Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu-ibu dan Dilemanya

23 Desember 2023   18:35 Diperbarui: 23 Desember 2023   18:48 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Perkenalkan, saya adalah bu Yuni, selanjutnya kalian akan belajar bersama ibu di sini," kata seorang wanita muda di hadapan enam orang anak di dalam suatu ruangan sederhana.

Yuni adalah wanita yang sedang galau menanti kehadiran buah dari 5 tahun pernikahannya. Ia sangat ingin segera menjadi seorang ibu. Demi mengobati rasa galaunya ia membantu sebuah lembaga non-profit yang kebetulan menyewa sebuah rumah untuk sekretariat di kampungnya. Lembaga itu mengadakan bimbingan belajar gratis bagi anak-anak yang kurang mampu di lingkungan itu sebagai satu dari sejumlah programnya.

Beberapa bulan yang lalu Yuni menawarkan sedikit waktu dan tenaganya menjadi guru pembimbing. Keinginannya memiliki anak yang masih belum terjawab langit membuat ia berani mengajukan diri kepada pemimpin lembaga. Harapannya semoga dengan mendermakan waktu dan tenaganya pintu langit akan sedikit lebih terbuka. Sang pemimpin lembaga tentu menyambut baik keinginan Yuni. Ketika pimpinan lembaga itu menawarkan sejumlah honor, Yuni menolak dengan halus. Yuni meniatkan aktifitasnya sebagai sebentuk sedekah. Maka setelah itu Yuni mulai rutin beraktifitas di lembaga itu di sela aktifitas hariannya.

Saat ini Yuni sedang menghadap empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka baru saja memulai tahun ajaran di kelas enam. Nama mereka adalah Samsul, Dwi, Hendro, Mamad, Ifa, dan Livi. Walau Yuni sudah mengetahui nama-nama mereka dari data milik lembaga, ia tetap menanyakan nama anak-anak itu secara langsung agar terbangun kedekatan.

Satu demi satu Yuni meminta mereka bercerita tentang keluarga, kesenangan, harapan, dan keinginan mereka setelah sekolah dasar maupun saat mereka dewasa nanti. Secara umum enam anak ini berasal dari keluarga yang terbatas secara ekonomi, namun untunglah mereka masih memiliki harapan-harapan. Keterbatasan kondisi ekonomi keluarga mereka ternyata tidak sampai membatasi harapan yang ada di benak mereka. Tapi di hari pertama pertemuan itu, Yuni menyadari bahwa Samsul memiliki kecenderungan lebih pendiam dibandingkan teman-temannya.

Tibalah kini pada pertemuan berikutnya. Masing-masing anak telah menghadap buku tugasnya.

"Livi, tolong bacakan paragraf pertama," Yuni menjatuhkan perintah.

Livi segera membaca teks bacaan di hadapannya. Sementara Livi membaca, yang lain menyimak, tapi mulut mereka tampak tersenyum-senyum kecil. Yuni merasa aneh dengan hal itu, apa yang membuat mereka tersenyum? Tapi anehnya mengapa hanya Samsul saja yang tidak tersenyum? Ia malah terlihat grogi menurut penilaian Yuni.

"Bagus, sekarang giliran Samsul membaca lanjutannya," ucap Yuni setelah Livi tuntas membaca. Pilihan itu muncul seolah secara refleks saja.

"Wah, kalau Samsul jangan ditunjuk, bu Yuni. Ia anak lemot," kata Hendro blak-blakan sambil tertawa. Tertawa Hendro lalu diikuti oleh yang lain.

Yuni sedikit terhenyak mendengar kata-kata itu. Ia membisu sejenak sembari mencerna maksud ucapan Hendro. Di antara enam anak itu, Hendro memang yang terlihat paling ditakuti. Jadi wajar bila ia langsung ceplas-ceplos mengutarakan isi benaknya. Sedangkan Samsul terlihat kikuk tak tahu harus berbuat apa.

"Sudah... sudah... tenang kalian semua!" Yuni berusaha meredam suasana setelah kekagetannya teratasi. "Kalau begitu, Mamad yang melanjutkan."

Setelah pertemuan hari itu Yuni menyadari ternyata Samsul masih belum bisa membaca. Sepertinya kondisi itu sering dijadikan bahan tertawaan bagi anak-anak yang lain. Pastinya itu terjadi pula di kelas. Perasaan Yuni tersentuh, ia membayangkan betapa sedih hati Samsul dan ibunya bila melihat anaknya menjadi bahan tertawaan.

Di kesempatan yang lain, Yuni membicarakan persoalan itu bersama para pembimbing di lembaga itu. Sebagian besar mereka adalah para wanita. Di antara mereka ada yang telah berumah tangga maupun yang masih kuliah. Sebagai insan-insan yang sering terjun dalam aktifitas sosial mereka ikut prihatin. Dengan antusias mereka mendiskusikan solusi untuk persoalan Samsul, di samping persoalan yang lain tentunya.

Yuni terkagum-kagum dan terinspirasi dengan kepedulian mereka. Yang mereka bicarakan bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi curahan pemikiran yang memancar menyiratkan keikhlasan. Rupanya keinginan berperan dan berguna bagi masyarakat telah menyatu dalam tiap tarikan nafas para pembimbing ini, walau Yuni yakin kalau masing-masing mereka punya permasalahan pribadi.

Pada pertemuan berikutnya antara Yuni dan enam anak bimbingannya, Yuni memerlukan untuk memulai mengikis kebiasaan mengolok-olok atau menertawakan Samsul. Ini merupakan kelanjutan hasil diskusinya dengan rekan pembimbing yang lain. Kondisi lingkungan belajar perlu dibuat lebih kondusif bagi Samsul.

"Sebelum kita belajar bersama, ibu ingin bertanya pada kalian," Yuni memulai perbincangan di hadapan anak-anak bimbingannya. "Saat pertemuan kita sebelumnya kalian menertawakan Samsul karena belum bisa membaca. Apakah kalian sering melakukannya?"

Anak-anak itu terdiam, tapi sebagian besar gerak tubuh mereka seolah menunjuk ke satu orang, yaitu Hendro. Sebuah kenyataan yang tidak mengejutkan.

"Ehhmm, kayaknya Hendro sering melakukan itu. Benarkah?" tanya Yuni kemudian.

"Iya bu," dua anak menjawab pelan, sedang yang lain hanya menganggukkan kepala.

"Tapi bu, yang lain juga pernah," Hendro membela dirinya.

"Kapan itu?" Dwi meragukan pernyataan temannya tersebut.

"Dulu waktu mengerjakan tugas kelompok kamu pernah mengolok-olok Samsul. Iya kan?" Hendro menyampaikan apa yang pernah ia lihat sebelumnya. Lalu ia menyambung, "Lagian kadang-kadang teman-teman di sekolah juga menertawakan Samsul, bu."

"Nah, apa benar kalian semua pernah melakukannya?" Yuni kembali bertanya dengan nada suara yang tegas tapi sekaligus penuh kelembutan. "Kalian jujur saja. Ibu nggak akan memarahi kalian, kok."

Anak-anak mengangguk-angguk. Sedangkan Samsul hanya tertunduk. Yuni kemudian mulai bercerita bahwa setiap anak punya perasaan. Bila badan dipukul akan terasa sakit. Bila diolok-olok atau ditertawakan maka perasaanlah yang akan terasa sakit. Perasaan akan menjadi sedih, bahkan menangis.

"Kalian tentu tidak suka diolok-olok, iya kan? Kalian akan merasa sedih atau mungkin marah, iya kan?" Yuni bertanya dengan nada yang lembut.

Anak-anak mengangguk-angguk.

"Nah, karena kalian nggak suka bila diolok-olok, maka jangan melakukannya ke anak lain. Mulai sekarang kalian jangan sampai menertawakan Samsul atau siapa saja yang kurang bisa dalam suatu pelajaran. Karena kepandaian tiap-tiap anak berbeda-beda," Yuni lalu berhenti sejenak, "Bagaimana? Kalian bisa melakukannya?"

"Bisa bu!" jawab anak-anak serempak.

"Kalau begitu sekarang kalian minta maaf ke Samsul, dan ibu juga minta tolong ke kalian bila ada teman lain yang mengolok-olok atau menertawakan Samsul, segera dinasehati." himbau Yani. Dan 5 anak-anak yang lain pun satu per satu meminta maaf kepada Samsul.

Setelah hari itu berlalu, situasi menjadi semakin baik bagi Samsul. Yuni lalu menawarkan waktu tambahan ke anak tersebut, bila ingin cepat bisa membaca ia boleh belajar bersama dirinya di luar jadwal pertemuan. Untuk tempat belajarnya, Yuni memberi pilihan bisa di sekretariat atau di rumahnya. Karena dasarnya Samsul bukanlah anak pemalas, ia bersedia mengambil jam belajar tambahan itu.

Ketika Yuni menyampaikan hal tersebut pada pemimpin lembaga, kembali ia menawarkan sedikit honor untuk kesediaan Yuni yang mau meluangkan waktu lebih dari yang seharusnya. Lagi-lagi Yuni menolak halus. Selain itu, Yuni juga telah meminta pertimbangan dari suaminyya. Bahkan suaminya menyatakan kesalutan atas aktifitas tersebut. Ketika pemimpin lembaga itu juga menyatakan kesalutannya, Yuni justru berkata bahwa yang ia lakukan diilhami oleh semangat para pembimbing lainnya di lembaga.

Pada suatu kesempatan, Yuni pernah bersilahturrahmi dengan wali kelas Samsul. Ibu wali kelas menceritakan bahwa selama mengikuti ujian semester, Samsul dibantu gurunya membacakan soal. Para guru kesulitan bila harus fokus menangani Samsul. Ini mungkin bisa dimaklumi, karena dalam satu kelas seorang guru harus mengajar tiga puluhan anak.

Di seuatu sore setelah maghrib, Yuni bersama seorang ibu yang juga sesama pembimbing, melakukan kunjungan ke kediaman Samsul. Ketika sampai di sebuah rumah yang sederhana, Yuni dan rekannya ditemui oleh seorang nenek yang sudah termasuk sepuh.

"Inilah tempat tinggal Samsul, mbak. Terima kasih, nenek dibantu mengajari si Samsul. Nenek bukan orang yang pandai. Selama ini nenek hanya membantu sebisanya membesarkan cucu-cucu nenek," nenek si Samsul bercerita.

Pada kunjungan itu Yuni semakin bisa menyelami kondisi keluarga yang menghuni rumah sederhana tersebut. Rumah itu ternyata didiami Nenek si Samsul bersama tiga cucunya. Samsul memiliki seorang adik perempuan dan anak yang satu lagi adalah sepupu Samsul. Ibu kandung Samsul adalah seorang ibu tunggal. Ia bekerja di kota besar sebagai asisten rumah tangga sekaligus menjaga warung milik majikannya. Ini harus ia jalani setelah suaminya meninggal saat bekerja sebagai kuli bangunan beberapa tahun silam. Penghasilan ibu si Samsul termasuk mepet bila dihitung-hitung.

"Ternyata perjuangan ibu si Samsul begitu berat ya, mbak," ucap rekan Yuni saat berjalan pulang dari kediaman si Samsul.

"Benar, bu," Yuni hanya menjawab singkat sambil pandangannya menerawang menembus gelap malam. Pikirannya berkelana membayangkan bilamana ia menggantikan posisi ibu si Samsul. Walau sesama wanita, ia tidak bisa membayangkan betapa berat kehidupan yang dijalani si ibu itu.

"Saya yang masih punya suami untuk bersandar dan masih ada ibu mertua yang terkadang saya mintai bantuan, terkadang masih mengeluh. Bagaimana bila hidup sendiri merantau, terpisah dari anak dan harus menghidupi lima kepala termasuk diri sendiri?" rekan Yuni mengajukan pertanyaan untuk dirinya sendiri.

"Rasanya kita akan malu sendiri bila nggak mau bersyukur, bu," Yuni menimpali perlahan.

Yuni terus melangkah seiring langkah waktu di malam itu, hanya saja langkah Yuni akan terhenti saat mencapai tujuan. Sedangkan waktu akan terus melangkah hingga Sang Pencipta waktu menghendaki waktu itu berhenti.

Sementara itu, Samsul berusaha keras mengejar ketertinggalannya. Terkadang masih ada saja anak yang memperolok dirinya, tapi lebih banyak teman yang menjaganya. Bahkan ada suatu momen saat Samsul membaca, temannya yang lain menyemangati dan mengatakan kalau teman-teman yang lain akan sabar menunggu.

Di suatu hari, ibu si Samsul pulang sebentar menengok anaknya. Tidak lupa ia sempatkan bersilaturrahmi menemui Yuni. Waktu itu, setelah Yuni selesai dengan enam anak bimbingannya di sekretariat, ibu si Samsul memasuki ruangan. Setelah berbasa-basi dua wanita ini mulai memasuki pembicaraan yang lebih serius.

"Terima kasih, mbak. Saya nggak tau bagaimana bisa membalas kebaikan mbak. Saya merasa seperti ibu yang tak bisa ngajari anaknya," ucap ibu si Samsul penuh penyesalan.

"Ibu jangan bilang seperti itu. Justru saya kagum sama ibu yang begitu tabah berusaha menghidupi keluarga dan anak-anak ibu dengan keringat sendiri. Kapan hari saya menyempatkan berkunjung menemui nenek. Dari cerita beliau sedikit banyak saya bisa memahami kondisi ibu," Yuni menghibur.

"Saya sudah pasrah dengan pendidikan anak-anak saya, mbak. Masih untung mereka masih bisa bersekolah. Sebenernya saya ingin seperti para ibu yang lain, ngasih bimbingan belajar tambahan kalau anaknya kesulitan belajar. Tapi kondisi nggajk memungkinkan. Untung ada mbak yang bersedia mengulurkan tangan."

"Ah, itu bukan hanya saya, bu. Ada ibu-ibu dan mbak-mbak yang lain di lembaga ini yang ikut membina anak-anak di sini. Lagian saya kalau boleh dibilang juga punya pamrih pribadi."

"Maksudnya?"

"Aduh jadi curhat nih," Yuni sedikit tersipu tapi lalu berkata, "Saya merindukan punya momongan, bu. Mengobati kerinduan itu saya lalu menawarkan sedikit kemampuan saya. Sambil berharap semoga keinginan saya segera terkabul."

"Ah, saya kira pamrih apa," ibu si Samsul sedikit tersenyum, "Kalau begitu saya ikut bantu mendoakan biar mbak disegerakan mendapat momongan."

"Amin, terima kasih doanya, bu."

Dua wanita ini melanjutkan percakapan hingga beberapa saat. Setelah menemui beberapa pembina dan pengurus yang sedang ada di sekretariat, ibu si Samsul lalu berpamitan. Ia tidak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaan, esok ia harus kembali ke kota besar.

Akhirnya saat ujian semester tiba. Samsul sudah lumayan lancar membaca, walau untuk menulis ia masih kesulitan. Bila sebelumnya Samsul harus dibacakan saat mengerjakan soal, kini sudah tidak lagi. Walau selangkah kecil, ini tetaplah sebuah pencapaian. Walau bukan anaknya sendiri, Yuni merasa seperti seorang ibu yang merasa bangga atas kemajuan anak bimbingannya itu. Dengan perasaan berbunga-bunga, Yuni mengabarkan pencapaian Samsul kepada ibunya yang sedang berjibaku mencari tetes-tetes rejeki di perantauan.

Sosok ibu bisa bermacam ragam. Dan ia sanggup melakukan apapun demi orang-orang yang ia sayangi.

Nama-nama dalam kisah ini hanya khayalan, begitu pula beberapa detil kisahnya. Tapi secara garis besar kisah ini didasari kisah nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun