat dudukku. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian, tiba-tiba dia bernyanyi dengan kata-kata yang masih aku ingat jelas. Karena kata-kata inilah yang selalu dia nyanyikan berulang-ulang dengan nada dan irama yangberubah-ubah.

“Cepatlah besar anakku. 

Jadilah pintar. 

Jadilah presiden”

Dia terus bernyanyi seperti itu tanpa mempedulikan aku sama sekali. Yakin dia tidak akan melakukan apapun padaku, aku melanjutkan makanku yang tertunda. Dia terus menyanyikan lagu ini hingga aku telah menyelesaikan setengah dari nasiku. Aku sengaja menyisakan setengah dengan niat untuk  diberikan kepadanya. Jadi, setelah meneguk air minum, aku pergi beranjak meninggalkannya. Tanpa kata aku pergi. Namun, aku sempat berpaling, ingin melihat apa yang akan dilakukannya. Aku menduga dia akan terus bernyanyi. Tapi, dugaanku salah. Dia berhenti bernyanyi dan menatapku dengan pandangan mata yang sama seperti saat pertama kali kita bertemu tadi. Hangat dan tidak bisa aku mengerti. Pandangan mata tersebut terus menghantuiku sampai membuatku tidak bisa tidur nyenyak memikirkannya.

Karena hal itu, keesokan harinya, aku kembali sengaja datang pagi-pagi berharap dia masih ada di sana. Dan harapanku terkabul. Dia berada disana. Aku tidak tahu di mana dia tidur semalam. Apa dia tidur di bangku itu, atau pergi ke suatu tempat yang lebih nyaman. Aku tidak tahu. Yang jelas, dia telah berada di sana pagi itu. Seakan dia mengerti kalau aku akan datang untuk melihat pandangan matanya.

“Cepatlah besar anakku. 

Jadilah pintar. 

Jadilah presiden”

Dia kembali bernyanyi dengan pandangan mata yang sama. Lembut, sejuk ,seakan sebentar lagi hujan akan menepis hawa panas yang menghampiri dalam satu bulan terakhir. 

Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sampingnya, dan tidak berkata apapun hingga siang hari datang. Dalam kediamanku, dia terus saja bernyanyi, berbicara dengan boneka kesayangannya, dan terkadang tertawa menatapku sembari memeluk erat bonekanya. Terkadang dia menghentikan celotehannya dan diam membisu, membelai anak khayalannya tersebut dalam diam. Di saat aku memperhatikannya, bermacam-macam pikiran berkecamuk di dalam diriku. Siapa wanita gila ini, mengapa dia bisa berada di sini?. Ada apa dengan boneka itu?. Dugaanku dia pasti telah kehilangan anaknya, dan itu sangat menyakitkan sehingga dia tidak mau menerima kenyataan tersebut. Entah anaknya mati, atau diambil oranglain, atau mungkin sebelum lahir sudah tidak bernyawa, aku merasakan sejumput rasa iri yang semakin lama semakin besar. Betapa beruntungnya memiliki seorang yang sangat menyayangimu sehingga ketika kamu mati, dia sangat terluka. 

Tepat, saat aku ingin meranjak dari bangku rapuh ini. Berniat meninggalkannya karena rasa iri yang muncul di hatiku semakin besar.Dia berhenti membelai bonekanya. Dengan suatu gerakan cepat, dia mengarahkan pandangannya ke arahku. Lalu tertawa, kemudian tersenyum, dan tertawa lagi. Perasaan takut saat pertama kali bertemu dengannya kembali muncul. Aku langsung bangkit dari dudukku, dan berniat mengambil langkah pertama untuk pergi meninggalkan wanita gila ini sendirian. Dan ketika aku mengambil langkah kedua, aku mendengar suara nyanyiannya di belakangku.

“Cepatlah besar anakku”

Bait pertama. Aku menoleh. Dia sudah berdiri di belakangku. Belum sempat aku berpikir, tangannya yang kotor mengusap kepalaku.

“Jadilah anak yang pintar”

Aku bingung dalam ketakutan. Dia tertawa dan tersenyum bergantian. Akuingin pergi, lari darinya. Tapi, kelembutan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya terasa sangat jelas dari usapan telapak tangannya yang kasar dan hitam. Entah mengapa, tiba-tiba berbagai macam ingatan timbul tenggelam dalam kepalaku. Ingatan tentang seorang anak yang selalu ditemani ibunya muncul di benakku. Ibunya selalu mengelus kepalanya dengan lembut, hampir setiap saat ketika dia menangis ataupun tertawa saat bermain di taman bermain bersama teman-temannya. Aku yang sedang membawa karung goni berisikan botol minuman bekas, selalu berhenti sejenak, kemudian memalingkan muka. Menjauh daritempat itu dengan airmata yang selalu tertahan.

“Jadilah presiden”

Mataku terpejam. wanita gila itu tersenyum dan tertawa bergantian. Sebuah rasa yang menyesakkan dan hangat muncul tidak bisa ditahan dari dalam dadaku. Airmataku jatuh perlahan mengalir di pipiku yang cekung.

“Baik mama” kataku dalam tangisku. Mamaku kembali tersenyum dan menangis bergantian.

***

Pertemuan pertamaku dengan mama sudah lebih dari sebulan lalu. Selama satu bulan itu, hal-hal yang selama ini menjadi pertanyaanku tentangnya seperti, dimana dia tidur dan bagaimana dia makan telah terjawab.Tempat tidur dan bahan makanan mamaku tidak berbeda dari orang gila biasanya. Dia tidur dimanapun saat dia mengantuk. Di bangku tempat pertama kali aku bertemu dengannya, di depan gubuk kakek, di emperan toko, di pelataran masjid kecil di dekat pemakaman. Jika hujan, dia akan berlindung di tempat manapun yang tidak tersentuh oleh air hujan. Segila-gilanya orang gila, dia pasti masih bisa merasakan dampak setiap sentuhan yang menyentuh kulitnya. 

Mamaku makan apa saja yang bisa dimakan ketika dia lapar. Selain bekas makanan yang ditemukannya saat di berkeliling dengan boneka kesayangannya, dia juga memakan berbagai jenis binatang kecil hidup-hidup. Kecoa, cacing, cicak, dan berbagai jenis serangga adalah makanan favoritnya. Tentu saja aku telah melarangnya untuk memakan makanan yang seperti itu. Tapi, seperti orang gila pada umumnya, mamaku tidak mengerti apa yang aku katakan. Aku bahkan setiap sore, mencarinya keliling  kota, untuk memberikannya nasi bungkus. Dia memakannya. Setelah itu aku berharap dia menghentikan kebiasaannya makan sembarangan tersebut. Tapi, dia tidak pernah berhenti memakan apapun ketika dia ingin memakan sesuatu. Dan, akupun berhenti mencoba memaksanya untuk berhenti. Alasannya, meski mamaku memakan makanan yang tidak pantas tersebut, dia sama sekali tidak pernah sakit. Aku kagum sekaligus heran. Menurut kakek, mamaku tidak pernah sakit karena orang gila pikirannya lepas dari berbagai macam beban kehidupan. Karena tidak mempunyai beban pikiran itulah, penyakit enggan menghampirinya. Karena, sebagian besar penyakit muncul bukan dari apa yang kita makan, tapi dari banyaknya masalah yang menimpa hidup. Ironisnya, lanjut kakek sembari tertawa, mamamu tidak punya beban karena terlalu banyak menanggung beban. Tali yang berfungsi menanggung beban di otaknya telah putus. Namun, itu bukanlah hal yang baik. Karena, tali yang masih berfungsi di otak tersebutlah yang membuat seseorang menjadi manusia. Karena tali yang ada di otak mamaku telah putus, mamaku tidak pantas disebut sebagai manusia, kata kakek sambil tertawa terbahak-bahak. Tawa kakek tersebut dibarengi oleh tawa para pelanggan warung kopinya. 

Tentusaja, aku marah mendengar lelucon kakek tersebut. Tapi, aku hanya bisa menahannya dalam hati. Jasa kakek terlalu besar bagiku. Terutama, aku tidak tahu akan tidur dimana kalau dia sampai mengusirku jika aku menunjukkan kemarahanku. Lagipula, aku tahu, kakek hanya bercanda. Tapi, lain kali aku akan beritahu padanya kalau bercandanya jangan sampai kelewatan. Berbeda dengan masyarakat lainnya, terutama warga sekitar, mereka telah menganggapku gila karena telah mengangkat orang gila sebagai mama. Saat pertama kali mendengar pengakuanku kalau orang gila yang di sana, aku menyebutkan ciri-ciri mamaku, telah aku angkat sebagai mamaku, reaksi mereka selalu sama. Mata mereka membesar, dengan mulut ternganga.

“Apa kau gila?”

Lalu mereka tertawa terbahak-bahak sembari menggesek-gesekkan jari telunjuk mereka di dahi. Sebuah isyarat yang mengatakan kalau aku gila karena mengangkat orang gila sebagai orang tua. Aku sama sekali tidak keberatan. Karena, aku mengakui kalau mamaku memang gila. Jadi,tidak masalah jika aku dianggap gila karena itu. Pada awalnya, ejekan yang mengarah padaku datang bertubi-tubi hingga dua minggu lamanya.Tentu saja, ada masa di dalam dua minggu itu aku marah dan kesal karena mereka keterlaluan. Namun, kemarahanku tersebut berdampak baik. Kejadiannya ketika itu, segerombolan pemuda yang tidak aku kenal, mengatakan hal yang menyakitkan tentang mamaku, sembari tertawa terbahak-bahak mengejek.

“Eh, tadi, mamamu itu, kami lempari dengan batu, dan dia lari tungkang langkang seperti dikejar orang gila. Ah, terbalik, yang gilakan mamamu. Hahahaha!!!” 

Segera saja aku pukul ketua gerombolan tersebut. Aku memukulnya dengan teramat keras hingga jatuh terduduk. Belum sempat teman-temannya bertindak, aku menendang kepalanya hingga membentur tanah dengan keras. Dia pingsan, begitu juga aku karena dihajar balik oleh teman-temannya.

Aku harus diceramahi habis-habisan oleh kakek gara-gara perkelahian tersebut. Tapi, aku puas, semenjak itu tidak ada lagi yang berani berbuat kasar terhadap mamaku. Kalaupun mamaku membuat masalah, seperti tidak mau pergi dari depan toko yang mau buka misalnya. Pemilik toko akan memanggilku dan menyuruhku agar membawa mamakupergi. Dan selalu, hanya dengan bujukankulah mama mau pergi. Dia mengikuti sembari mengelus rambutku. Aku membawanya ke tempat pertamakali kami bertemu. Sepanjang jalan orang-orang memandangi kami berdua dengan berbisik-bisik. Aku tahu, bisikan tersebut hanya beberapa yang bermakna baik. Selebihnya pastilah ejekan, dan tertawaan. Tapi, siapa peduli. Sekarang, aku telah memiliki mama. 

Terlebih lagi, melihat mamaku sudah lengket denganku. Kakek akhirnya mengizinkanku untuk membawanya tidur ke gubuk kakek yang berada dekat pemakaman tersebut. Setiap setengah jam lewat waktu isya, aku selalu mencari mamaku yang berkeliaran mengelilingi kota. Sekarang mamaku tidak lagi diusir oleh orang-orang. Bahkan mamaku diberi makan oleh mereka. Dan, aku sudah hapal mati di tempat-tempat mana saja mamaku biasanya berdiam pada malam hari. Aku akan mencari ke titik-titik tersebut. Lalu membawanya ke gubuk reyot milik kakek. Ritual itu pasti berulang. Aku menggandeng tangannya. Dia mengelus kepalaku, sembari menyanyikan lagu yang biasa dia nyanyikan. 

