"Sudah... sudah... tenang kalian semua!" Yuni berusaha meredam suasana setelah kekagetannya teratasi. "Kalau begitu, Mamad yang melanjutkan."
Setelah pertemuan hari itu Yuni menyadari ternyata Samsul masih belum bisa membaca. Sepertinya kondisi itu sering dijadikan bahan tertawaan bagi anak-anak yang lain. Pastinya itu terjadi pula di kelas. Perasaan Yuni tersentuh, ia membayangkan betapa sedih hati Samsul dan ibunya bila melihat anaknya menjadi bahan tertawaan.
Di kesempatan yang lain, Yuni membicarakan persoalan itu bersama para pembimbing di lembaga itu. Sebagian besar mereka adalah para wanita. Di antara mereka ada yang telah berumah tangga maupun yang masih kuliah. Sebagai insan-insan yang sering terjun dalam aktifitas sosial mereka ikut prihatin. Dengan antusias mereka mendiskusikan solusi untuk persoalan Samsul, di samping persoalan yang lain tentunya.
Yuni terkagum-kagum dan terinspirasi dengan kepedulian mereka. Yang mereka bicarakan bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi curahan pemikiran yang memancar menyiratkan keikhlasan. Rupanya keinginan berperan dan berguna bagi masyarakat telah menyatu dalam tiap tarikan nafas para pembimbing ini, walau Yuni yakin kalau masing-masing mereka punya permasalahan pribadi.
Pada pertemuan berikutnya antara Yuni dan enam anak bimbingannya, Yuni memerlukan untuk memulai mengikis kebiasaan mengolok-olok atau menertawakan Samsul. Ini merupakan kelanjutan hasil diskusinya dengan rekan pembimbing yang lain. Kondisi lingkungan belajar perlu dibuat lebih kondusif bagi Samsul.
"Sebelum kita belajar bersama, ibu ingin bertanya pada kalian," Yuni memulai perbincangan di hadapan anak-anak bimbingannya. "Saat pertemuan kita sebelumnya kalian menertawakan Samsul karena belum bisa membaca. Apakah kalian sering melakukannya?"
Anak-anak itu terdiam, tapi sebagian besar gerak tubuh mereka seolah menunjuk ke satu orang, yaitu Hendro. Sebuah kenyataan yang tidak mengejutkan.
"Ehhmm, kayaknya Hendro sering melakukan itu. Benarkah?" tanya Yuni kemudian.
"Iya bu," dua anak menjawab pelan, sedang yang lain hanya menganggukkan kepala.
"Tapi bu, yang lain juga pernah," Hendro membela dirinya.
"Kapan itu?" Dwi meragukan pernyataan temannya tersebut.