Langit sisi barat telah bersemu merah ketika Widura dan Ki Baskara memasuki desa Ngalam. Saat memasuki rumah Ki Baskara disambut wajah sumringah Nyi Baskara dan anak perempuannya yang masih berumur lima tahun, Widuri. Setelah menggendong anak gadis kecilnya yang merindukan dirinya, Ki Baskara menuju ke sumur bersama Widura.
Ki Baskara dan seluruh anggota keluarganya mengelilingi hidangan makan malam setelah beristirahat sejenak. Sambil menikmati makanan, Nyi Baskara menodong suaminya agar bercerita tentang perjalanan dan kunjungannya. Senang rasanya mengetahui kabar sanak saudara jauh dalam kondisi yang baik. Ia ingin melakukan perjalanan seperti itu jika Widuri sudah cukup besar untuk diajak berjalan jauh.
Saat giliran Widura bercerita, ia terlihat sangat antusias dengan kisah rombongan kerajaan dan prajurit yang berjalan beriring-iringan melewati jalan desa. Bagian yang paling banyak ia ceritakan adalah tentang kegagahan para prajurit pengawal. Untuk kesekian kalinya ia mengungkapkan keinginannya menjadi prajurit. Bahkan ia sampai memperagakan gerak silat selayaknya prajurit yang sedang bertempur. Widuri ikut terbawa suasana. Ia berjingkrak-jingkrak mengikuti gerakan kakaknya. Sedangkan ayah dan ibu mereka hanya tertawa melihat polah anak-anak itu.
Di keesokan hari, rutinitas Ki Baskara kembali seperti biasanya, seperti halnya rutinitas alam. Matahari menebar kehangatan, mengusir kabut tipis yang tersisa di pagi itu. Kabut yang terusir menyisakan titik-titik embun di permukaan dedaunan.
Para penduduk di desa Ngalam bercocok tanam di sawah atau kebun yang mengandalkan air hujan. Sedangkan Widura yang beranjak besar mulai membantu ayahnya di sawah atau kebun. Saat tidak ada yang harus dikerjakan, Widura berkumpul bersama teman-temannya.
Suatu hari Widura bersama dua sahabatnya, Sogol dan Murti, berangkat menuju sungai yang ada di perbatasan desa. Mereka berencana bersenang-senang berenang di sungai. Hari yang agak terasa gerah seolah mendukung keinginan mereka.
Setelah beberapa waktu menyusuri jalan desa, mereka telah sampai di tepian sungai yang landai dan berpasir. Di suatu sudut tepian terlihat beberapa gadis sedang mencuci pakaian sambil bergurau. Beberapa dari mereka seumuran Widura dan sebagiannya lagi sudah menjelang dewasa. Widura dan dua orang temannya pun berjalan mendekat.
"Hai kak Yuni, Kak Sri, Kak Intan!" Sogol menyapa dari kejauhan sambil melambaikan tangan kepada beberapa gadis yang sedang mencuci itu.
Tiga gadis yang terpanggil sejenak menghentikan obrolan mereka. Sambil menampakkan wajah yang ceria, salah satu dari mereka menjawab, "Hai, kalian mau berenang-renang di sini yah?"
Tiga anak lelaki itu tidak menyahut, tapi segera berlari ke tepian air. Mereka melepas pakaian bagian atas, meletakkannya di atas sebuah batu, dan menceburkan diri ke air. Maka dalam waktu singkat terdapat dua lingkaran keramaian di sungai itu. Satu lingkaran berisi gadis-gadis yang mencuci pakaian, di lingkaran lain adalah anak-anak yang bermain air.
Bagi anak-anak lelaki ini, kesegaran air sungai mampu mengusir kegerahan di hari itu. Selain berenang, mereka juga berlomba menangkap ikan-ikan kecil di sela bebatuan. Sedangkan bagi para perempuan, mencuci bersama di tepian sungai merupakan kegiatan yang menyenangkan. Selain menyegarkan juga berfungsi sebagai kegiatan bertukar berita alias ngerumpi.