***

Selama lebih dua bulan berturut-turut, aku mendampinginya di malam hari hingga tertidur. Selama itu, hampir tidak ada kata-kata keluar dari mulutku. Mamakupun sepertinya tidak punya hasrat untuk berbicara padaku selain dengan nyanyiannya. Sebuah nyanyian yang aku yakin telah aku dengar beribu-ribu kali atau bahkan mungkin belasan ribu. Tapi, aku tidak akan pernah bosan. Tidak setiap anak pernah dinyanyikan lagu sebelum tidur oleh ibu mereka. Yah, walaupun dalam kasus ini, akulah yang menanti ibuku untuk tidur. Pernah aku tertidur sekali, dan mamaku mendadak berteriak sambil menangis. Aku tidak tahu mengapa. Menurutku, dia belum puas menyanyikan lagu tersebut untukku. Jadi, untuk menyenangkannya, aku terus menjaga mataku agar terus terjaga. Meski dia tidak pernah tidur di bawah jam 12, bahkan pernah dia bernyanyi hingga pukul tiga pagi, tidak masalah bagiku. Karena, elusan tangannya ke kepalaku, tatapan matanya yang lembut yang dia berikan padaku, adalah kebahagian yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata.

***

Sudah lebih dari tiga bulan, aku hidup bersama dengan mamaku. Tidak ada kebiasaan yang berubah. Penduduk kota telah semakin terbiasa dengan hubungan kami. Dan, hal yang paling membahagiakanku adalah, seorang anak sd yang pernah bertanya padaku, mana mamamu?, telah berhasil aku temukan. Sesuai dugaanku, dia sudah smp sekarang. Aku yang kebetulan sedang menunggui mama yang sedang mengorek-ngorek tong sampah, langsung mendekat ke arahnya sambil setengah memaksa menyeret tangan mamaku. Dia tidak menolaknya. Dia membiarkanku membawanya kepada sianak smp tersebut dengan potongan wartel yang sudah menghitam dimulutnya. Anak tersebut sedang menunduk di tepi jalan, dekat sebuah taman. Beberapa meter di depannya, ada sebuah mobil dengan pintu yang terbuka. Di dalamnya, samar aku melihat seorang wanita setengah baya yang berumur sekitar pertengahan tiga puluhan. Pasti itu mamanya. Senyum di bibirku bertambah lebar. Beliau pasti senang berkenalan dengan mamaku. Dengan penuh semangat, hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku memanggilnya dengan tangan mama yang aku genggam dengan erat.

“Hei, masih ingat aku?” dia berpaling. Mukanya memperlihatkan wajah terkejut dan juga sedikit takut. Aku tertawa. Dia pasti kaget melihatku dengan seorang wanita yang tidak mungkin dia bisa salah duga, seorang ibu.

“Kenalkan ini mamaku” kataku sembari menunjukkan wajahku ke arah mama agar dia mengikuti kemana mataku mengarah. Tentu itu tidak perlu. Dia pasti sudah melihat mamaku. Tapi, aku ingin melakukan hal itu, untuk membanggakan diri di hadapannya kalau aku juga memiliki seorang mama. Dan, dengan senang hati, aku akan memperkenalkan mamaku dengan mamanya. Aku yakin, mamaku dan mamanya akan berhubungan akrab nantinya. Mamaku sudah menghabiskan sisa wortel yang sudah menghitam tersebut. Dia tersenyum ke arah sobatku yang satu itu, memperlihatkan giginya yang kuning dan hitam. Mamaku benar-benar seorang ibu yang ramah. Dengan perasaan bangga yang meluap-luap, aku kembali memalingkan wajahku ke arahnya. Kawanku yang satu ini, sudah berjalan cepat dan semakin cepat menjauh dari hadapanku. Dia masuk ke dalam mobil, dan tanpa kata-kata, mobil tersebut melaju kencang meninggalkan aku dan mamaku tanpa kata-kata. Aku mendesah dan merasa tersinggung. Mengapa dia lari seperti itu dariku dan mamaku. Dia seperti melihat orang gila saja. Maksudku, ya, mamaku memang gila,tapi setidaknya aku memiliki seorang ibu. Sembari menahan kata-kata sumpah serapah, aku menarik tangan mamaku kembali ke tempat sampah. Dia pasti masih lapar. Sembari mendengar nyanyian mama terhadap bonekanya, aku mencoba berpikiran positif. Mungkin saja anak itu malu padaku karena dia telah menuduhku tidak memiliki mama. Dan, ketika tahu aku memilikinya. Dia merasa malu. Kemudian pergi dariku untuk menutupi rasa malunya tersebut. Aku tersenyum. Pasti seperti itu. 

Ketika sampai di tempat sampah, mamaku segera mengorek-ngoreknya kembali. Disaat itu, beberapa pasang mata yang belum tahu menatap aku dan mamaku dengan perasaan aneh. Biar saja, aku tidak peduli. Karena, dia adalah mamaku, dan aku telah tiga bulan memiliki mama. Aku sangat bahagia. 

Saat aku memandangi mama menggigit potongan wortel yang sudah hampir busuk, mamaku melemparkannya ke arahku. Kemudian mamaku kembali mengorek-ngorek tempat sampah. Aku memegang wortel yang hampir busuk tersebut. Ada bekas gigitan kecil di sana. Aku menatap mamaku yangsudah mendapatkan wortel busuknya yang ketiga. Dia memakannya dengan lahap. Aku memandangi wortel yang ada di tanganku kemudian wajah mama bergantian. Aku merasa mama memberikan wortel ini kepadaku untuk aku makan. Senang, aku senang sekali. Akhirnya mamaku sudah mulai sedikit waras. Dia telah menyadari salah satu perannya sebagai orangtua. Memberi nafkah kepada anak kesayangannya. Dengan hati berbunga, aku memakan wortel busuk pemberian mamaku tersebut. Itu adalah wortel terenak yang pernah aku makan.

***

Kakek mengusirku dari kedai kopinya, dan tidak diperbolehkan lagi untuk tidur di pondoknya. Salah satu alasannya, dia malu melihat aku yang sudah tidak terpisahkan dari mamaku. Tentu saja, bagaimana mungkin aku mau berpisah dari mamaku. Sehingga, dengan hati yang bulat, aku mengajak mama pergi berkelana berkeliling kota demi kota. Bagiku, perjalanan kota demi kota dengan mama benar-benar merupakan sebuah tamasya yang menyenangkan. Terlebih lagi, mama tidak pernah berhenti menyanyikan lagunya untukku dan untuk boneka kesayangannya. Dan, aku juga sudah mengangkat boneka tersebut sebagai saudara wanitaku.Ketika aku memberitahu mama hal tersebut. Dia senang sekali. Dia tertawa riang, kemudian menangis dengan mulut terbuka. Lalu kembali menyanyikan lagu yang sama. Aku ikut bernyanyi dengan mama. Andai saja ada seorang papa, pasti keluarga kecil ini akan lengkap dan akan bahagia selamanya. 

Karena sudah terusir dari warung kopi dan gubuk kakek, kami tidur danberistirahat di mana saja. Seringkali kami tidur di bangunan-bangunan yang sudah tidak terpakai, di dekat tempat sampah karena jika lapar aku akan langsung mendapatkan makanan, lalu yang paling sering dimana saja mata mamaku mengantuk. Maka aku, mama, dan saudara wanitaku akan tidur di sana. Untunglah, selama perjalanan ini, kami baru diusir beberapa kali. Ketika ada yang berani melempari kami dengan batu, aku akan langsung mengamuk mengejar orang-rang yang melempari kami dengan batu tersebut, biasanya anak kecil. Aku tidak pernah berhasil memukul anak-anak itu. Sebab, lari mereka lebih kencang dariku dan aku tidak mungkin meninggalkan mama sendirian tanpa pengawalanku. Dan, aku sudah bersama mama lebih dari empat bulan. Pakaianku, makananku, gaya hidupku sudah persis seperti mama. Dan, aku merasa tidak ada yang aneh dengan itu. Bukankah itu wajar seorang anak meniru orangtuanya?.

***

Enam bulan berlalu, kami telah menginjakkan kaki di kota ke empat termasuk kota kelahiranku. Kota ini tidak begitu berbeda dengan kota-kota sebelumnya. Hal yang berbeda hanyalah, saat aku sedang mengorek-ngorek sampah untuk dimakan dan mama sedang menyanyikan lagu untuk saudara wanitaku, seorang wanita berseragam seperti yang aku lihat di kantor-kantor pemerintahan berteriak terkejut di seberang jalan.

“Andine!!!”

Aku melemparkan pandanganku ke arahnya, bingung. Bukan, ujarku dalam hati. Aku bukan Andine,  dan mamaku namanya, ah aku tidak tahu siapa nama mamaku. Namun, aku tidak terlalu berniat mempedulikan wanita tersebut. Karena wanita tersebut hanya menyebutkan nama Andine satu kali dan langsung mengambil handphone yang ada di sakunya. Jika itu Andine adalah nama mamaku, seharusnya dia akan langsung menghampiri mama. Mungkin, kurasa dia teringat sesuatu harus dikerjakan dengan temannya yang bernama Andine dan kemudian segera meneleponnya. Jadi, tidak peduli, aku kembali mengorek-ngorek sampah untuk mencari sesuatu untuk dimakan olehku dan mamaku. Saudara wanitaku tidak pernah makan apapun. Tapi, dia terlihat sehat. Aku bangga memiliki saudara yang sehat dan kuat.

Aku telah menemukan sayuran busuk untuk dimakan, dan segera membaginya dengan mama. Kira-kira lima belas menit kemudian, mama beranjak dari tempat kami makan. Mama sering sekali begitu, dia tiba-tiba saja beranjak tanpa penjelasan apapun. Kalau sudah begitu, layaknya seorang anak, aku  mengikutinya kemanapun. Tapi, kali ini ada tambahan, wanita berpakaian pegawai tersebut mengikuti kemana kami pergi. Aku sebenarnya keberatan dia mengikuti kami. Yang aku butuhkan kali ini adalah seorang papa, bukan saudara tambahan. Tapi, mama tidak mempedulikannya. Jadi, akupun memilih bersikap acuh terhadapnya. 

Setelah hampir satu jam berjalan tak tahu arah, mama berhenti di sebuah bangunan tua yang tidak berpenghuni. Aku tahu tempat ini, sebuah tempat dimana aku dan mama biasanya tidur pada malam hari. Mama membaringkan tubuhnya di lantai yang dipenuhi tanah dan sampah-sampah. Biasanya, banyak orang-orang yang beristirahat ditempat ini. Tapi, kali aku hanya melihat beberapa orang yangmembaringkan tubuhnya di tempat tersebut. Melihat mama yang mulai menutup matanya dengan saudara wanitaku di pelukannya, akupun merasa diriku ingin beristirahat. Maka, akupun merebahkan diriku di sampingnya. Sebelum mataku tertutup dan aku melayang ke alam tidur, mataku masih melihat wanita berpakaian pegawai tersebut tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Matanya meneteskan setitik air mata. Aku tidak tahu mengapa.

***

Suara derap langkah kaki orang banyak membangunkanku dan mama. Ketika aku membuka mataku, aku melihat sekumpulan orang-orang berpakaian putih dan beberapa orang satpol pp yang sering aku hindari jika melihat mereka, telah mengelilingku dan mama. Biasanya, aku bisa membawa mama lolos dari kejaran satpol pp dengan menggendong mama dan bersembunyi di tempat yang tidak terduga oleh mereka. Tapi, kali ini aku tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Pertama, mama terlihat tidur dengan nyenyak di tengah suara sunyi yang tidak biasa ini. Aku tidak ingin membangunkan mama karena pernah aku membangunkan mama, dan dia mengamuk selama beberapa jam. Kedua, sesuatu berbentuk jarum ditembakkan ke arahku oleh seorang berpakaian putih dan entah kenapa, benda itu membuatku merasa sangat mengantuk. Lagi, sebelum mataku tertutup sepenuhnya, aku kembali melihat wanita tersebut. Dia masih di sana, kali ini bersama banyak orang yang sepertinya teman-temannya. Aku telat menyadarinya karena jeda waktu antara aku bangun dan tertidur kembali sangat singkat. Tapi, dari pemandangan sepintas itu, aku tahu, dialah yang memanggil orang-orang ini. Detik itu juga kebencianku terhadapnya muncul.

***

Aku terbangun di sebuah tempat yang kecil, berbentuk kotak, dengan tembok yang mengelilinginya. Di tembok depanku, sebuah pintu berbentuk jeruji dengan gembok yang berkarat mencegahku untuk keluar dari tempat ini. Apapun nama tempat ini, pasti merupakan sebuah penjara.Aku berjalan menuju pintu tersebut. Dari sela-sela terali besi, aku bisa melihat keluar. Beberapa orang berpakaian serba putih terlihat olehku berbincang-bincang dengan wanita yang mengikuti kami.Tiba-tiba aku teringat mama, aku melihat ke segala arah. Aku tidak bisa menemukan mamaku. wanita tersebut dengan orang-orang berpakaian putih tersebut pasti telah menculiknya.

“Kembalikan mamaku!!!”

Aku berteriak keras, menggoyang-goyangkan terali besi, memukul-mukul tembok dengan tangan, kaki, dan kepalaku. Aku tidak peduli meski darah bermuncratan keluar dari tubuhku. Keinginanku hanya satu, aku ingin mama kembali. Orang yang berada di luar penjaraku terlihat panik. Mereka segera berlari ke arahku, tapi tidak melakukan apapun. Mereka hanya terpaku, diam melihat diriku yang menendang dan memukul ke segala arah. Lalu, aku melihat seseorang datang, dia membawa sesuatu berbentuk seperti pistol panjang. Dia menembakkan pistol tersebut ke arahku. Sebuah rasa sakit kecil terasa di tanganku sebelah kiri. Mataku terasa berat. Itu pasti obat bius. Akupun jatuh terlelap dalam sekejap.

***

Kembali, aku terbangun, dan tidak tahu berapa lama, kali ini dengan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Tapi, rasa sakit tersebut segera terlupakan, aku melihat mama di sampingku, masih tertidur nyenyak dengan anak wanita kesayangannya. Aku memeluk mama, aku mencium aroma tubuhnya yang telah menemaniku lebih dari setengah tahun. Aroma seorang ibu. Tersenyum. Mamaku lega mama telah kembali kepadaku.

Dalamkeadaan memeluk mama, aku melihat sekeliling. Aku berada di sebuah tempat yang tidak terlalu berbeda dengan yang sebelumnya. Aku tahuitu karena aku tidak melihat noda darahku di tembokmya. Berarti, aku dibawa ke sini oleh mereka. Apapun itu, alasan mereka, aku tidak peduli sepanjang aku bisa selalu bersama dengan mama. Itu sudahcukup. 

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara dari seberang pintu, wanita itu. Dia hanya melihat kami lekat-lekat, dan tiba-tiba airmata keluar dan mengalir pelan di pipinya. Dia menangis, untuk kedua kalinya di depan mataku. Dan, aku masih mengira-ngira mengapa. Ketika aku sibuk mengira apa arti tangisannya tersebut, seseorang mendekat. Laki-laki bertubuh tegap dengan sebuah luka tersayat di lengan kanannya. Meletakkan tangannya di bahu wanita tersebut.

“Apa itu tangis sedih atau bahagia?”

Wanita tersebut menghapus airmatanya.

“Aku tidak tahu”

 , kemudian mengarahkan pandangan mereka ke arahku. Aku menatap mereka bergantian. Aku tidak mengatakan apa-apa. 

“Ayo pergi. Nanti kita akan menjenguknya lagi minggu depan”

Wanita tersebut mengangguk. Kemudian dia pergi setelah melepaskan sebuah lambaian kepadaku dan mamaku. Setelah mereka pergi, aku melihat wajah mamaku. Wajahnya terlihat bersih. Mungkin wanita tersebut telah membasuh wajah mama. Erat, aku kembali memeluk tubuh mama yang masih tertidur. Kemudian, memejamkan mata, aku menyanyikan sebuah lagu untuknya. Sebuah lagu yang aku karang sendiri. Menceritakan perasaan sayangku padanya.

***

Laki-lak idan perempuan tersebut pergi dengan mobil mereka. Di tengah perjalanan, tidak ada suara. Wanita tersebut sibuk dengan pikirannya. Laki-laki tersebut tahu, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengajak wanita yang duduk di sebelahnya untuk bicara. Maka, dia memutuskan untuk menghidupkan radio mobil. Tidak suka musik, dia menukar channel yang menyiarkan berita. Mata wanita di sebelahnya untuk kesekian kali meneteskan airmata. Sebuah berita dibacakan dengan nada datar pembawa berita tersebut.

Berita hari ini

Kota X, wanita paruh baya dan pemuda gila yang biasa berkeliaran di kota X dibawa ke rumah sakit kota Y oleh pihak yang mengaku sebagai anggota keluarga mereka. Kedua orang gila tersebut ditemukan di bangunan tua di jalan Z. bangunan tersebut merupakan bangunan terlantar, sehingga sering dijadikan tempat tidur oleh orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal di kota X.

Menurut pengakuan seorang saksi mata, dia mendengar dari salah seorang pihak keluarga, kalau wanita paruh baya tersebut menghilang karena anak hasil hubungan gelapnya dibuang oleh orang yang dibayar pihak keluarga. Bayi tersebut dibuang karena kedua orangtua wanita tersebut malu memiliki cucu yang lahir dari luar pernikahan. 

Orang yang dibayar untuk membuang tersebut mengatakan kalau dia membuang bayi tersebut di dekat sebuah warung kopi di suatu kota. Namun, dia tidak mau memberikan informasi lebih lanjut kecuali si wanita paruh baya ini mau memberikan sejumlah uang. Sayangnya, sebelum uang tersebut ditranfer, orang yang membuang bayi tersebut meninggal dunia karena kecelakaan. Informasi tentang anak tersebut terputus.

Wanita tersebut perlahan mulai depresi dan kemudian tiba-tiba saja  . Pihak keluarga tidak memberitahu polisi dan tidak juga mencarinya karena dilarang oleh ayah dan ibu wanita paruh baya itu. 

Sehingga, selama belasan tahun, pencarian hampir tidak ada sama sekali. Pencarian yang dilakukan oleh sebagian teman-temannya tidak mendapatkan hasil. Orang-orang yang mencarinya pun akhirnya menyerah dan tidak lagi berusaha mencarinya. Namun, kemarin, belasan tahun kemudian, salah seorang teman wanita paruh baya tersebut mengenalinya saat pulang kerja di kota X. Dia mengenali samar-samar dari wajahnya ,dan dari bekas luka yang dia buat di salah satu tangan wanita paruh baya tersebut. Dia segera langsung memanggil teman-temannya yang lain, dan juga pihak keluarga temannya itu, sekaligus melaporkan keadaannya. Mendengar penuturan tentang kondisi anggota keluarganya yang hilang ini, pihak keluarga memutuskan untuk menghubungi pihak rumah sakit yang kemudian dibantu oleh satpol pp untuk mengamankan wanita tersebut beserta temannya.

Sedangkan identitas pemuda yang menemani wanita tersebut, sampai saat ini masih belum diketahui. 

Sekian.

07/05/2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun